Malam nanti, ia baru akan tahu apakah perjudiannya akan berhasil atau sebaliknya. Ia tahu belaka, rumah yang dilihatnya sama persis dengan apa yang dilihatnya dalam mimpinya tiga malam berturut-turut. Ia tahu mimpi semacam itu tak mungkin sekadar kembang tidur.
Dia bukan sengaja mencari rumah yang ia jumpai dalam mimpinya. Dia sudah mengelilingi jalanan kampung pada siang hari selama seminggu beruntun dengan tampilan seorang pemulung. Ia sungguh ragu jika harus masuk ke rumah itu pada malam hari. Ia yakin takkan menemukan sesuatu yang dicarinya. Di depan pintu samping rumah itu, seorang lelaki yang tengah berkali-kali melempar bulir-bulir jagung ke kerumunan burung dara.
Setelah kawanan dara itu pergi, berganti kemudian kawanan ayam kampung. Suara ribut di mulut pintu membuat sang pemilik rumah masuk. Lagi-lagi seorang lelaki tua dengan kaos oblong berwarna putih dan sarung putih serta peci soekarno membawa sepiring gabah yang lalu ditebarnya. Ayam-ayam itu berhamburan bahagia.
Siang itu juga, belasan kucing kampung datang dari berbagai arah. Mereka mengeong memberi salam pada sang pemilik rumah. Kini, si pemilik rumah keluar untuk memberi mereka nasi dan ikan asin.
***
Kaki dan tangannya mendadak gemetar setelah dia berhasil masuk dengan mudah dengan membuka pintu belakang yang memang tak pernah terkunci. Ia tak tahu kalau si empunya rumah masih terjaga.
Ia hanya sadar berada di sana untuk apa. Maka, ia menjeli-jelikan mata dalam remang cahaya untuk menemukan karung beras, gabah atau jagung, tak mungkin ia akan membawa ikan asin jatah kucing-kucing kampung itu. Bisa ia bayangkan, betapa berlimpahnya rumah itu sehingga sang pemiliknya begitu royal pada tamu-tamu binatangnya.
Ia pun kerap menyaksikan—setelah berhari-hari mengamati—orang-orang yang bertamu dengan tangan hampa akan pergi membawa sekantong berisi entah apa. Bisa diduga itu adalah pemberian dari sang tuan rumah. Namun, jika tamunya datang membawa sekantong buah tangan, sang tamu akan keluar dengan membawa sekarung, lebih banyak. Selalu begitu.
Tak dinyana, setelah hampir sejam mencari, ia menyimpulkan rumah itu kosong melompong, bahkan tanpa perabot sebagaimana sebuah rumah. Dia hanya menemukan sosok pemilik rumah yang sedang bersembahyang.
Menyadari usahanya di ujung kegagalan, ia melangkah ingin segera meninggalkan rumah itu sebelum sang pemilik menyadari kedatangannya yang tak diundang di tengah malam.
Ketika dia keluar dari pintu yang sama saat masuk tadi, pada langkah kaki yang belum genap sepuluh, suara seorang lelaki—yang ia tahu adalah milik sang empunya rumah—menghentikannya.
“Kenapa buru-buru sekali?”
Ia menoleh dengan telapak tangan yang bekeringat. “Aku tak menemukan apa pun yang bisa membuat istri dan anakku bisa makan esok hari,” jawabnya gemetar.
“Maafkan aku.”
“Izinkan aku pergi.”
“Demi Allah, tinggallah hingga esok subuh.”
Dengan masygul, ia mengikuti perintah pemilik rumah yang lalu memintanya berwudu. Saat menimba air, ia melihat pantulah bulan purnama di dalam ember timbanya. Air yang memantulkan cahaya tembaga itu membasuh anggota tubuhnya yang terus gemetar.
Ia mengikuti apa saja yang dilakukan lelaki itu hingga setengah jam kemudian rasa kantuk mengusainya hingga suara azan subuh membangunakannya.
Setelah hari hampir-hampir terang sempurna, pemilik rumah itu mengizinkan ia pulang. Sebelum itu, ia ditanya, “Apa mimpimu saat tertidur tadi?”
“Aku melihat istri dan anakku tersenyum,” jawabnya.
Kiai Idris tersenyum dan berkata, “Kamu telah berusaha keras membahagiakan anak istrimu, maka mereka bahagia.”
***
Keesokan harinya, ia serta istri dan anaknya yang belum genap sepuluh tahun itu datang ke rumah Kiai Idris dengan membawa sekantong gula, kopi, dan kaleng roti besar berbentuk segi empat, kalian bisa tebak apa merknya? Iya, warnanya merah. Kaleng itu bisanya kalian jumpai di rumah orang-orang yang merayakan Lebaran. Tapi, isinya tak selalu—lebih sering tidaknya—sama dengan gambar kalengnya. Misalnya peyek atau rengginang. Betul, itu maksudku.
“Ini, anak saya, Kian. Mau ngaji di sini,” kata lelaki itu dengan air mata yang menyungai di pipi.
Kiai Idris tersenyum seperti halnya dalam mimpinya berhari-hari sebelumnya saat ia kedatangan tamu pada tengah malam.
Bunga Pustaka, 19