Film pendek “Tilik” yang diproduksi Ravacana Films dan Dinas Kebudayaan Provinsi DI. Yogyakarta sedang naik daun. Film Tilik tayang di Youtube sejak 17 Agustus. Film ini telah ditonton lebih dari 2,5 juta kali di Youtube dan ramai menuai beragam pujian dari alur cerita hingga akting para pemerannya.

Film ini sebenarnya sudah diproduksi pada tahun 2018 namun baru viral di jagad virtual beberapa hari terakhir. Tidak hanya viral di media sosial dan mengantongi banyak pujian, film pendek Tilik ternyata telah menyabet beragam penghargaaan. Film Tilik memenangkan Film Pendek Terpilih di Piala Maya 2018. Film ini juga menjadi Official Selection Jogja-Netpac Asian Film Festival tahun 2018 dan Official Selection World Cinema Amsterdam tahun 2019.

Film ini bercerita tentang Dian, seorang kembang desa yang banyak didekati laki-laki dan menjadi bahan bergosip ibu-ibu. Karakter Bu Tejo yang menonjol membuat penonton kesal sekaligus terhibur dengan tingkahnya.

Sekelompok ibu-ibu diceritakan berangkat menaiki truk untuk mengunjungi (tilik) Bu Lurah di rumah sakit di kota besar. Di dalam perjalanan tilik yang jauh itu, Bu Tejo dan ibu-ibu lainnya bergosip tentang rumor kehidupan Dian. Film Tilik mengajarkan penonton tentang bahaya kurangnya menyaring informasi atau tontonan yang kita lihat di internet.

Kegaduhan dan drama politik selalu mewarnai kehidupan bangsa tanpa jeda. Fenomena ini positif dalam teropong dinamisasi iklim demokrasi. Di sisi lain juga mengkhawatirkan apabila terus mengedepankan konflik antargolongan di atas kepentingan bangsa. Salah satunya adalah munculnya budaya klasik berupa ghibah atau gosip politik.

Gosip selain menjadi realitas sosial juga merambah ke dunia politik. Perang opini dan sosialisasi peta dukungan menghiasi media massa di setiap kontestasi demokrasi. Sayangnya, dinamika tersebut terasa masih miskin dari adu gagasan sebagai esensi demokrasi. Fenomena yang terjadi justru praktik kotor yang menodai dan menyebabkan degradasi kualitas demokrasi, misalnya kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam sebagian besar diawali dan didasari oleh gosip-gosip politik.

Gosip politik adalah wajar dan niscaya dalam dinamika pesta demokrasi. Kahlil Gibran dalam puisinya berujar “Jika engkau mengabarkan rahasiamu kepada burung, jangan salahkan burung jika berkicau kepada angin. Dan angin menghembuskannya ke seluruh dunia“.

Stein (dalam Arianto, 2014) menyebut gosip politik sebagai grapevine. Grapevine  dimaknai sebagai metode pemberian laporan rahasia dari orang ke orang yang tidak dapat diperoleh melalui saluran biasa, karena isi pesan grapevine senantiasa diwacanakan ke publik melalui komunikasi informal (face to face communication).

Gosip politik tidak hadir baru saja. Pada zaman Majapahit dan Mataram sudah ada orang-orang yang dibayar khusus oleh istana untuk menghembuskan kabar-kabar tertentu, guna mempengaruhi alam pikir rakyat. Pujangga, brahmana, penyair, atau sekedar kecu dan telik sandi (informen, intelejen), adalah para pengabdi penguasa untuk menyerap atau justru menghembuskan kabar-kabar tertentu.

Gosip politik era kini semakin cepat menarik perhatian publik seiring kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Futurolog, John Naisbitt dalam bukunya Megatrends 2000 menyatakan siapa yang menguasai informasi dan komunikasi dipastikan akan menguasai dunia.

Pola pergerakan gosip politik dapat dipahami melalui kajian komunikasi massa (Biaro, 2012). Pertama, pertarungan politik terkunci pada soal persepsi. Persepsi menyingkirkan faktor-faktor lain, seperti kebenaran, faktualitas, dan validitas.  Kedua, gosip akan menggelembung dalam kontestasi politik, karena memang direproduksi secara sistematis, intensif, dan dalam kemasan sebaik-baiknya.  Ketiga, melekat dalam identitas gosip itu sendiri yang senantiasa blur (samar). Rekayasa gosip politik adalah senjata multi fungsi yang berguna untuk menutupi, mengelabuhi, dan mengalihkan.

Perang gosip politik memuncak dalam setiap ajang kontestasi demokrasi seperti Pemilu, Pilpres hingga Pilkada bahkan Pilkades. Atas kondisi ini, demokrasi Indonesia mengalami kondisi darurat. Gosip politik yang terbiarkan dan justru dimanfaatkan akan menjadi bola panas yang merusak iklim kompetisi demokrasi. Semua pihak penting melakukan refleksi terkait fenomena perang gosip politik demi perbaikan di masa mendatang.

Pertama, bagi elit politik penting untuk menetralisasi hadirnya gosip politik.  Parpol dan politisi mesti memberikan pendidikan politik bagi tim sukses maupun pendukungnya dalam hal etika komunikasi dan strategi pemenangan. Gosip politik apalagi kampanye hitam jangan justru dimasukkan sebagai strategi kontestasi demokrasi.

Kedua, bagi pengamat dan media penting tidak melakukan provokasi dan tidak memberikan informasi tanpa validitas. Setiap informasi meskipun menarik mesti didalami melalui investigasi jurnalistik. Sosialisasi visi dan misi justru lebih penting untuk dikritisi dan didiskusi dalam ruang-ruang jurnalisme media.

Ketiga, bagi publik penting mencerna secara cermat dan bijak terhadap setiap informasi yang datang. Penyakit era virtual seperti sekarang adalah mudah menyebarkan berita melulai forward, retweet, atau copy paste. Publik penting melakukan penyaringan informasi melalui perbandingan ke berbagai sumber, konfirmasi terhadap subyek informasi, atau lainnya.

Hadirnya gosip politik hingga kampanye hitam dapat menjadi batu sandungan dan bom waktu bagi degradasi demokrasi. Gosip politik tidak memiliki peran berarti dalam kontestasi demokrasi. Sebaliknya justru dapat menjadi bumerang yang akan menggerogoti dukungan publik. Semoga gosip politik akan terminimalisasi ke depan dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia.

#Review Film Tilik   #Makna Film Tilik   #Kritik Film Tilik

Topik Terkait: #Film Tilik#Politik#Tilik

Leave a Response