Umair bin Saad adalah sahabat Rasulullah yang diangkat menjadi gubernur kota Homs Syiria pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab. Pada waktu khalifah Umar bin Khattab berhasil menaklukkan kota Homs dan bermaksud mengangkat gubernur di kota itu, beliau berkata:
“Aku ingin di kota ini ada seseorang yang tidak memperlihatkan diri sebagai pemimpin sekalipun dialah pemimpin. Jika pemimpin itu berada di tengah-tengah rakyatnya maka tak ada yang membedakan antara dirinya dengan rakyat yang dipimpinnya. Aku bermaksud mengangkat seorang pemimpin yang pakaiannya, makanannya, dan tempat tinggalnya tidak berbeda dengan kebanyakan orang.”
Rupanya calon gubernur yang dimaksud Umar bin Khattab ialah seorang sahabat bernama Umair bin Saad. Pertama kali ditunjuk Umair menolak dengan halus agar khalifah tidak tersinggung, tetapi tak berhasil. Umar bin Khattab telah mantap menjatuhkan pilihannya; dan Umair bin Saad pun tak bisa menolaknya.
Beberapa tahun menjabat gubernur Homs, Umair bin Saad tidak pernah mengirim kabar kepada khalifah. Begitu pula setoran pajak yang seharusnya dilaporkan kepada khalifah tidak pernah beliau lakukan. Hal itu menimbulkan rasa penasaran khalifah. Lalu Umar bin Khattab memerintahkan sekretaris pribadinya agar berkirim surat kepada Umair bin Saad supaya gubernur Homs ini segera menghadap khalifah.
Di dalam kitab “Baina Yaday Umar” dijelaskan detail peristiwa sejarah pertemuan antara Umair bin Saad sebagai gubernur Homs dengan Umar bin Khattab sebagai khalifah.
“Pada hari itu melintas di jalan kota Madinah seorang lelaki berpakain kucel dengan raut muka kelelahan akibat perjalanan jauh. Langkah kakinya terseok-seok karena panjangnya rute perjalanan yang dilaluinya sekalipun semangatnya tak kunjung padam.
Di pundak kanannya tersangkut kantong perbekalan selama perjalanan. Di pundak kirinya tersangkut perigi berisi air. Sementara tangannya menggenggam tongkat kayu yang berfungsi sebagai penunjang badannya. Kemudian orang itu menghampiri tempat duduk di bawah pohon kurma yang biasa digunakan Umar bin Khattab untuk menjalankan roda kekhalifahannya.
“Assalamu’alaikum wahai Amirul mukminin,” kata lelaki itu.
Umar bin Khattab menjawab: “Wa’alaikumussalam” dan menyalami lelaki yang sangat dikenalinya itu.
“Bagaimana kabarmu?”
“Ya, seperti yang kamu lihat sendiri dari diriku ini.”
“Apa yang kamu bawa, wahai Umair!”
“Aku membawa perbekalan untuk perjalanan jauh ke mari.”
“Engkau datang ke mari berjalan kaki, apakah sebagai seorang gubernur kamu tidak memiliki tunggangan?”
“Rakyatku tidak ada yang memberiku kendaraan, dan aku pun tak memintanya.”
“Apa yang engkau kerjakan setelah aku angkat menjadi gubernur Homs?”
“Aku kumpulkan pemuka-pemuka kota Homs, aku perintahkan mereka mengeluarkan zakat dan pajak anggota keluarga mereka yang mampu. Lalu aku pergunakan keseluruhannya untuk membangun dan memenuhi kebutuhan warga yang memerlukan. Tentunya kalau ada sisa aku setorkan kepadamu, wahai Khalifah!”
“Lantas apa masih ada sisa setoran pajak untuk Khalifah, hai Umair!”
“Sayang tidak ada, wahai Khalifah, sebab semua telah aku bagikan kepada rakyatmu yang tak mampu.”
Mendengar penjelasan gubernurnya itu, Khalifah Umar tidak marah. Justru beliau berkata: “Aku perbarui kembali pengangkatanmu menjadi gubernur Homs.”
Apa kira-kira jawaban Umair bin Saad? “Mulai hari ini dan seterusnya aku tak mau lagi bekerja untukmu dan khalifah-khalifah sesudahmu, wahai Umar!”
Demikianlah kisah Umair bin Saad seorang pemimpin yang sangat sederhana, adil dan bijaksana, sehingga beliau sangat disegani atasannya, Khalifah Umar bin Khattab.
Model kepemimpinan Umair bin Saad inilah yang mengilhami lahirnya kata mutiara Umar bin Khattab:
“Islam tak akan ditolak selagi pemimpinnya tegas. Pemimpin tegas bukan dengan cara kekerasan, melainkan dengan cara menegakkan kebenaran dan keadilan.”