Banyak rahasia yang Allah SWT. simpan di bulan Ramadhan dan di balik kewajiban Ramadhan. Rahasia-rahasia tersebut di antaranya dapat digali dari ayat-ayat tentang Ramadhan dan puasa. Salah satunya firman Allah SWT. berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu “agar” kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2:183)

Melalui metode tafsir ayat puasa Ramadhan, ayat ini diawali dengan huruf ya’ yang menunjukkan panggilan (nida). Dalam konteks ayat ini, panggilan atau sapaan ini sebagai ekspresi kasih sayang Allah kepada orang-orang yang dipanggilnya, yaitu kaum mukminin.

Sapaan seperti ini dalam berkomunikasi sangat penting karena setelah sapaan tersebut akan ada beban/perintah yang boleh jadi dianggap beban berat oleh mereka yang disapa. Beban/perintah pada ayat ini adalah berpuasa sebulan lamanya.

Mereka yang disapa adalah kaum mukminin (al-ladzina amanu). Terjemahan ungkapan tersebut adalah “orang-orang yang beriman”. Redaksi yang dipakai bukan isim fa’il al-mu’minin, tetapi redaksi isim maushul (al-ladzina) yang diikuti dengan fi`il madhi (amanu). Keberadaan fi`il madhi menunjukkan “ke-telah terjadi”-an (hushul).

Pada ayat ini, yang disapa adalah orang-orang yang mana keimanan telah menancap dalam dadanya, baik yang tingkat keimanannya rendah, sedang, maupun tinggi. Yang disapa adalah kaum mukminin secara keseluruhan.

Adapun redaksi Kutiba (umumnya diterjemahkan dengan “telah diwajibkan”). Sebenarnya, untuk makna “wajib”, dalam bahasa Arab ada kata “wajaba”, “awjaba”, “farada”. Tetapi, ayat ini menggunakan kata “kutiba”.

Kata ini makna asalnya adalah “telah dicatat”, memiliki keterkaitan makna dengan kata “amara” (memerintah) dan “syara’a” (mensyariatkan). Semuanya memiliki maksud “mengharuskan”.

Kata kutiba serumpun dengan kata “kataba” (menulis) dan “al-kitab” (Kitab Suci). Dengan melihat makna “al-kitab” dalam arti Kitab Suci al-Qur’an, ada kesan bahwa berpuasa pada dasarnya memahami sekaligus melaksanakan pesan-pesan Al-Qur’an itu sendiri.

Makan “diwajibkan atas kamu”, di sini tidak nampak keberadaan subyek yang mewajibkan. Kita semua paham bahwa subyeknya tentu Allah. Dialah yang telah mewajibkan puasa.
Namun, menarik didalami kenapa pada ayat ini lafaz jalalah tersebut tidak disebutkan. Tentu ada maksudnya.

Beberapa ahli tafsir mengungkapkan bahwa di antara maksudnya adalah bahwa seandainya Allah tidak mewajibkan puasa, sesungguhnya manusia—dengan potensi yang dimilikinya—akan mengharuskan puasa untuk dirinya sendiri, karena ia menemukan banyak manfaat di dalamnya.

Sedangkan redaksi “al-Shiyam” (puasa/saum) pada ayat di atas terdapat artikel “al” pada kata itu. Fungsinya adalah li al-ta`rif, yakni untuk memberi makna bahwa puasa yang diwajibkan adalah sebagaimana yang dikenal dalam syariah Islam. Penjelasan perlu disampaikan karena praktik puasa dengan banyak ragamnya dikenal pula dalam beberapa bidang, misalnya di bidang kedokteran.

Selanjutnya redaksi “kama kutiba” (sebagaimana diwajibkan). Pada ungkapan “kama” terdapat dua kata, yaitu ka (seperti) dan ma (sesuatu). Ungkapan seperti ini dipakai untuk menyamakan antara sebuah pesan dengan pesan yang lain.

Jadi, kewajiban puasa diberlakukan pula kepada umat-umat sebelum kita. Ada kesan memperlihatkan “kesepenanggungan” dalam melaksanakan beban kewajiban berpuasa.

Tujuannya, agar beban kewajiban ini terasa ringan, karena toh umat sebelumnya pun melaksanakannya. Gaya pemberian beban ini dalam psikologi komunikasi merupakan sesuatu yang penting.

Untuk redaksi “la`allakum tattaqun”, ada tiga kemungkinan terjemahan: Agar kalian bertakwa, pasti kalian bertakwa, dan mudah-mudahan kalian bertakwa. Tiga-tiganya bisa dibenarkan.

Terjemahan pertama mempertimbangkan bahwa la`alla di sana berfungsi memberikan makna ta`lil (supaya/agar/alasan). Dengan terjemahan ini, kita bisa memberikan pembacaan bahwa alasan kita disuruh berpuasa adalah karena puasa dapat mengantarkan kepada ketakwaan.

Terjemahan kedua mempertimbangkan bahwa la`alla di sana berfungsi memberikan makna tahqiq (pasti). Dengan terjemahan ini, kita bisa memberikan pembacaan bahwa puasa yang dijalankan dengan sebaik-baiknya pasti dapat mengantarkan kepada ketakwaan.

Terjemahan ketiga mempertimbangkan bahwa la`alla di sana berfungsi memberikan makna tarajji (harapan yang mungkin bisa dicapai). Dengan terjemahan ini, kita bisa memberikan pembacaan bahwa dengan berpuasa mudah-mudahan dapat mengantarkan kepada ketakwaan.

Ketakwaan pada ayat ini diungkapkan dalam bentuk kata fi`il mudhari, yang salah satunya memberikan fungsi makna tajaddud (diperbaharui dan terus menerus dipertahankan), hal (kesekarangan) dan istiqbal (keakandatangan).

Artinya, dengan berpuasa, seseorang memungkinkan memperbaharui atau meningkatkan kualitas keimanan. Dengan berpuasa, seseorang dapat mempertahankan keimanan di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Demikian tafsir ayat puasa Ramadhan yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Subhanallah, begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab. (mzn)

Tulisan ini disarikan dari Gerakan Peduli Bahasa Al-Quran.

Leave a Response