Kita memang harus meyakini bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan memuat ajaran kebenaran. Akan tetapi keyakinan kita itu bukan berarti perlu menjadikan kita sebagai orang yang memandang rendah pemeluk agama lain.
Kita juga harus bersyukur sembari memuji Allah Swt., karena telah menakdirkan kita lahir dalam keadaan Islam, dari rahim orang Islam, dan tumbuh di lingkungan yang menjaga nilai-nilai Islam. Akan tetapi pujian kita kepada Allah atas karunia-Nya itu bukan berarti melegalkan kita untuk mencaci sesembahan penganut agama lain.
Allah Swt., berfirman dalam surah Al-An’am [6] ayat 108:
“Dan janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” [Q.S. Al-An’am (6) 108]
Sebenarnya terdapat beberapa riwayat berkenaan dengan sebab turunnya ayat tersebut. Tetapi secara ringkas, sebab turunnya ayat ini ialah karena orang Muslim saat itu ada yang memaki sesembahan yang dipuja oleh orang-orang kafir, yakni berhala.
Karena tindak penghinaan yang disampaikan oleh orang Muslim itu, maka kemudian orang-orang kafir melontarkan hinaan kepada Allah Swt., dengan tujuan merendahkan umat Islam. Berikut ini ialah di antara riyawat yang menjelaskan tentang sebab turunnya ayat tersebut.
Disebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, “Diceritakan oleh Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Qatadah, beliau berkata: ‘Dahulu orang-orang Muslim mencela berhala-berhala sesembahan orang-orang kafir, maka orang kafir kemudian merendahkan Allah. Karena hal itu, kemudian turunlah Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 108’.”
Versi lain disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: “Orang-orang musyrik mengancam: ‘Hai, Muhammad. Hentikanlah makianmu itu terhadap ilah-ilah kami, atau kami akan mencaci maki Rabb-mu.’
Kemudian Allah memerintahkan Nabi supaya melarang orang mukmin mencaci patung-patung mereka: ‘fa yasubbullaha adwan bi ghair ilm’ (karena mereka akan mencaci Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan).”
Dalam Tafsir al-Jalalain, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan bahwa maksud dari lafal “min dunillahi” yang berarti selain Allah ialah berhala (al-ashnam) yang dijadikan sesembahan kaum musyrik saat itu. Kemudian lafal “adwan” dimaknai oleh beliau sebagai perilaku yang melampaui batas dan penuh kezaliman. Karena perilaku menghina dan merendahkan itu sudah pasti termasuk dalam tindakan yang melampaui batas.
Berkenaan dengan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyampaikan sebuah simpulan bahwa, meninggalkan suatu kemaslahatan dengan tujuan menghindari terjadinya kerusakan (mafsadah) yang lebih besar ketimbang maslahat itu merupakan perkara yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Oleh karenanya, pantas saja jika dalam dalam kitab Syajaratul Ma’arif, Sulthan al-‘Ulama (pemimpin para ulama) Imam Izzuddin bin Abdissalam memasukkan ayat tersebut dalam bab yang berjudul Fashl Fi Sadd Dzarai’i asy-Syarr (pasal yang menjelaskan tentang membentengi dari alasan terjadinya keburukan).
Syekh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi, dalam Hasyiyah ash-Shawi, menambahkan bahwa ketidakbolehan menghina sesembahan agama lain ini disebabkan karena beruntunnya hinaan yang kembali pada Allah Swt. Sehingga apabila ada seorang Muslim menghina sesembahan agama lain, maka sejatinya ia menghina Allah Swt. Penjelasan serupa juga dapat dijumpai dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Syekh Fakhruddin ar-Razi.
Dinukil dari Tafsir Ibn Katsir, ternyata terdapat hadis Nabi yang membahas permasalahan hampir serupa dengan maksud ayat di atas. Yakni hadis yang menyatakan bahwa menghina ayah atau ibu orang lain itu sama halnya dengan menghina ayah atau ibunya sendiri.
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda, “Termasuk dosa besar ialah makian seseorang kepada kedua orang tuanya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai, Rasulullah. Apakah seseorang bisa memaki kedua orang tuanya sendiri?” Rasulullah menjawab, “Ya. Dia memaki ayah seseorang, kemudian orang yang dimakinya itu memaki ayahnya (orang pertama), dia memaki ibu seseorang, kemudian orang yang dimakinya itu memaki ibunya.” (H.R. Bukhari & Muslim)
Belum lama ini santer berita tentang perilaku penghinaan terhadap agama Islam yang dilakukan oleh Shindy Paul Soerjomoeljono, atau yang lebih dikenal dengan Jozeph Paul Zhang. Penghinaan yang dilakukannya pun tidak sekadar mendebat ajaran Islam, tetapi meluas sampai merendahkan kaum Muslim, bahkan menghina Allah Swt. Tindakan tersebut tidak hanya melukai perasaan umat Islam, tetapi juga mencederai spirit moderasi agama yang senantiasa kita gaungkan.
Sebab tindakan amoral yang dilakukan Jozeph Paul Zhang itu, apakah lantas dapat menjadi hujjah bagi kita pemeluk agama Islam, untuk melakukan tindakan serupa? Apakah menjadi legalitas bagi kita untuk membalas menghina agama yang dianut olehnya sebagai bentuk balasan?
Jawabannya: “Jelas, tidak!” Islam tetap tidak melegalkan perilaku penghinaan terhadap sesembahan agama lain, ajaran, maupun penganutnya. Meski dengan dalih sekadar membalas perilaku.
Sebagaimana penjelasan ayat di atas. Apabila orang Muslim membalas dengan menghina ajaran, sesembahan, maupun penganut agama lain, maka akan sangat mungkin untuk mereka kembali menghina Islam. Sebab tidak adanya kecukupan pengetahuan yang mereka miliki berkenaan dengan Allah Swt., maka dapat dipastikan cacian yang dilontarkan pun akan melebihi batas yang semestinya.
Mahasuci Allah yang telah memberikan kita perhiasan berupa ajaran Islam, yang seluruh ajarannya dapat menjadi penuntun kebaikan bagi seluruh alam. Semua makhluk tentu akan kembali kepada Allah. Dan Allah juga yang akan membalas semua amal makhluknya sesuai kadar yang telah dilakukannya di dunia, baik itu amal ketaatan maupun kemaksiatan. Wallahu a’lam bish shawab.