Al-Bayan Li As-Shalat Al-Masnunah adalah kitab karya seorang ulama dan sufi perempuan dari Mranggen Demak, Umi Sa’adah Muslih. Umi Sa’adah Muslih merupakan istri pengasuh Pesantren Futuhiyyah yang juga mursyid tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Kiai Muslih Abdurrahman.

Kitab ini berisi penjelasan-penjelasan singkat mengenai niat dan tata cara shalat sunah seperti shalat dhuha, awabin, rawatib, tarawih, witir, hajat, tasbih, istikharah, tahajud, taubat, gerhana, dan istisqa. Latar belakang penulisan kitab ini, sebagaimana diakui sendiri oleh Umi Sa’adah dalam mukadimahnya, adalah lantaran banyak orang yang membutuhkan penjelasan mengenai tata cara shalat sunah.

Adalah bukan sesuatu yang mengherankan kalau banyak orang, utamanya dari kalangan perempuan, yang bertanya tentang agama kepada Umi Sa’adah, sebab beliau memang dikenal sebagai ulama perempuan yang alim. Selain mengajar beberapa kitab kepada para santri di Mranggen, beliau juga mengisi pengajian tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah untuk ibu-ibu di Masjid An-Nur Pesantren Futuhiyyah setiap Kamis.

Paling tidak ada dua kitab yang dirujuk oleh Umi Sa’adah dalam menulis kitab ini, yaitu I’anatu At-Thalibin karya Sayyid Abu Bakar Syatha dan Khazinatu Al-Asrar Jalilatu Al-Adzkar karya Syekh Muhammad Haqqi An-Nazili. Ianatu At-Thalibin merupakan syarah atau penjelas kitab fikih Fathul Muin karya Zainudin Al-Malibari, sedangkan Khazinatu Al-Asrar merupakan kitab berisi kompilasi tentang keutamaan beberapa surat dan ayat Al-Qur’an berdasarkan hadis sahih.

Selain merujuk kitab-kitab tersebut, Umi Sa’adah juga mendasarkan tulisannya pada keterangan-keterangan dan ijazah yang beliau dapatkan dari Kiai Muslih.

Umi Sa’adah memulai kitab ini dengan menjelaskan dua jenis shalat sunah, yakni shalat sunah yang tidak sunah dilakukan secara berjamaah dan shalat sunah yang sunah dilakukan secara berjamaah. Ada sebelas (11) shalat sunah yang tidak sunah dilakukan secara berjamaah atau lebih baik dilakukan sendiri.

Kesebelas shalat sunah tersebut adalah: (1) shalat sunah rawatib atau shalat sunah sebelum/sesudah shalat fardlu (2) shalat witir (3) shalat dluha (4) tahiyyatal masjid (5) sunah wudlu (6) istikharah (7) shalat sunah lil ihram (8) shalat sunah li at-thawaf (9) shalat awwabin (10) tasbih, dan (11) tahajud.

Meskipun shalat-shalat sunah tersebut lebih baik dilakukan sendiri-sendiri, namun apabila dilakukan dengan berjamaah juga diperbolehkan. Umi Sa’adah mengutip beberapa hadis dari Khazinatul Asrar yang menjelaskan kebolehan mengerjakan shalat li syukri al-wudhu dan shalat dhuha secara berjamaah.

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Thabrani dari Aidz bin Amr RA, Rasulullah pernah shalat syukri al-wudhu berjamaah dengan para sahabat. Rasulullah juga pernah shalat dhuha berjamaah dengan sahabat Itban bin Malik, berdasarkan hadis riwayat Al-Bukhari.

Adapun shalat sunah yang sunah dilakukan secara berjamaah adalah (1) shalat Idul Adha (2) shalat Idul Fitri (3) shalat gerhana bulan/matahari (4) shalat istisqa, dan (5) shalat tarawih.

Berbeda dengan penjelasan mengenai shalat-shalat sunah lainnya, Umi Sa’adah memberikan keterangan yang cukup lengkap ketika membahas shalat sunah awabin. Sebagaimana termaktub dalam kitab ini, shalat sunah awabin adalah shalat sunah empat rakaat yang dilakukan di antara shalat magrib dan isya.

Tata cara shalat sunah awabin adalah pada rakaat pertama setelah membaca Al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlas 11 kali, pada rakaat kedua setelah Al-Fatihah membaca Al-Ikhlas 10 kali dan Al-Kafirun 3 kali. Pada rakaat ketiga setelah Al-Fatihah membaca Al-Ikhlas 11 kali dan At-Takatsur satu kali, dan pada rakaat keempat setelah Al-Fatihah membaca Al-Ikhlas 11 kali dan ayat kursi satu kali.

Meskipun secara garis besar membahas shalat-shalat sunah, sebagaimana tercermin dari nama kitabnya, ternyata di dalam kitab ini Umi Sa’adah juga membahas shalat jenazah dan shalat jama-qashar. Agaknya Umi Sa’adah memandang penting untuk menyertakan keterangan dua shalat tersebut dalam kitab ini.

Beberapa Do’a

Tidak hanya itu, Umi Sa’adah juga menambahkan beberapa doa yang baik untuk dibaca setelah shalat wajib. Ketika menjelaskan keutamaan salah satu doa yang dibaca setelah shalat wajib, Umi Sa’adah menuturkan satu kisah.

Ketika Syekh Haffar sedang duduk-duduk di kuburan, tiba-tiba di dalam kubur ada seseorang sedang duduk dengan kurma berada di atas meja di hadapannya. Syekh Haffar lantas bertanya, “Mengapa engkau mendapat anugerah seperti itu?” Ahli kubur itu menjawab bahwa ia mendapatkan anugerah tersebut karena setiap selesai shalat lima waktu mengamalkan doa berikut:

لا اله الا الله ارضي بها ربي لا اله الا الله افني بها عمري لا اله الا الله اقطع بها دهري لا اله الا الله اونس بها قبري لا اله الا الله القى بها ربي لا اله الا الله اعدها لكل شيئ يجري

Laa ilaaha illallah urdhi biha rabbi, laa ilaaha illallah ufni biha umri, laa ilaaha illallah aqthau biha dahri, laa ilaaha illallah unisu biha qabri, laa ilaaha illallah alqa biha rabbi, laa ilaaha illallah uidduha likulli sya’in yajri.”

Selain doa di atas, Umi Sa’adah juga menuliskan doa kanzu al-arasy (menghilangkan susah dan sakit), doa anak kepada orangtua, doa orangtua kepada anak, dan doa qunut nazilah.

Kitab ini ditulis sebanyak 39 halaman dengan aksara jawa pegon. Sayangnya tidak ada keterangan kapan kitab ini selesai ditulis. Meskipun demikian, bisa dipastikan kitab ini sudah ada ketika Kiai Luthfi Hakim, Kiai Makhdum Zain, Kiai Ridwan, dan Kiai Abdurrahman Badawi (seluruhnya adalah putra kandung dan menantu Kiai Muslih) masih hidup.

Keempat kiai tersebut adalah orang yang menashih kitab ini. Apabila Kiai Ridwan wafat pada sekitar tahun 1995, maka bisa disimpulkan bahwa kitab ini selesai ditulis pada rentang waktu sebelumnya, bisa di awal tahun 1990-an, atau bisa saja lebih awal lagi. Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Response