Belajar dari Kuala Tungkal, Jambi: Saling Percaya dan Kerja Sama Umat Beragama
Kajian mengenai kedamaian antar-etnis penting dilakukan tidak saja untuk memahami kondisi damai suatu wilayah heterogeny, melainkan juga agar kita mendapat pemahaman yang cukup untuk menjelaskan konflik antar etnis di suatu wilayah. Pandangan yang sempurna mengenai konflik harus disertai pemahaman yang baik tentang kondisi damai (Varshney, 2009). Tidak aneh apabila banyak sarjana telah meneliti berbagai konflik dan kondisi damai di suatu wilayah di penjuru dunia, termasuk di Indonesia sendiri.
Berbagai penelitian mengenai kerukunan masyarakat di Indonesai telah menginspirasi banyak publik, mulai dari kalangan akademisi, pejabat pemerintah, sampai khalayak awam. Sejumlah aspek yang sering muncul mengenai keharmonisan antarwarga sering kali membahas juga toleransi antarumat beragama, tradisi gotong royong, upacara adat, kelompok petani, nelayan, perempuan, hingga aktivitas keseharian.
Terpaut dari situ, M. Agus Noorbani melakukan penelitian mengenai kerukunan umat beragama di Kuala Tungkal, Jambi. Ia mencoba menelusuri bagaimana masyarakat sana merawat kerukunan dan modal sosial apa yang mereka gunakan. Tambahan lainnya yang ditelusuri adalah bentuk kerja sama antarumat beragama di daerah Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat, yang melibatkan pemerintah hingga komunitas lokal.
Metode
Penelitian ini adalah studi kasus dengan kajian kualitatif di suatu wilayah spesifik, yaitu Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Teknik pengambilan data menggunakan observasi, dokumentasi dan wawancara dengan tokoh-tokoh agama, masyarakat, pemerintah dan warga setempat.
Tahap observasi riset ini diberlangsungkan dua kali. Tahap pertama yaitu penjajakan awal (29 Juli – 30 Agustus 2019). Tahap kedua, pengumpulan data kualitatif selama 15 hari sejak 30 Agustus hingga 13 September 2019.
Temuan
Secara historis, pada tahun 1930an wilayah Tungkal pada mulanya adalah daerah yang tergenang air, banyak lumpur, dan hutan bakau. Daratan di Tungkal terus bertambah akibat banyaknya lumpur yang terbawa oleh Sungai Tungkal dan berbagai sungai kecil lain di sekitarnya.
Halim Kasim, tokoh agama dan masyarakat Kuala Tungkal, bercerita tentang itu, “Saya kecil dulu, Pangkal Babu itu masih laut, sekarang sudah jadi daratan. Dalam lima puluh tahun (sudah bertambah daratan) dua kilometer ada itu.” Begitulah kesaksiannya mengenai Pangkal Babu, lokasi destinasi wisata hutan bakau di Tanjung Jabung Barat.
Sejak masa penjajahan hingga Orde Baru silam, menurut keterangan Halim Kasim, mulai berdatangan penduduk dari etnis Bugis, Jawa, Minang, Batak, dan Banjar. Dari sini penduduk Tanjung Jabung Barat awalnya terkategori menjadi dua, yaitu yang asli dan pendatang. Ringkas cerita, itu kemudian juga ikut merajut keragaman suku, agama, hingga profesi mereka. keragaman itulah yang kelak mengilhami semboyan Kuala Tungkal sebagai “Kota Bersama” yang dicanangkan tahun 1985.
Semboyan itu, ternyata tidak sekadar slogan namun juga terlihat dalam praksis kerukunan mereka. Wujud kerukunan umat beragama di Tungkal Ilir, misalnya, tampak pada perayaan hari besar keagamaan, seperti haulan. Sebuah acara peringatan haul Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Tamu yang datang ternyata bukan Muslim saja. Warga non-Muslim juga hadir dan banyak membantu.
Kepedulian warga non-Muslim pada saat hari besar umat Islam juga ditunjukkan pada saat terjadi kisruh pembangunan kembali kelenteng yang dipindah karena kondisi bangunan yang sudah tidak layak untuk beribadah karena sengketa. Ferdy Efendi, Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tanjung Jabung Barat,
“Justru yang menimbulkan berita yang tidak sedap tentang kepindahan kelenteng ini (adalah) masyarakat dari luar, ormas-ormas tertentu. Mereka tidak paham keberadaan bahwa (pembangunan kelenteng) ini bukan izin baru, bukan! Ini adalah sarana peribadatan lama yang dibangun di tempat baru. Hal ini terjadi karena ada berita-berita dari mulut ke mulut yang tidak memahami permasalahan yang sebenarnya. Tapi kalau masyarakat sendiri justru (bertanya-tanya), kenapa kamu menolak pendirian rumah ibadah, tempat beribadah? Nah, kami meyakini bahwa terbentuknya kerukunan ini bukan karena kondisi dan dikondisikan, tapi karena kearifan lokal.”
Kerukunan umat beragama warga Tungkal Ilir juga tercermin dalam berbagai upacara yang berkaitan dengan siklus hidup. Menurut Bu Widya, Guru Pendidikan Agama Buddha di SD Nasional, saat kegiatan pengajian yang berkenaan dengan siklus hidup ia juga diundang oleh tetangga-tetangganya yang Muslim.
“Setiap tetangga-tetangga (pengajian) yasinan, kami itu juga diundang, Pak. Kami ya bantu-bantu sekedarnya, karena mereka juga tau saya (punya) kesibukan. Kita datang sebagai tetangga. Kami “lebaran”, mereka juga datang ke rumah saya. Jadi kami itu berusaha menjaga toleransi bukan sekedar di rumah ibadahnya saja. Di lingkungan itu saya berusaha juga supaya, jika tetangga ada yasinan, haulan, berusaha untuk datang juga. (Saat ada) orang meninggal yang Muslim, (saya) tetap datang juga, karena bagaimanapun tetangga harus diutamakan. Jadi ga masalah buat saya”.
Berkaca pada penelitian tersebut, Kerukunan umat beragama masyarakat Tungkal Ilir terbentuk karena adanya kepercayaan antar warga maupun antar warga dengan tokoh masyarakat. Kepercayaan terhadap para sesepuh yang ditokohkan juga muncul karena para tokoh masyarakat ini dapat mengayomi mereka sebagai warga Tungkal Ilir.
Rasa saling percaya yang menumbuhkan nilai dan norma di Tungkal Ilir ini kemudian membentuk jejaring warga yang menguatkan solidaritas dan kebersamaan sosial warga Tungkal Ilir. Bentuk-bentuk kerja sama antar umat beragama di sana juga terwujud dalam aktivitas perekonomian maupun aktivitas sosial. Sejumlah modal sosial itulah yang berjasa ikut merawat kerukunan di Kuala Tungkal, “Kota Bersama” para warga dari berbagai latar yang berbeda-beda.[mnw]
Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2019.