Seorang teman saya pernah mengunggah status di WhatsApp ihwal kekukuhan menjalani pola hidup sehat. Ia berpedoman pada aktris Dian Sastrowardoyo yang konon menerima wahyu kecantikan dan kesintalan nan segar dari pola makan(an) sehat.

Sangat mudah mendapatkan informasi sehat dari kaum selebritas, terutama karena ada Instagram. Teman saya dan juga orang-orang yang terkena dampak evolusi digital, tidak perlu mendatangi pakar gizi atau penjamin mutu kebijakan makanan. Secara fisik, keberadaan para pesohor sudah memenuhi syarat dijadikan sang teladan hijau.

Layanan antar makanan online Go-Food pernah memprediksi selera makanan umat pemesan di tahun 2019. Flora L. Barus di Gatra.com (8 Januari 2019) mewartakan bahwa Go-Food melalui analisa data, menunjukkan makanan sehat dan jajanan unik akan menjadi tren tahun ini. Ada peningkatan pencarian kata kunci menu sehat, seperti salad, greentea, atau burger sushi. Inilah perwakilan makanan dari pola hijau yang cukup ekspansionistik menggantikan menu ayam, kopi, atau paket nasi. Makanan dari tetumbuhan lebih menjamin pertahanan tubuh.

Orang-orang semakin membuka diri menjadi sehat, terutama lewat makanan. Namun kita mengalami pergeseran cukup kentara tentang persepsi sehat selama perjalanan peradaban manusia.

Dulu, sehat sangat memuat imajinasi kultural-komunalitas masyarakat, cara mengolah yang sering melibatkan emosionalitas, dan dipersepsi dengan religius. Makanan bertaut dengan hal transendental dalam bingkai perayaan syukur bersama. Makanan sehat bagi raga sekaligus jiwa, biologis sekaligus sosial.

Sekarang, sehat lebih berkesan saintifik tercipta dari situasi modern dibuktikan dengan uji medis atau ucapan para pakar gizi-makanan. Posisi para selebritas terlihat menjadi perpanjangan dua hal ini. Mereka membuat pola makan hijau tampak sangat urban dan trendi. Menu sehat yang sebenarnya biasa saja, bahkan sudah ada sejak para leluhur, justru menjadi kebaruan di hadapan situasi mutakhir. Kini, kita sangat mafhum dengan istilah vegetarian, vegans, dan vegetarianisme.

Pemuka ilmu gizi William H. Sebrell Jr. dan penulis lepas James J. Haggerty (1981) mengatakan bahwa vegetarianisme merupakan salah satu cara makan yang sangat kuno dan paling banyak pengikutnya. Salah satunya dramawan Inggris terkenal, George Bernard Shaw, mulai menolak daging sejak umur 25 tahun dan bertahan hidup sampai 94 tahun.

Bernard memiliki alasan filosofis bahwa makanan daging menyebabkan perbudakan manusia kepada hewan. Dia merasa sepuluh kali lebih sehat tanpa daging. Umur Shaw inilah yang menjadi rujukan para pengiman nabati. Namun, tata pemilihan bahan nabati memang mengandung kompleksitas. Ketidaktahuan pengetahuan gizi bisa menyebabkan gangguan kesehatan parah.

Dalam tatanan hidup tradisional, memakan biji-bijian, dedaunan, atau sayuran memang bagian dari tata hidup, bukan kemendadakan gaya mengubah pola makan. Apa yang diberikan alam, terutama tetumbuhan, menjadi paling baik untuk dikonsumsi. Pola makan sehat ini secara temporal menjadi pedoman bersama yang dipertahankan dan diwariskan.

Guru jurnalistik di Amerika dan penekun isu makanan Michael Pollan menulis buku Food Rules, Pedoman bagi Para Penyantap Makanan (2011). Petuah-petuah bijak dikemas dalam 64 aturan sederhana. Pollan banyak mengambil kebijaksanaan dari leluhur dan sama sekali tidak menganjurkan makanan sintesis ala pabrik.

Pollan mengatakan, Saya percaya ada banyak sumber kebijaksaan di dunia dan kosakata lain untuk menggambarkan makanan. Makhluk hidup mengonsumsi makanan dengan baik dan bisa hidup sehat sejak lama, jauh sebelum ilmu gizi ditemukan; sangatlah mungkin untuk mengonsumsi makanan sehat tanpa harus mengetahui arti antioksidan.

Seperti di aturan nomor 15, Pollan menjelaskan secara sederhana bahwa makanan yang akan membusuk adalah ciri hidup makanan. Yang akan Anda temukan adalah makanan segar dan utuh yang dipanen pada puncak kualitas rasa dan nutrisijenis-jenis makanan yang akan dikenali nenek buyut, atau bahkan nenek moyang Anda, sebagai makanan. Jenis makanan yang hidup dan akhirnya akan membusuk.

Ada petuah Cina yang tentu sangat menonjolkan karakteristik agraria meski dikritik karena mengabaikan ikan (tak berkaki) yang sangat sehat. Begini, memakan yang berdiri dengan satu kaki (jamur dan tumbuh-tumbuhan) lebih baik daripada memakan yang berdiri di atas dua kaki (unggas), yang juga lebih baik daripada memakan yang berdiri dengan empat kaki (sapi, babi, kambing, dan mamalia lain).

Di sini, masalah makanan dan makan memang terkesan menjadi kompleks karena kita sudah memasuki era industrialisasi makanan. Banyak makanan tidak lagi dihasilkan dari tanah sendiri atau diolah dalam skala rumah tangga yang lebih menjamin gizi. Kita sudah terlalu dikepung oleh pola makan mutakhir yang lebih sering berupa olahan daging, daya makanan bertepung, banyak tambahan lemak dan gula.

Ditambah lagi sebagai konsekuensi kehidupan mutakhir, sering bukan masalah makanan itu sendiri yang menghambat untuk merengkuh makanan sehat. Kemacetan, kesibukan, kefakiran secara ekonomi, jarak geografis menuju bahan dasar, atau ketidakmampuan domestik mengolah makanan sendiri, justru lebih menghambat. Tawaran memilih menu sehat itu sering datang dari pihak luar, entah resto berlabel organik atau jasa penyedia makanan sehat.

Ada suatu alegori tentang makanan dari prosais Indonesia, Nukila Amal, lewat cerpen filosofis berjudul Smokol (2009). Kebutuhan normatif manusia terhadap makanan biasanya lebih ke pemenuhan nafsu enak, kenyang, atau kelihatan begitu cantik. Smokol (makan tanggung di antara makan pagi dan makan siang dalam tradisi Minahasa), membuat Batara si tokoh utama sekaligus penyaji smokol yang perfeksionis khawatir, Aku curiga cita rasa akhirat akan seperti ini. Kenyang dan bahagia. Di surga, kita akan kenyang, terlalu kenyang untuk menginginkan.

Sebaliknya di dunia nyata, makanan sehat sering terasa menyakitkan dan melaparkan. Umat (baru) makanan sehat memaksa tidak kenyang tidak apa-apa; asal sehat, berumur panjang, dan pasti bergaya.

Leave a Response