Saya merasakan kemirisan saat membaca suatu berita tentang hasil sebuah studi berjudul Most Littered Nation in the World yang digagas oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016. Studi ini menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua dari bawah alias ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Dari 1.000 orang di Indonesia, hanya ada satu orang yang mempunyai minat untuk membaca (UNESCO, 2012). Padahal sudah jadi rahasia umum, bahwa besaran indeks minat baca suatu bangsa berbanding lurus dengan kemajuan dan nasib bangsa tersebut.
Kemirisan ini semakin menjadi-jadi ketika saya menyadari sebuah fakta yang tidak bisa dibantah bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia—85 persen lebih dari sekitar 262 juta penduduk. Setuju atau tidak, mau tidak mau, Indonesia adalah representasi wajah Islam di dunia. Secara serampangan, hasil studi itu juga menunjukkan indikator kemalasan umat Islam perihal minat baca. Maka kemirisan ini pun berubah menjadi sebuah tamparan keras. Lengkaplah sudah.
Rendahnya minat baca ini semakin masif dalam memberikan dampak buruk saat ditopang oleh rendahnya selera baca orang Indonesia. Nyatanya, memilih bacaan berkualitas yang layak dikonsumsi juga masih menjadi PR besar bagi masyarakat modern Indonesia. Kita seolah tidak bisa membedakan mana bacaan yang baik dan mana bacaan yang buruk. Efek negatifnya mulai kentara di era digital seperti sekarang.
Orang-orang lebih gemar untuk mengonsumsi bacaan-bacaan yang dibumbui oleh hal-hal sensitif yang dapat memicu permusuhan dan pertikaian antar sesama. Hoaks menjadi makanan sehari-hari yang laris manis diburu. Bad news is a good news. Keadaan ini diperparah dengan tingginya tingkat kemalasan orang Indonesia untuk melakukan klarifikasi terhadap sumber-sumber terpercaya dalam membendung hoaks.
Saya selalu percaya bahwa tokoh-tokoh agung yang pernah hidup di dunia adalah juga seorang pembaca yang agung. Belum pernah saya ketahui orang besar yang bukan pembaca besar. Guru-guru bangsa dan para ulama kita adalah pembaca ulung. Meski begitu, saya punya pendapat lain soal membaca dalam konteks ini. Menurut saya, tanpa bermaksud menafikan hasil studi negara literasi di atas, amat sempit rasanya jika membaca hanya dibatasi dalam media tulisan-tulisan serta aksara yang tertuang dalam lembar-lembar buku—baik digital maupun non-digital. Membaca memiliki makna yang jauh lebih luas dari itu.
Membaca adalah juga mengamati, merasakan, dan menyelami ‘buku-buku’ kehidupan dalam realitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Membaca berarti mengasah kepekaan sosial. Membaca—seharusnya dapat—mempertajam dimensi spiritualitas seseorang.
Kisah di balik asbabunnuzul wahyu pertama kepada Rasulullah Saw. di Gua Hira mustinya mampu menggugah kesadaran umat Islam perihal urgensi membaca—baik membaca buku bertuliskan huruf-huruf ataupun membaca buku kehidupan. Ketika Jibril As menyampaikan Iqra, Rasulullah Saw. yang ummi berkata bahwa “Aku tidak dapat membaca”. Namun Jibril As mengulang hingga tiga kali sebelum melanjutkan penggalan ayat selanjutnya. Kenapa Rasulullah Saw. yang ummi—tidak mampu baca tulis—mendapat seruan untuk membaca? Apasebenarnya yang diperintahkan Allah Swt. untuk dibaca oleh Rasulullah Saw.?
Bukti adanya perintah untuk membaca pada ayat Aquran yang pertama kali turun itu seharusnya lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa Islam memberi perhatian yang amat serius terhadap persoalan membaca. Melihat kenyataan itu, maka menjadi amat mengherankan jika umat Islam, lebih-lebih di Indonesia, tidak gemar dan memilih abai perihal membaca.
Tidak seharusnya Indonesia, negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, menempati runner up dari dasar klasemen negara dengan tingkat literasi di dunia. Pasti ada yang tidak beres. Apakah umat Islam Indonesia sudah tidak lagi membaca Alqurannya sehingga lalai bahwa Allah Swt. telah memerintahkan mereka untuk membaca dengan baik dan benar?
Kalau saja umat Islam di Indonesia benar-benar mau membaca dan menjalankan perintah Allah Swt. dalam wahyu yang pertama kali diturunkan oleh-Nya kepada Rasulullah Saw., niscaya Indonesia yang notabene mayoritas penduduknya memeluk agama Islam akan bercokol di peringkat pertama sebagai negara dengan tingkat literasi paling cemerlang di dunia. Dan tentu saja, semakin kaya perbendaharaan literasi suatu bangsa, semakin kecil pulalah kemungkinan bangsa tersebut untuk menjadi habitat subur beranak-pinaknya setan digital bernama hoaks bertempat tinggal. Wallahu a’lam.