Judul Buku     : Cinta Negeri Ala Gus Mus

Penulis            : M. Zidni Nafi’

Penerbit          : Imania

Cetakan           : 2019

Tebal               : 246 halaman

ISBN               : 978-602-7926-46-2

 

Belakangan ini, kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri kita ini, sedikit banyak mengalami goncangan. Terhitung sejak munculnya isu agama: “penista agama”  dituduhkan pada Ahok dan mencapai puncaknya menjelang pilres 2019 kemarin. Di masyarakat hingga kini menunjukkan adanya polarisasi sangat kental, dibarengi dengan pandangan fanatik atas pilihan politik tertentu.

Sikap ini, tentu cenderung tak baik dan jauh dari sikap keadaban, bertentangan satu sama lain, serta bisa menumbuhkan sikap rasa permusuhan, baik sesama umat Islam maupun umat non-muslim.

Kita melihat, “seakan-akan”, ini menandakan adanya krisis ketokohan untuk dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari, dan bisa diikuti pemikirannya serta menyatukan setiap lapisan masyarakat. Walaupun, tidak demikian adanya, untuk saat ini banyak tokoh dan kau intelektual. Unutk itu, kiranya, kita tepat membaca kembali karya M. Zidni Nafi, Cinta Negeri Ala Gus Mus (2019).

Tulisan yang berawal dari ceramah-ceramah Gus Mus selama tiga minggu saat pasanan atau pasaran di kala mondok pada bulan Ramadan dan pernah dimuat di NU Online ini hendak mengajak kita untuk berselancar menyelami mutiara hikmah dan juga menyegarkan kembali wawasan serta pandangan kebangsaan dan kenegaraan kita.

KH. Ahmad Musthofa Bisri atau yang lebih akrab dipanggil Gus Mus ini, tidak hanya dikenal sebagai pemimpin pondok pesantren, menguasai kitab-kitab Islam klasik, akan tetapi juga dikenal sebagai seorang budayawan: seniman, penyair, sastrawan, pelukis, penulis novel, cerpen, dan esai. Ia kerap kali tampil membacakan puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sulit kiranya untuk kita menemukan kiai model ini, di negeri ini selain beliau. Ia adalah seorang kiai yang sangat menarik dan unik dalam mencintai negeri ini. Untuk itu, kalau boleh dibilang Gus Mus adalah kiai yang sangat “nyintrik” dengan segala eksklusifitas keahlian yang dimilikinya. Tidak akan ada habisnya bicara tentang sosok pribadi kiai yang satu ini.

Namun, yang tidak kalah penting dan menarik dari Gus Mus sebenarnya adalah soal pandangan dan pikiran keagamaan dan kebangsaannya. Pandangan dan pikiran-pikiran Gus Mus tentang kebangsaan tentu sudah tidak diragukan lagi.

Kecintaannya pada negeri ini, ditunjukkan dengan menjadikan Islam, terutama dalam konteks Indonesia sebagai agama yang membawa rahmat bukan laknat, agama yang menampilkan wajah lemah lembut, santun bukan wajah agama yang salbut dan apalagi agama yang kalang kabut, tak jelas wajahnya.

Bagi Gus Mus, nilai-nilai harmoni sosial dan nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika, sudah sesuai dangan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, Islam Indonesia bisa jadi solusi peradaban.

Lintasan Gus Mus menuliskan, “Islam Nusantara adalah solusi untuk peradaban. Islam Nusantara memiliki wajah mencolok sekaligus meneguhkan nilai-nilai harmoni sosial dan toleransi dalam kehidupan masyarakatnya (hlm. 32)”.

Gus Mus mengejawatahkan prinsip dasar di atas, dengan berusaha bersikap dan menyadari bahwa sebagai muslim Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang memang kebetulan hidup di Indonesia menghargai, menghormati tradisi dan budaya yang ada di negeri ini. Sebab setiap tempat atau negara, sekalipun itu Saudi Arabia tempat awal munculnya Islam memiliki kekhasan tradisi dan budaya tersendiri.

Prinsip perbedaan tradisi dan budaya ini, seharusnya disadari oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, bahwa budaya masyarakat negeri ini adalah budaya komunal senang rukun, mengahargai, menghormati, bergotong-royong, saling tolong-menolong dengan tetangga.

Gus Mus, menuliskan, “Kita jangan pernah malu sebagai NU. Nilai gotong-royong yang mentradisi di kalangan kita layak dicontoh dan diteladani banyak orang. Masyarakat komunal yang senang bergotong-royong lebih dekat dengan ajaran Rasulullah Saw. (hlm. 217)”.

Gus Mus mengakui bahwa akhir-akhir ini, bangsa Indonesia telah kehilangan identitas, tradisi dan budaya serta telah kehilangan Pancasila sebagai sendi kehidupan, dan sebagai bangsa dengan umat Islam muslim terbesar telah kehilangan Islam sebagai agama yang menghargai tradisi.

Gus Mus, menulis, “Lunturnya karakter bangsa pada generasi muda saat ini dikarenakan telah kehilangan identitas kebangsaan dan keagamaan yang menjadi pegangan hidup dalam bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia telah kehilangan Pancasila sebagai dasar sendi kehidupan, dan sebagai bangsa dengan umat muslim terbesar telah kehilangan islam sebagai agamanya (hlm. 145)”.

Untuk itu, perlu menyiapkan generasi unggulan ke depan, membangun sikap dan kesadaran sebagai orang muslim Indonesia. Penting kiranya juga mencintai negeri bagi setiap elemen masyarakat bangsa negeri ini untuk selalu menjaga Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, mencintai negeri (hubbul wathan) adalah suatu kewajiban yang perlu dipahami dan dimaknai sebagai jihad secara benar.

Buku himpunan pemikiran dan ceramah Gus Mus yang ditulis oleh M. Zidni Nafi’ ini, layak untuk dijadikan sebagai refrensi generasi muda masa kini, agar tidak kehilangan identitas kebangsaan dan keagamaan yang telah menjadi pegangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, dari Gus Mus ini kita belajar mencintai negeri ini.

Leave a Response