Ajaran silaturahim (menyambungkan tali kasih-sayang) tak terlepas dari ajaran dasar Islam tentang persaudaraan dan kasing-sayang. Ajaran dasar ini sendiri merupakan cerminan dari penamaan Islam yang memiliki makna damai, sejahtera, aman, dan tentram. Jadi, seorang muslim sejatinya senantiasa mengimplementasikan makna-makna Islam itu, di antaranya dengan bersilaturahim.
Begitu pentingnya silaturahim dalam ajaran Islam sampai-sampai agama ini memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya bagi muslim yang melakukannya. Sebaliknya, mengecam orang yang enggan melakukan apalagi memutus tali kasih-sayang yang sebelumnya telah tersambung.
Di antara ayat yang memerintahkan silaturahim adalah firman Allah SWT.:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 26).
Ayat ini, serta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, berada dalam penuturan implementasi keimanan, yang salah satunya bersilaturahim. Menurut kitab-kitab tafsir, bahwa ajaran silaturahim dimaksud oleh ayat ini adalah memberikan hak kasih-sayang kepada kerabat dekat, orang miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan.
Perintah (fi`il amr) pada ayat ini memberikan beberapa pemaknaan, seiring dengan fungsi fi`il amr sesuai dengan kaidah tafsir. Pemaknaan itu adalah sebagai berikut: Pertama, bersilaturahim itu harus segera dilakukan (al-fawr) begitu ada kesempatan untuk melakukannya dan tidak boleh ditunda-tunda (tarakhi). Kedua, bersilarurahim itu hukumnya wajib (keharusan) yang karenanya ada konsekuensi penting bagi orang yang mengerjakannya atau meninggalkannya.
“Sapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi,” “Sesungguhnya (kata) rahim diambil dari (nama Allah) yaitu ar-Rahman. Allah berkata, ‘Siapa yang menyambungmu (rahim/kerabat), Aku akan menyambungnya, dan siapa yang memutuskanmu, Aku akan memutuskannya,” “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi (persaudaraan),” begitu sabda Nabi dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim.
Fi`il amr pada ungkapan “ati” secara leterlek terjemahannya adalah “datangkanlah!”, berasal dari kata dasar “ata-ya’ti” yang artinya adalah “datang/mendatangi”. Ini maknanya bahwa bersilaturahim itu dilakukan atas inisiatif sendiri, jangan selalu merupakan silaturahim balasan, apalagi memerintahkan orang untuk datang bersilaturahim pada dirinya.
Kata “ati” memiliki dua pemaknaan secara sekaligus. Secara hakiki, berarti memberi materi (uang dan sebagainya) dan secara maknawi berarti memberikan respon positif bagi jiwa (bertutur kata yang baik dan lain sebagainya). Keragaman sisi makna dari satu kata merupakan salah satu keistimewaan bahasa Al-Qur’an. Dalam kajian Ulumul Qur’an, hal seperti ini dinamakan wujuh wa nazhair.
Inti pengertian dari silaturahim sebenarnya bukan persoalan kunjungan, tetapi memberikan “hak” bagi orang yang dikunjungi. Hak yang dimaksud adalah perbuatan baik kepada kerabat dari kalangan orang-orang yang memiliki hubungan nasab (keturunan) dan pernikahan, bersikap sopan dan lemah-lembut kepada mereka.
Di samping itu juga memperhatikan keadaan mereka, walaupun mereka jauh dan berbuat buruk. Begitulah sebagaimana disampaikan pensyarah kitab Shahih al-Bukhari, yaitu al-`Aini.
Kira-kira itulah maksud ungkapan “haqqahu” pada ayat di atas. Termasuk di dalamnya adalah—jika yang bersilaturahim orang yang berada—memperhatikan kebutuhan materi orang-orang yang dikunjungi. Apalagi jika yang dikunjungi itu adalah orang-orang miskin atau orang yang sangat membutuhkan materi.
Kerabat, orang miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan secara khusus disebutkan sebagai obyek yang harus disilaturahimi/disantuni. Ketiga kelompok sosial ini merupakan representasi dua institusi yang harus dijaga dan dipertahankan eksistensinya. Kerabat adalah representasi dari institusi keluarga, sedangkan orang miskin dan orang yang berada dalam perjalanan merupakan representasi dari institusi masyarakat.
Keluarga dan masyarakat harus tetap dijaga dan dipupuk karena keduanya merupakan benteng dari persaudaraan keislaman. Silaturahim ini adalah sebuah upaya yang sangat penting. Jadi, silaturahim itu bukan semata-mata ibadah individual, tetapi juga ibadah yang memiliki spektrum lebih luas, ibadah sosial. Semua upaya dalam rangka memelihara kedua institusi ini adalah bagian dari pemaknaan silaturahim.
Siapa kerabat, orang miskin, dan orang yang sedang dalam perjalanan tidak dirinci dalam ayat ini dan saya kira pada ayat-ayat lainnya. Sebab, boleh jadi setiap tempat dan zaman memiliki pendefinisian sendiri. Inilah cara Al-Qur’an memposisikan dirinya cocok untuk setiap zaman dan tempat (shalihun li kulli zaman wa makan).
Perintah tidak berbagi secara berlebih (mubadir) pada ayat ini harus dipahami dalam konteks memelihara kedua institusi di atas. Tidak boleh pendistribusian harta bertumpuk pada satu kelompok, sementara kelompok yang lain tidak mendapat bagian. Ketidakadilan seperti ini alih-alih dapat memelihara keutuhan institusi keluarga dan masyarakat, malah bakal menghancurkan keduanya.
Demikian ajaran silaturahim sebagaimana penjelasan menurut tafsir Al-Qur’an. Ayo kita galakan silaturahim dalam makna yang seluas-luasnya. Inilah cara kita melakukan ibadah individual sekaligus ibadah sosial. Rajin bersilaturahim berarti menjadi bagian dalam upaya mempertahankan institusi keluarga dan masyarakat. Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.