Tokoh satu ini adalah seorang ilmuan astronomi kebanggan Islam. Dalam buku besar karangan Thomas Hockey berjudul Biographical Encyclopedia of Astronomers, nama Ulugh Beg disebut sebanyak 109 kali yang tersebar dalam profil beberapa ilmuan lainnya.
Ia lahir di Sultaniyya (Iran) pada 22 Maret 1394 dan meninggal di Samarkand (Uzbekistan) pada 27 Oktober 1449. Dengan demikian, umurnya sekitar 55 tahun. Nama lengkapnya adalah Muhammad Taraghay ibn Shahrukh ibn Timur.
Ia merupakan tokoh Islam pertama yang mampu membangun observatorium terbesar di Samarkand bahkan dalam catatan sejarah saat itu. Ia juga membangun madrasah yang tidak seperti umumnya, di mana matematika dan astronomi menjadi kurikulum utama yang diajarkan. Guru-gurunya pun tidak sembarangan, ada nama terkenal di sana yaitu Qadizade al-Rumi (akan dibahas selanjutnya).
Ulugh Beg termasuk ilmuwan yang unik. Meskipun ia tinggal di kerajaan Turki yang memiliki iklim kuat dalam bidang astronomi, tapi ia menjadi satu-satunya ilmuwan sekaligus penguasa yang mampu mendirikan observatorium terbesar di Samarkand. Ini menampilkan obsesi Ulugh Beg yang sangat kuat dalam dunia keilmuan terutama astronomi.
Di sana ia mampu menyumbangkan karya terbesarnya bernama “Zij Sultani” yang selesai dibuat pada tahun setelah 1444 Masehi. Zij ini memuat katalog bintang paling rinci (berisi data pengukuran 1000 bintang) yang ada pada peradaban saat itu dan digunakan selama lima abad (dari Ptolemy hingga Tycho Brahe). Bahkan Zij ini bisa bertahan hingga sekarang dan sudah masuk wilayah Indonesia.
Meski dianugerahi sebagai sultan ataupun raja, Ulugh Beg tidaklah terlalu menyukai hingar-bingar politik, melainkan lebih menyukai sains dan seni. Ini dibuktikan dengan kualitas dan kuantitas keilmuan matematik-astronomi saat itu.
Ulugh Beg tidak hanya andal dalam bidang matematik-astronomi, melainkan juga mengetahui al-Qur’an dan juga mempelajari beberapa kitab tafsir. Ia mampu menguasai bahasa Arab, Persian, Turki, Mongolia dan beberapa bahasa Cina.
Meskipun jasa Ulugh Beg sangat besar, namun bagi lingkungan kerajaan Turki itu adalah hal biasa. Ternyata hal ini dikarenakan penguasa Turki dari zaman pertengahan hingga modern memang memiliki dukungan besar terhadap matematika-astronomi. Hal ini bisa dilihat dengan program-program yang dikolaborasikan dengan para saintis di istana kerajaan, di samping program pendirian madrasah-madrasah dan observatorium juga sangat masyhur.
Dalam sejarah Islam, ada lima observatorium yang dibangun oleh kerajaan Turki-Mongol. Yaitu pada masa Malik Shah di Isfahan tahun 1074, Hulagu di Maraga tahun 1259, Ghazan Khan di Tabris tahun 1300, Ulugh Beg di Samarkand tahun 1420, dan Murad III di Istanbul pada tahun 1574.
Ini menjadi bukti bahwa iklim kajian dan pengembangan matematika-astronomi di Turki adalah hal biasa, sehingga memiliki potensi otomatis untuk melanjutkan hingga puluhan tahun ke depan. Makanya wajar jika peran besar Ulugh Beg dicap sebagai hal biasa.
Namun patut diapresiasi dan diakui bahwa iklim sains yang Ulugh Beg dirikan masih memiliki predikat keren dan inspiratif daripada sebelumnya, bahkan setelah 6 abad berlalu. Ulugh Beg dalam bidang matematika-astronomi memang dianggap tidak unik dengan beberapa penguasa Turki lainnya, namun kejeniusan ilmiah dan pendidikannya adalah sesuatu yang luar biasa.
Gambar observatorium Ulugh Beg di Samarkand (sumber: atlasobscura)
Penulis beruntung bertemu dengan tulisan tokoh besar Islam lainnya bernama Giyaseddin Jamshid al-Kashi. Dia berjasa pernah terpikir untuk menulis catatan harian saat bekerja dengan Ulugh Beg di Samarkand. Surat-surat itu ia kirim kepada ayahnya yang ada di kampung halaman. Surat-surat tersebut berisi penggambaran keahlian Ulugh Beg di bidang astronmi.
Jamshid al-Kashi sendiri merupakan ilmuan berkebangsaan Iran yang bekerja sama dengan Ulugh Beg. Ia lebih muda sekitar 5-6 tahun darinya. Merantau dari Kash (Iran) ke Samarkand, menempuh jarak sekitar 2000 kilometer. Ia meninggalkan ayahnya di rumah dan sebagai obat kerinduan, ia pun menulis dua surat untuknya.
Surat pertama dipublikasikan oleh sejarawan Iran bernama Mohammed Bagheri pada tahun 1997 berjudul A Newly Found Letters of al-Kashi on Scientific Life in Samarkand. Sedangkan surat kedua dipublikasikan oleh E.S Kennedy pada tahun 1997.
Beberapa poin isi surat al-Kashi yang penulis rangkum adalah: pertama, Samarkand pada masa Ulugh Beg merupakan pusat kota yang menjadi pusat daya tarik seluruh komunitas ilmiah. Terutama bagi mereka yang membidangi matematika, baik sarjana, pecinta maupun siswa matematika.
Kedua, Ulugh Beg memiliki 60 hingga 70 cendekiawan yang bekerja di bawah naungannya untuk melakukan penelitian ilmiah. Ketiga, Ulugh menyumbangkan 30 ribu emas untuk kegiatan ilmiah. 10 ribu emas diberikan untuk siswa, lainnya untuk kegiatan ilmiah. Dukungan ini menjadikan Samarkand sebagai tempat yang padat dengan komunitas ilmiah. (surat pertama).
Ketiga, dari 10 ribu siswanya, 500 siswa belajar pada biadang seni (matematika) sebagaimana bidang dirinya. Ia mengampu mereka selama 12 tahun dengan 12 tempat. Dan keempat, Ulugh memiliki program besar dalam bidang sains
Setidaknya ada empat pelajaran yang bisa kita ambil dari Ulugh Beg. Pertama, kita seyogyanya memiliki obsesi besar terhadap keilmuan karena dunia akan maju ketika menguasai ilmu pengetahuan. Kita tidak pernah berpikir bagaimana jika seandainya seorang penguasa tidak mendukung ilmu pengetahuan, bagaimana ia menyikapi problem yang ada dan bagaimana ia mampu merancang sistem yang lebih baik di masa depan.
Kedua, kita juga selayaknya mendukung gerakan kajian dan penelitian. Jika melihat ada 60 hingga 70 cendekiawan di bawah asuhannya, maka sudah terekam dalam memori bahwa ada program besar dalam bidang sains yang Ulugh Beg rencanakan. Tentunya ini menjadi iklim luar biasa yang bisa menarik berbagai pelajar dari seantero dunia. Di samping itu, apresiasi kepada para pelajar merupakan bukti ia mengayomi para generasi yang akan melanjutkannya.
Ketiga, membangun institusi pendidikan menjadi nilai yang bisa kita coba pikirkan. Bagaimana institusi-institusi ini akan menjadi kontributor keilmuan bagi sebuah negara. Terlebih di zaman sekarang yang persaingannya sudah sangat luas dan cepat. Dukungan pemerintah terhadap bibit institusi pendidikan, baik kecil atau besar perlu diterapkan dengan maksimal.
Keempat, program yang matang dan kuat. Pemimpin institusi ataupun tempat belajar memang sudah seharusnya membidangi ilmu yang menjadi kurikulum utama. Ini akan melahirkan hormat secara totalitas kepada para pelajarnya.
Semoga kita bisa meneladaninya. Amiin.