Judul               : Guru Penggerak
Penulis            : Tim Guru Penggerak
Penerbit          : Maghza Pustaka
Cetakan           : 1, 2020
Tebal                : vi+248 halaman
ISBN                : 978-602-5824-57-9

 

Setiap tanggal 25 November, kita memeringati Hari Guru Nasional. Peringatan yang ditetapkan melalui Kepres No. 78 Tahun 1994 ini merupakan momentum untuk mengapresiasi jasa dan peran penting guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa lewat tugasnya dalam mendidik. Selain itu, Hari Guru Nasional juga selalu menjadi momentum evaluasi dan refleksi kalangan guru dalam menjalankan tugasnya.

Kita tahu, salah satu problem klasik dunia pendidikan kita adalah proses pembelajaran yang cenderung monoton, minim inovasi dan kreativitas. Guru menyampaikan materi dengan metode konvensional atau sekadarnya, sehingga anak didik merasa bosan dalam belajar.

Akibatnya, proses belajar mengajar masih belum menjadi pengalaman yang menyenangkan dan menarik bagi anak didik. Di titik inilah, guru diharapkan bisa menjadi pendidik yang kreatif, inovatif, sekaligus “teman belajar” yang menyenangkan.

Di buku terbaru berjudul Guru Penggerak (2020) ini, kita disuguhi berbagai kisah dari para guru penggerak. Seperti kita tahu, “Guru Penggerak” adalah bagian dari agenda besar “Merdeka Belajar” yang saat ini digaungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Guru penggerak adalah program menciptakan guru-guru kreatif dan inovatif yang diharapkan menjadi ujung tombak perubahan atau transformasi pendidikan Indonesia.

Kehadiran buku ini bisa menjadi gambaran tentang sosok-sosok guru penggerak tersebut. Banyak kisah tentang para guru penggerak disuguhkan. Kisah-kisah tersebut terbagi dalam beberapa sub tema: metode mengajarkan mata pelajaran secara kreatif dan inovatif, menggerakkan budaya membaca dan menulis di kalangan siswa dan guru, mengantarkan siswa berprestasi, mengantarkan siswa berjiwa sosial dan empati, dan menjadi guru berprestasi.

Terkait metode mengajar kreatif dan inovatif, ada kisah Ibu Huzaimah, seorang pendidik di MAN 2 Lubuklinggau. Ia melihat, mata pelajaran fiqih tidak hanya tentang menanamkan sumber nilai, namun juga merupakan sumber motivasi, konsep, perbaikan, pencegahan, dan pembiasaan mengenai syariat Islam. Namun, ia menyadari bahwa banyak pembelajaran Fikih terjebak dalam metode monotin, sehingga hanya berujung pada penguasaan ranah pengetahuan, tanpa menyentuh ranah afektif dan keterampilan.

Karena itu, Ibu Huzaimah mencoba media Boarding Sheet, media mengajar berupa potongan-potongan kertas berisi materi pembelajaran guna menjadikan diskusi menjadi lebih efektif dan menarik. Di sini, siswa dibagi dalam kelompok-kelompok, maksimal satu kelompok 5 orang. Masing-masing kelompok akan mengatur tugas anggota kelompok: 3 orang untuk searching informasi, 1 orang untuk verifikasi, dan 1 orang juru tulis untuk menyelesaikan resume.

Melalui kegiatan pencarian data dan diskusi tersebut, terjadi diskusi dan anak didik melakukan analisis. “Jika didapatkan informasi yang kurang tepat, langsung dilkarifikasi dengan memberikan informasi pada petugas pencarian sheet untuk mengganti informasi yang lebih tepat di board atau berkeliling mencari di kelompok-kelompok lain,” jelas Ibu Huzaimah. Lewat metode tersebut, ia melihat betapa kelas menjadi lebih aktif dan tiap anak didik terlibat aktif dalam proses pencarian informasi (hlm 22).

Selain soal metode pembelajaran, masalah mendasar dunia pendidikan adalah minimnya budaya literasi. Terlebih, di era digital sekarang, anak didik lebih dekat dengan gawai dan semakin jauh dari buku. Hal inilah yang digelisahkan Ibu Sitti Aminah, guru di SMA N 1 Muara Baru.

Sebagai pendidik, ia menyadari bahwa untuk menumbuhkan budaya literasi anak didik bukan hal yang mudah. Apalagi, harus diakui di kalangan guru sendiri budaya literasi masih rendah. “Bagaimana mungkin saya memotivasi mereka sementara saya sendiri belum mampu menjadi teladan yang baik dalam berliterasi?” tulis Ibu Sitti.

Oleh karena itu, Ibu Sitti Aminah berupaya mendorong budaya literasi dengan memberikan contoh langsung. Ia bergabung dengan Ikatan Guru Indonesia (IGI), berdiskusi dengan sesama pendidik, dan mengikuti berbagai pelatihan menulis, hingga melahirkan buku sendiri.

Dari sana, ia mulai menebarkan virus literasi ke anak didiknya di setiap kesempatan. Mulai dari membiasakan membaca buku, lalu pelan-pelan memotivasi anak didik untuk menulis apa saja. Dari pengalaman keseharian siswa tentang keluarga, saudara, guru, sahabat, dan sebagainya.

Memang tak mudah, namun berkat konsistensi dan kesabaran Ibu Sitti Aminah, lahirlah buku kumpulan tulisan siswa dari setiap kelas. Dari sana, mulai muncul anak-anak yang suka dan ketagihan menulis. Mereka pun mulai berani menulis buku secara mandiri. “Alhamdulillah, ‘Man Jadda Wajada’, jika guru mampu menjadi motor penggerak literasi di tiap sekolah, tidak ada yang tidak mungkin suatu saat akan lahir penulis-penulis hebat dunia karena guru,” tulisnya  (hlm 46-48).

Kisah tak kalah menarik juga dituliskan Bapak Aji Murwanto, guru SMP Internat Al Kausar Sukabumi. Sekolahnya mengadakan kegiatan pembelajaran Home Stay, di mana siswa ditempatkan di rumah-rumah warga selama 3 hari. Siswa diajak mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat pedesaan.

Anak diajak melihat kegiatan warga, mulai dari bekerja memetik daun teh di kebun, bekerja bakti membersihkan lingkungan, hingga mengunjungi lokasi budidaya ulat sutra. Melalui interaksi tersebut, siswa belajar lebih peka dengan lingkungan, lebih berempati, dan bisa menyelesaikan masalah secara mandiri.

Interaksi dengan masyarakat tersebut juga menjadi wahana sosialisasi sekaligus evaluasi amalan ibadah sehari-hari yang selama ini diajarkan di ruang kelas. “Akhlak terpuji Rasul yang sering didiskusikan di kelas, apakah terimplementasi di kehidupan nyata atau sekadar dihafal di atas kertas? Semua bisa diobservasi dengan kegiatan Home Stay tersebut,” tulis Aji Murwanto (hlm 140).

Buku ini membuka mata kita bahwa ada banyak guru yang memiliki spirit untuk berinovasi dan berkreasi dalam mengajar. Mereka berani berjuang membuat perbedaan di tengah segala bentuk rutinitas yang selama ini monoton. Mereka berkerja lebih giat dan meluangkan waktu lebih banyak untuk menciptakan suatu perubahan yang positif.

Mereka adalah para guru penggerak yang harus bisa menjadi contoh agar bisa lahir guru-guru penggerak lain demi dunia pendidikan Indonesia yang lebih baik. Selamat Hari Guru Nasional!

Leave a Response