Meski Sulawesi Utara dikenal sebagai salah satu provinsi dengan mayoritas penduduk beragama Kristen, di wilayah Bolaang Mongondow Raya (Kab. Bolaang Mongondow, Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Bolaang Mongondow Timur, Kab. Bolaang Mongondow Utara, dan Kota Kotamobagu) Islam menjadi agama mayoritas.
Bolaang Mongondow Raya dahulu merupakan Kerajaan Bolaang Mongondow yang eksis di semenanjung utara pulau Sulawesi. Tercatat raja pertama yang memeluk Islam di daerah ini adalah Raja Loloda Mokoagow (1653-1693). Meski Raja Loloda Mokoagow telah memeluk Islam, namun Islamisasi di Bolaang Mongondow belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Raja Loloda Mokoagow digantikan oleh putranya, Raja Jakobus Manoppo (1689-1731 M), yang sebelum naik tahta sudah menganut agama Kristen Katolik. Kristen Katolik pun menjadi agama raja-raja setelahnya hingga sampai pada Raja Jakobus Manuel Manoppo (1833-1858 M) yang memilih untuk masuk Islam.
Tercatat setelah Raja Loloda Mokoagow ada sepuluh Raja Bolaang Mongondow yang beragama Katolik: Jakobus Manoppo, Fransiscus Manoppo, Salomon Manoppo, Eugenius Manoppo, Christofel Manoppo, Marcus Manoppo, Manuel Manoppo, Cornelis Manoppo, Ismael Cornelis Manoppo, dan Jakobus Manuel Manoppo (beliau kemudian memilih memeluk Islam).
Itu menandakan bahwa pengaruh Kristen Katolik meningkat setelah masa Raja Loloda Mokoagow. Meski demikian bentuk pengamalan raja dan masyarakat Bolaang Mongondow waktu itu masih kental dengan agama tradisional, bahkan saat itu tidak ada pemfungsian jemaat Kristiani, dan banyak yang tidak mengamalkan ajaran Kristen.
Agaknya raja dan masyarakat Bolaang Mongondow sangat kental dengan ajaran leluhur. Hal ini tidak lepas dari sifat orang Mongondow yang sangat menghormati nenek moyang, sebagaimana diketahui kalau ritual agama tradisional Bolaang Mongondow adalah praktek ancestor worship (penyembahan leluhur). Meski sudah memeluk Katolik, namun pengamalan ini masih tetap melekat.
Selain itu, para misionaris juga sulit menjangkau Bolaang Mongondow di masa raja-raja dan rakyat memeluk agama Katolik. Sehingga edukasi ajaran Katolik tidak berkembang dengan baik.
Ini terlihat sebagaimana dalam catatan Jeremy Stickings: Bolaang-Mongondow: Some Notes on History and Adat (1979), yang menggambarkan Bolaang Mongondow sebagai: terra incognita… independent and virtually inaccessible (tanah yang tidak diketahui… bebas dan pada hakikatnya tidak dapat/sulit dimasuki).
Padahal sebelumnya Bolaang Mongondow termasuk daerah yang mudah dimasuki dan banyak didatangi oleh para misionaris. Semisal para misionaris beserta utusan Gubernur Portugis yaitu Piter Diego Maghelhaes yang datang ke Bolaang di abad 16 M, dan mengajak Punu’ (Raja) Busisi memeluk Kristen.
Menurut saya salah satu penyebab merosotnya jumlah misionaris yang ke Bolaang Mongondow dikarenakan pengaruh peralihan kekuasaan dari Spanyol ke Belanda.
Tidak seperti Spanyol yang menganggap kalau misi penyebaran ajaran Katolik juga merupakan bagian dari kolonialisme mereka, Belanda tidak terlalu tertarik pada misi zending. Bagi Belanda tidak peduli masyarakat Nusantara beragama apa yang utama adalah bisa menguasai hasil alam.
Ini jelas terlihat dari sikap Belanda yang kurang peduli saat Raja Jakobus Manuel Manoppo memintakan seorang guru agama Kristen dan juga ketika beliau menyatakan akan masuk Islam beserta masyarakat Bolaang Mongondow.
Sikap demikian tentu berpengaruh pada pendanaan misi zending serta penyebaran misionaris di Nusantara termasuk di Bolaang Mongondow. Langkanya guru agama Kristen di daerah ini waktu itu jelas sangat berdampak pada pemahaman serta pengamalan orang-orang terhadap ajaran Katolik.
Di masa Raja Ismael Cornelis Manoppo, ada seorang guru Kristen dari Ambon yang bernama P. Bastian. Beliau mengajar di Bolaang (Ibu Kota Kerajaan), namun sepeninggalnya pada 1831 M, sekolah itu ditutup.
Saat Raja Jakobus Manuel Manoppo menjabat, beliau meminta agar Residen Belanda mengupayakan pengganti dari guru tersebut. Tapi, permintaan raja kurang direspon oleh Residen. Hal itu tentu membuat raja kecewa.
Di sisi lain, para pedagang Muslim dan penyebar agama Islam yang datang ke Bolaang Mongondow semakin banyak, serta di beberapa kawasan dakwah Islam semakin masif. Di Lipung Simboy Tagadan (sekarang Kelurahan Motoboi Kecil, Kotamobagu Selatan) sudah ada kelompok masyarakat muslim.
Para penyebar Islam di daerah ini adalah jaringan ulama dari Gorontalo yang disebut Tim 9 sebab jumlah mereka ada 9 orang. Jaringan ulama ini dikepalai oleh Imam Tueko.
Diceritakan bahwa Tim 9 mengadakan pagelaran Islam berupa pengajian, qasidah, dan pertunjukan seni Islam lainnya. Saat itu, Raja Jakobus Manuel Manoppo ikut menghadiri acara tersebut. Kehadiran raja memang sangat diharapkan, sebab salah satu tujuan dari pagelaran itu adalah untuk mendekati dan mengenalkan Islam kepada raja dan masyarakat.
Sebelumnya, jaringan ulama ini telah melakukan penelusuran dan menemukan fakta bahwa, jika raja berhasil diislamkan maka proses Islamisasi di masyarakat akan semakin masif. Sebab orang Mongondow punya prinsip: dumodui kon agama in datu (ikut agama datu/raja). Sehingga salah satu target dari jaringan ulama ini adalah mengislamkan Raja Jakobus Manuel Manoppo.
Tidak diduga saat mendengarkan suara merdu Kilingo, putri Imam Tueko dan termasuk anggota dari Tim 9, yang melantunkan pengajian dan qasidah dengan indah, raja malah jatuh hati padanya. Sehingga raja pun melamar Kilingo.
Lamaran itu tentu disambut baik oleh Imam Tueko dengan syarat raja harus masuk Islam dulu baru bisa menikahi putrinya. Syarat itu disanggupi oleh raja hingga dirinya menjadi mualaf.
Kapan Raja Jakobus Manuel Manoppo masuk Islam?
Saya sendiri tidak tahu pasti, sebab sepanjang penelusuran saya ada beberapa sumber yang menyebutkan keislaman raja dengan penjelasan tahun yang berebeda.
Jeremy Stickings dalam catatan etnografinya: Bolaang Mongondow: Some Notes on History and Adat (1979), menjelaskan bahwa: …the conversion of the raja in 1844 (perubahan agama raja terjadi pada 1844).
Sementara dalam bukunya Hamri Manoppo, dkk.: Dinamika Islamisasi di Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, Abad 17-20, dijelaskan bahwa sekembalinya ke Bolaang Mongondow, raja yang kecewa sebab permintaannya mendatangkan guru agama Kristen tidak direspon baik oleh Residen lantas meresmikan Islam sebagai agama kerajaan pada tahun 1833.
Dalam catatan yang lebih tua dari Wilken dan Schwarz: Het Heidendom en de Islam in Bolaang Mongondou (1867), sebagaimana dikutip Seven Kosel dalam the History of Islam in Bolaang Mongondow bahwa: …the conversion of the raja to Islam on his return from Manado… (raja masuk Islam sekembalinya dari Manado). Dan kepergian Raja Jakobus Manuel Manoppo menghadap Residen Belanda, A. J. van Olpen, di Manado untuk mengabarkan dirinya akan masuk Islam adalah pada 1848.
Meski ada perbedaan terkait kapan Raja Jakobus Manuel Manoppo masuk Islam. Namun, yang pasti raja telah menjadi Muslim, dan saat itu keluarga dan masyarakatnya juga ikut memeluk Islam.
Residen Belanda di Manado juga tidak keberatan dengan perubahan agama Raja Jakobus Manuel Manoppo. Bagi Belanda yang terpenting adalah raja tetap loyal kepada Belanda.
Menurut Seven Kosel sebagaimana dia mengutip catatan dari S. Ulfers (1859), seorang misionaris yang diutus ke Sulawesi Utara, bahwa meski saat itu raja berstatus sebagai penganut Katolik, namun sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Kristen, parahnya lagi permohonannya agar Residen Belanda menghadirkan guru agama Kristen ke Bolaang Mongondow tidak mendapat respon baik.
Sehingga saat ada tawaran untuk masuk Islam, maka he found a way to get rid of this [Christian] label (dia menemukan jalan untuk menghilangkan status Kristen).
Raja Jakobus Manuel Manoppo pun masuk Islam dan diikuti oleh keluarga serta rakyatnya. Residen Belanda di Manado kemudian memberinya gelar sebagai sultan. Itulah kenapa meski Bolaang Mongondow bukan kesultanan, namun nisan di makam beliau bertuliskan gelar sultan: Sultan Jakobus Manuel Manoppo.
Walaupun Islam secara resmi menjadi agama raja, keluarga, dan rakyat Bolaang Mongondow, namun secara sistem pemerintahan Bolaang Mongondow tidak menganut sistem kesultanan. Sehingga para pemimpin selanjutnya tetap bergelar raja, hanya Jakobus Manuel Manoppo yang punya gelar sultan.
Islam pun terus menjadi agama Raja-raja Bolaang Mongondow setelah Sultan Jakobus Manuel Manoppo. Tercatat nama-nama raja setelahnya: Adrianus Cornelis Manoppo, Johanes Manuel Manoppo, Abraham Sugeha (Datu Pinonigad/Raja Sementara), Ridel Manuel Manoppo, Datu Cornelis Manoppo, Laurens Cornelis Manoppo, dan Henny Yusuf Cornelis Manoppo–Raja Bolaang Mongondow terakhir yang meletakkan jabatannya pada 1 Juli 1950 M, dan itu mengawali perjalanan Bolaang Mongondow sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Utara.
Keislaman Sultan Jakobus Manuel Manoppo menjadi salah satu penyebab Islamisasi di Bolaang Mongondow berjalan semakin masif. Dengan adanya pepatah orang Mongondow: dumodui agama in datu, sehingga tidak mengherankan kalau kemudian masyarakat pun berbondong-bondong memeluk Islam.
Setelah masuk Islam, Sultan Jakobus Manuel Manoppo mendirikan masjid di Bolaang (Ibu Kota Kerajaan waktu itu). Masjid tersebut menjadi pusat ibadah dan juga tempat pendidikan Islam.
Semakin banyak lipung atau desa ikut memeluk agama yang dianut Raja Bolaang Mongondow, yaitu Islam. Hal ini menjadi tanda semakin masifnya penyebaran dan perkembangan Islam, sehingga Islam kemudian menjadi agama mayoritas di Bolaang Mongondow.