Judul Buku      : Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia

Penulis             : Haidar Baqir

Penerbit           : Mizan Pustaka

Cetakan            : 1, September 2019

Tebal                 : 212 halaman

ISBN                  : 978-9602-441-135-0

 

Pendidikan adalah mengolah potensi manusia menjadi manusia sejati. Sebab tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia. Manusia memiliki daya dan kehidupan yang penuh makna. Karenanya, pendidikan sebaiknya mengembangkan potensi yang ada dan membuat hidup lebih bahagia.

Setiap proses pendidikan harus mampu melihat kekosongan, dan menggarapnya sebagai sesuatu yang berpotensi dari aspek kemanusiaan. Kendati begitu, pendidikan harus mengejewantahkan perspektif yang holistik, menyeluruh, dan interagtif. Sehingga puncaknya, kemampuan personal-eksistensial dan spritual anak didik, dapat masuk dan menentukan sikap-sikap sosial-emosional yang positif bagi mereka.

Segenap proses pendidikan kita, harus bertujuan ke arah penjernihan batin untuk mengembangkan potensi dan terciptanya hidup sejahtera, baik fisik, mental, dan spritual. Pendidikan bukan hanya untuk sekedar melahirkan mental pekerja atau mental angka-angka.

Karena, menurut Sindhunata dalam Basis (2015) pengangkaan dalam pendidikan sungguhlah sangat berbahaya. Sebab, pengangkaan bisa membuat anak kehilangan kegembiraan dalam proses belajar. Anak didik akan selalu terbayangi dengan patokan prestasi belajar hanya demi angka yang paripurna. Belajar hanya demi angka, tak peduli materi pelajaran bisa diresapi dan dipahami.

Itulah sebabnya, di negara-negara Barat seperti Jerman melakukan peloporan penghapusan terhadap sistem pengangkaan. Melalui kepeloporan sang Menteri Pendidikan negara bagian Schleswig Holstein, Waltraud Wende, terang-terangan bertekad ingin melakukan menghapusan pengangkaan. Karena baginya, tugas sekolah adalah menyampaikan bukan hanya ilmu tapi juga kegembiraan dalam belajar. Ia bisa dimulai dengan mengembangkan potensi siswa, baik fisik, seni, atau budaya.

Karenanya, menurut Wende, pengangkaan harus dijauhkan dari sekolah. Banyak penelitian membuktikan bahwa pengangkaan tidak cukup menghasilkan, bahkan tidak objektif, tidak deferensiatif, dan tak bisa membuat anak tambah maju. Memberi pengangkaan tidak bisa mencakup (di) segala lini.

Kita tahu, pendidikan itu cukup majemuk. Ada yang unggul dalam seninya. Ada yang unggul dalam literasinya. Ada yang unggul dalam fisiknya. Bahkan ada dari faktor keberuntugan. Dan itu semua, tidaklah sama potensinya. Kendati, pendidikan adalah citra masyarakat yang plural. Dan tak mungkin bisa kalau diseragamkan prestasinya dengan pengangkaan.

Pendidikan bukanlah proyek pengajaran yang sifatnya sangat formal dan otoriter. Karena bagi Sindunata, sifat formal dan otoriter akan menghasilkan nol besar, sebab sering tidak berkenaan dengan kesulitan, masalah, dan perkembangan anak dalam penjadian dirinya sebagai pribadi, baik secara individual maupun sosial. Lebih parah lagi bila formalisasi dan otoritarisme angka juga merebut kegembiraan anak dalam berpendidikan. Hingga, anak hanya menjadi mesin penghafal akibat anak mengikuti alur tuntutan formal.

Sumardianta dalam buku Guru Gokil Murid Unyu (Bentang Pustaka, 2013) mengkritik secara halus sistem formal dan otoriter dalam pendidikan. Ia menulis, “Murid akan lupa jika hanya mendengar ceramah guru. Murid akan mengingat apa yang diperlihatkan gurunya. Murid akan memahami bila melakukan. Murid akan menguasai bila menemukannya sendiri”.

Sumardianta menyatakan pendidikan Indonesia salah urus di sistem dan kurikulum. Ia melihat pendidikan Indonesia dan yang difasilitasi negara terjun bebas dan hanya menjadi sekadar pelatihan menjadi bodoh (stupidakasi). Melalui adanya ujian nasional (UN), para murid dipaksa mati-matian mengahafal materi tanpa pemahaman. Tanpa disadari laku sistem dan kurikulum itu justru merampok kegembiaraan anak dalam proses belajar.

Padahal, seperti kata Sumardianta, pendidik laksana induk ayam, yang tidak dipaksakan kehendak kepada anak-anaknya, tapi lebih memandirikan, memberdayakan, melindungi, dan menjadi rekan dialog peserta didiknya. Dari sini, anak dapat terangsang untuk berprestasi.

Dan di sinilah, menurut Haidar Bagir dalam buku ini, yang sangat perlu diperhatikan secara serius dan mendalam adalah tentang bagaimana merombak dan mengembangkan kurikulum sekaligus memberi tekanan pada pengembangan daya berfikir dan ruhaniah.

Karenanya, pendidik harus memilih antara mendorong anak untuk pintar dan mendorong anak untuk memiliki karakter-karakter yang dapat menentukan kebahagian hidup mereka, baik dunia nyata, maya, maupun akhirat.

Dalam konteks ini, Haidar Baqir ingin kurikulum pendidikan kita tak terlepas pada pembinaan hubungan vertikal Sang Kawan Agung, kegiatan tafakur dan tadabur—yakni, selain kegiatan observasional-saintifik, refleksi intelektual-filosofis dan estetis; penanaman dan pengembangan budi pekerti luhur; pengembangan akhlak sosial, khususnya sikap empati, penuh cinta kasih, pemaaf, dan bebas dari rasa benci; pengembangan dan pelatihan etos kerja keras, kedisiplinan, ketelatenan, keuletan, kesiapan untuk dapat mendapatkan deleyed gratification, sikap tidak pantang menyerah, dan asketisme (hlm 40).

Artinya, kurikulum dan pembelajaran harus relevan dengan situasi sehari-hari yang dialami anak didik dan menghasilkan sikap toleran terhadap perbedaan pandangan dan hidup demokratis (147). Dan tak kalah penting daya imajinatif siswa perlu diasah, karena seperti yang diujarkan Albert Eintein, imajinasi lebih menentukan ketimbang ilmu pengetahuan.

Bagi Haidar Baqir, hendaknya pengajaran materi, imajinatif, keruhanian, dan akhlak, mestilah tak berhenti pada sekedar rutinitas pendidikan-peribadahan dan pengajaran yang bersifat kognitif belaka, melainkan didasarkan pada pemahaman makna batiniah dari ajaran agama dan akhlak dengan kebersihan hati dan semangat kasih sayang.

Pendidikan akan berhasil tidak hanya bagi kehidupan personal anak didik semata, melainkan pada kondisi sosial juga. Sebab, keberhasilan pendidikan berpengaruh pada lingkup sosial.

Buku ini ingin meluruskan kembali falsafah pendidikan kita, di atas kerancauan tujuan pendidikan, kesalahpamahaman subjek pendidikan, kekaburan hakikat pendidikan, dan kemiskinan metode ajaran pendidikan kita.

 

Leave a Response