Islam adalah agama yang diturunkan di Jazirah Arab pada tahun 609 Masehi.  Kehadiran Islam ditandai dengan diturunkannya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw di Gua Hira.

Kata Islam berhubungan erat dengan makna keselamatan, kedamaian dan kemurnian. Sedangkan secara istilah, Islam bermakna sebagai penyerahan diri kepada Allah Swt dengan cara menerima ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum-Nya.

Berbeda halnya dengan Islam, Filosofi Stoisisme bukanlah sebuah agama melainkan hanya sebuah paham filsafat. Filsafat Stoisisme lahir sekitar 2.300 tahun yang lalu.

Para praktisi filsafat ini melakukan kegiatan belajar dan mengajar di sebuah teras berpilar atau semacam alun-alun Yunani Kuno di Kota Athena. Dalam bahasa Yunani kata teras disebut dengan Stoa, oleh karenanya pengikut filsafat ini disebut sebagai “kaum Stoa”.

Meskipun Islam lahir jauh setelah adanya Filsafat Stoisisme, namun antara keduanya terdapat banyak persamaan, khususnya pada tata cara menjalankan kehidupan dengan sebaik mungkin.

Islam dan Stoisisme menawarkan berbagai mutiara kehidupan yang kaya dan saling melengkapi. Apabila dalam Islam ajaran-ajaran tersebut berasal dari firman Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur’an, dalam Stoisisme kalimat penggugah jiwa ini berasal dari para tokohnya yang terkenal seperti Epictetus, Seneca, Marcus Aurelius dan lain-lain.

Hal yang akan dibahas di dalam tulisan ini khususnya terkait tentang konsep ketetapan Tuhan dan hidup selaras dengan alam antara agama Islam dan Stoisisme.

Dalam Islam, penganutnya diwajibkan untuk menyakini adanya Qodarullah atau ketetapan Allah Swt. Allah Swt berfirman yang artinya “… Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” – Q.S. al-Ahzab  ayat 38.

Dalam Filsafat Stoisisme ada pula yang disebut dengan konsep Amor Fati atau mencintai takdir. Stoisisme mengajarkan bahwa manusia harus belajar ikhlas dan menerima keadaan saat ini bahkan mencintainya. Hal ini dilakukan agar manusia memiliki kesempatan untuk menikmati dan mensyukuri apa yang ada.

Menurut Filsuf Stoa: “Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginamu, tetapi justru inginkan agar hidup terjadi apa adanya dan jalanmu akan baik adanya” – Epictetus (Discourses).

Antara Qodarullah dan Amor Fati adalah sama-sama ketetapan atau takdir yang tidak bisa diubah oleh manusia. Karena merupakan sesuatu yang tidak bisa diubah, sudah seharusnya manusia menjalani apa yang telah ditakdirkan dengan penuh cinta atau bersuka cita karenanya.

Takdir yang tidak bisa diubah manusia di antaranya adalah perihal kematian. Menurut agama Islam tidak ada yang datang ke dunia ini karena keinginannya sendiri, semua adalah kehendak Allah Swt. Maka kehadiran manusia di dunia ini adalah sesuatu di luar kendali, begitu pula dengan kematian.

Allah Swt berfirman: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan– Q.S. Ali Imran : 185

Begitu pula menurut kaum Stoa, kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sehingga kematian bukanlah hal yang menakutkan karena pasti akan dialami oleh semua makhluk yang bernyawa.

Menurut Filsuf Stoa: “Hidup selama 5 tahun atau 100 tahun, apa bedanya? Dan untuk diminta meninggalkan hidup, bukan oleh tiran tapi oleh alam yang juga dulu mengundangmu masuk ke dalam hidup lalu mengapa kematian begitu buruk?… Baik kedatanganmu maupun kepulanganmu tidaklah ditetapkan dirimu sendiri.

Maka pergilah kamu (dari hidup) dengan anggun, keagungan yang sama yang telah ditunjukkan kepadamu” – Marcus Aurelius (Meditations).

Jika manusia bisa menerima realitas bahwa kematian adalah hal yang pasti terjadi, maka ia bisa berhenti merasa takut akan datangnya kematian, bahkan seharusnya merasa bahagia. Manusia bisa bahagia dengan kedatangan kematian karena kelak akan menjalani kehidupan yang kekal bukan hanya sesaat seperti di dunia. Selain itu manusia juga bisa bertemu Allah, Tuhan yang menciptakannya.

Dalam Islam terdapat pula konsep Sunatullah atau hukum alam. Manusia yang memegang prinsip selaras dengan alam akan hidup sejalan dengan akal sehatnya sehingga dapat membedakan mana yang haq dan yang bathil (baik dan buruk).

Begitu pula menurut Stoisisme, satu-satunya yang dimiliki manusia yang hidup selaras dengan alam yakni dapat menggunakan akal sehatnya untuk selalu berbuat kebaikan (Life of Virtues).

Menurut Filsuf Stoa: “Bisa dikatakan, manusia lain adalah ‘kerja’ kita. Tugas kita adalah melakukan yang baik kepada mereka dan hidup berdampingan dengan mereka…” – Marcus Aurelius (Meditations)

Oleh karenanya manusia harus selalu berbuat kebaikan karena sudah hukum alamnya demikian. Allah Swt berfirman: “… Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” – Q.S. al-Qashas ayat 77.

Sehingga apabila ada manusia yang berlaku jahat, berarti ia belum hidup sesuai dengan hukum alam. Oleh karena itu hidupnya tidak akan bahagia, meskipun bahagia bisa dipastikan bahwa itu hanya kebahagian yang semu saja.

Selain itu, hidup selaras dengan alam juga menuntut kita untuk menyadari bahwa segala peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia tidak ada yang kebetulan karena semuanya mengikuti hukum dan aturan alam. Allah Swt berfirman:

Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu) dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati peubahan pada sunnah AllahQ.S. al-Ahzab ayat 62

Setelah menelaah ayat-ayat Al-Qur’an dan untaian kata-kata bijak para Filsuf Stoa, maka dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan Stoisisme tidak terdapat tembok-tembok pemisah yang dapat menimbulkan konflik. Bahkan kebijaksanaan yang ada di agama Islam dan Stoisisme dapat dijadikan alternatif yang bisa membuat manusia lebih tenang dalam menjalani kehidupan.

Leave a Response