Beberapa petani mengadakan sebuah kerja sama dalam pengelolaan dan penanaman kebun mereka. Tak urung, di dalam tanah itu ditanami berbagai jenis tanaman secara tumpangsari, seperti jahe (empon-empon), mangga, delima dan anggur kediri.
Semua jenis tanaman ini ternyata menghasilkan panen yang cukup lumayan pada setiap kali musim petiknya. Sumber asal pengairan dari kebun mereka diperoleh dari sumur dengan jalan menyedotnya menggunakan mesin tenaga diesel.
Permasalahan mereka adalah, apakah nishab zakat dari hasil panen ini dihitung untuk tiap-tiap jenis tanamannya pada setiap musim. Ataukah dihitung berdasarkan hasil penjumlahan total seluruh hasil panen? Pertanyaan ini lahir, mengingat tanaman tersebut dihasilkan dari hasil kerjasama antara petani penggarap dengan pemilik lahan (syirkah).
Penentuan Nishab Harta Zakat Syirkah Pertanian
Hukum asal ketentuan mengeluarkan zakat, adalah wajib mengeluarkannya sesuai dengan jenis harta zakat yang hendak dizakati. Kecuali emas, perak dan zakat tijarah, maka boleh dengan qimah (nilai rupiah).
الأصل أن تخرج الزكاة مِن جِنس المال المُزَكَّى عنه لكل مال على حِدَتِه
“Hukum asal kewajiban mengeluarkan zakat adalah harus dari jenis harta yang wajib dizakati. Yaitu ketika masing-masing harta tersebut telah mencapai batas wajib zakat.”
Hal ini disandarkan pada sabda Nabi Muhammad saw. kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. saat diutus ke negeri Yaman:
خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ، وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ، وَالْبَعِيرَ مِنَ الإِبِلِ، وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ
“Ambillah zakat biji-bijian dari jenis biji-bijian, kambing dari kambing, onta dari onta dan sapi dari sapi.” HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqy.
Al-Hakim di dalam al-Mustadrak-nya mengomentari bahwa: sanad hadis ini adalah shahih mengikut ketentuan dari Imam Bukhari-Muslim. Dengan catatan jika benar apa yang didengar oleh Atha’ bin Yasar dari Muadz bin Jabal radliyallahu ‘anhum.” (Ibnu Mulqan, Al-Badru al-Munir fi Takhrij Ahaditsi al-Syarh al-Kabir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 4, halaman 75).
Sementara itu, Al-Baihaqy di dalam al-Khilafiyat (nama salah satu kitabnya) menyatakan bahwa para perawi hadis di atas dihukumi sebagai tsiqah (kuat hafalannya dan bisa dipercaya). Alhasil, berdasar ketentuan hadits ini, maka disepakati bahwa harta zakat harus dikeluarkan dari jenis harta itu sendiri.
Masalahnya kemudian adalah tumbuhan terkadang memiliki ciri sama dalam genus, tapi berbeda dari segi spesies. Untuk mangga saja, ada mangga golek, ada mangga gadung, ada mangga manalagi. Ketiganya, adalah sama-sama dari jenis mangga. Tapi mangga gadung bukanlah mangga golek, juga bukan mangga manalagi. Ketiganya sama dalam genus, tapi berbeda dari sisi spesies. Padi, sekarang juga demikian, ada padi ketan, ada pagi IR64. Sama-sama genus padinya, tapi berbeda spesies.
Nah, bolehkah setiap spesies namun tunggal marga disatukan untuk melengkapi ketentuan 1 nishab?
Salah satu ulama dari kalangan Syafiiyah, yaitu Ibnu Mundzir menyatakan:
وأجمعوا على أن لا تضم النخل إلى الزبيب
“Para ulama berijma’ bahwasanya tidak boleh dikumpulkan antara zakatnya kurma nakhl dengan kurma zabib.” (Ibnu Mundzir, al-Ijma’, Kairo: Dar al-Muslim, tt., halaman 46).
Ibnu Mundzir menyebut dua jenis tanaman yang berbeda spesies namun satu marga. Ia menyatakan tidak boleh dikumpulkan menjadi satu. Meskipun sama-sama berasal dari marga kurma, atau sama-sama kelompok gandum. Akan tetapi jika gandum itu dari burr, maka tidak boleh dikumpulkan dengan gandum dari spesies sya’ir.
Pendakwaan sebagai ijma’ juga disampaikan oleh Imam Ibn Abdu al-Barr, salah seorang ulama dari kalangan Hanabilah.
وأجمعوا أنه لا يضاف التمر إلى الزبيب ولا إلى البر، ولا البر إلى الزبيب
“Para ulama berijma bahwasanya tidak boleh menyandarkan kurma tamr kepada kurma zabib, dan juga tidak kepada gandum, atau gandum kepada kurma zabib.” (Ibnu Abdu al-Barr, al-Tamhid, Damaskus: Wazaratu al-Auqaf, tt., Juz 20, halaman 150).
Selanjutnya, Ibn Abd al-Barr menyampaikan:
وإنما المعتبر في تكميل النصاب بالاتفاق: نصاب كل جنس على حدة؛ فتُضم أنواعُ الجنس الواحد إلى بعضها لتكميل النصاب؛ كأنواع التمر وإن اختلفت أسماؤها لأنها كلها تمر، ويُضم الجيد من الجنس الواحد إلى الرديء منه
“Yang disepakati boleh menggabungkan dua jenis tanaman secara mu’tabar untuk menyempurnakan nishab, adalah nishabnya semua macam tanaman yang masih satu jenis dengan batas-batas tertentu.
Oleh karenanya, boleh mengumpulkan macam-macam jenis tanaman yang masih satu rumpun ke sebagian hasil yang lain dalam satu rumpun untuk nishabnya. Misalnya tamr dengan zabib meski berbeda jenis kurmanya, atau jenis tanaman sama, namun yang satu baik dan satunya lagi buruk.” (Ibnu Abdu al-Barr, al-Tamhid, Damaskus: Wazaratu al-Auqaf, tt., Juz 20, halaman 150).
Pendapat dari Ibn Abd al-Barr di atas, agak sedikit berbeda dengan keterangan Syeikh Ibnu Hajar al-Haitamy di dalam Tuhfatu al-Muhtaj menyampaikan:
ولا يكمل جنس بجنس
“Tidak bisa saling menyempurnakan nishab tanaman berbeda jenis.” (Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfatu al-Muhtaj, Kairo: Maktabah al-Tijariyah, tt., Juz 2, halaman 149).
Alhasil, untuk tanaman yang berbeda spesies saja tidak bisa disatukan, apalagi tanaman yang berlainan marga atau genus, tentu lebih tidak bisa disatukan.
Dengan demikian, ketentuan nishab tanaman sebagaimana yang disajikan dalam deskripsi permasalahan di awal tulisan. Adalah masing-masing harus dihitung berdasar nishabnya sendiri-sendiri. Setelah setiap tanaman dipotong zakatnya, baru kemudian masing-masing hasil tanaman itu dibagikan ke petani yang menjadi mitra dalam serikat pertanian tersebut. Wallahu a’lam bi al-shawab