Sejatinya menjadi politisi adalah pekerjaan mulia dan agung karena berhubungan dengan pengaturan kemaslahatan orang banyak tanpa melihat golongan, suku, dan agama. Berpolitik pekerjaannya para nabi dan rasul. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama. Yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang diminta agar mereka mengurusnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibn Majah).
Hadis ini juga diriwayatkan di dalam Shahîh Ibn Hibbân; Musnad Abi ‘Awanah; Sunan al-Kubrâ al-Bayhaqî; Mushannaf Ibn Abi Syaybah; Musnad Ishhaq Ibn Rahawayh; Musnad Abi Ya’la al-Mûshili; Musnad li al-Khalâl oleh Abu Bakar al-Khalal; dan di dalam as-Sunah li Ibn Abi ‘Ashim.
Seorang politisi benar-benar dituntut keikhlasannya, keluasan hatinya, kebesaran jiwanya, kecerdasan akalnya dan kekuatan badannya agar kemaslahatan sampai ke setiap orang tanpa terkecuali meski dia tidak mengenal siapa orang yang diurusnya.
Semakin banyak orang yang merasakan manfaat dari kebijakan politiknya, maka semakin besar pahala yang diterimanya. Jika kemaslahatan itu dirasakan sepanjang waktu, maka ia menjadi pahala jariyah yang diterima politisi sampai yaumil hisab.
Sebelum mencapai maqam politisi yang sejati, seseorang harus mendapatkan ahwal (suasana hati) yang welas asih, pengasih, penyayang dan pemaaf kepada orang lain yang diurusnya. Jika sifat-sifat itu bukan sifat seorang politisi dari lahir, maka sifat-sifat tersebut bisa diperoleh dengan warid (limpahan ruhani) setelah istiqamah mengamalkan wirid.
Dua ayat terakhir surat al-Taubah relevan untuk tujuan ini. Ayat yang dikenal dengan nama Laqad Ja. Ayat tersebut berbunyi:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Artinya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. Al-Taubah: 128-129).
Asbabun nuzul ayat ini menunjukkan bagaimana sifat welas asih, pengasih, penyayang dan pemaaf kepada orang lain sebagai seorang penguasa. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari ‘Ikrimah, ia berkata, berkata Rasulullah Saw: “Jibril datang kepadaku dan ia berkata: “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan malaikat penjaga gunung telah diutus oleh Allah kepadamu. Ia diperintahkan untuk tidak bertindak apapun kecuali atas perintahmu.”
Lalu malaikat penjaga gunung berkata kepada Nabi Muhammad Saw: “Sungguh Allah telah memerintahku untuk tidak berbuat apapun kecuali atas perintahmu. Jika engkau menghendaki, akan ku hancurkan gunung-gunung untukmu, atau jika engkau menghendaki akan aku lemparkan kerikil-kerikil gunung kepada kaummu yang mendustakanmu, atau jika engkau menghendaki akan aku jatuhkan bumi kepada mereka!” lalu Nabi Muhammad berkata: “Wahai malaikat penjaga gunung! Aku datang untuk mereka, jika mereka menolakku, maka mungkin saja lahir dari mereka generasi yang berkata la ilaha illa Allah.” Kemudian malaikat penjaga gunung berkata: “Engkau memang pengasih dan penyayang seperti yang sudah disebutkan oleh Tuhanmu”. Lalu turunlah ayat hafadhah di atas.
Di pondok Pesulukan Tarekat Agung (PETA) Tulung Agung yang diasuh oleh K.H. Charir M Sholahuddin Al Ayyubi, ayat ini dikenal dengan laqad ja. Ayat laqad ja menjadi wirid murid PETA yang dibacakan setelah salat maktubah. K.H. Habibul Huda, Lc dalam bukunya Suluk, Santri, Tarekat menerangkan لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ (Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu).
Penggalan ayat ini mengisyaratkan bahwa Mursyid berkeinginan agar semua murid selalu ittiba’ Rasul (meneladani Rasulullah Saw.) dalam segala hal, bahkan Beliau mengharapkan agar semua muridnya menjadi seorang menjadi “Rasul” itu sendiri, dalam arti menjadi seorang pemimpin, tokoh masyarakat atau kiai yang menyeru kepada umat untuk berbuat kebaikan. Mereka yang belum salat, diajarkan untuk istiqamah salat, mereka yang belum zikir, diajak untuk zikir dan mereka yang terbiasa hidup egois dilatih untuk menjadi dermawan.
Para murid PETA juga diharapkan mempunyai sifat حَرِيصٌ عَلَيْكُم artinya selalu berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugas menyeru dan mengajak kepada kebaikan. Para murid PETA juga diharapkan mempunyai sifat بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ artinya selalu berbelas kasih kepada siapa saja. Sehingga tidak mengherankan jika semua murid PETA diwajibkan mengikuti SA 78 yang tujuannya tiada lain supaya kita terbiasa memikirkan kebutuhan orang lain dan terbiasa saling tolong menolong dalam hal kebaikan antar sesama. (Habibul Huda, 2019: 87-88).
Laqad ja sangat bagus untuk diamalkan oleh para politisi baik yang ada di eksekutif maupun legislatif. Untuk menumbuhkan sifat welas asih, pengasih, penyayang dan pemaaf kepada masyarakat yang menjadi objek aktivitasnya. Mengamalkan wirid laqad ja juga sebagai pembersih hati dari kerak-kerak penyakit hati seperti takabur, hasad dan tamak, yang menghambat dan menghalangi para politisi menjadi politisi sejati. Sebelum mengamalkannya, politisi harus mengambil ijazah dulu dari shahibul wirid agar wiridnya menjadi barakah.