Judul : Menghidupkan Gus Dur

Penulis: AS Laksana

Penerbit : LBBooks

Tahun Terbit : Desember 2021

Tebal :  157 halaman

Gus Dur adalah Ulama yang tak akan habis diperbincangkan. Gagasannya yang relevan dan ideal perlu dihidupkan terus menerus agar tetap didengar di permukaan. Untuk itu, buku ini menjadi salah satu fasilitator dalam rangka membumikan dan merawat gagasan Gus Dur. Melalui catatan kenangan Gus Yahya Cholil Staquf selama menjadi juru bicara Gus Dur ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.

Dimulai dari cerita pertemuan pertamanya dengan Gus Dur. Dan bagaimana Gus Dur telah mengubah cara pandang agamanya yang fundamental kepada dunia yang lebih toleran dan terbuka. Sebagai orang yang awalnya kaku dalam beragama, kemudian bertemu dengan sosok yang pelan-pelan mentransformasikan pemikirannya yang fundamental dan tekstual menjadi lebih kontekstual, Gus Yahya memiliki kesan yang cukup melekat tentang Gus Dur.

Gus Dur dan Istana Negara

Bagian awal, buku ini bercerita ketika Gus Dur menjabat Presiden. Bagaimana pemikiran Gus Dur mempengaruhi kebijakannya di Istana. Gus Dur adalah seseorang yang tidak mau mengingkari prinsipnya sendiri.

Menurut Gus Yahya, Mesin Gus Dur adalah Dirinya sendiri. Bagaimanapun dia memimpin negara, jika ada bisikan yang tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan demokrasi, akan tetap ditantangnya. “Yang lebih penting dari politik, adalah kemanusiaan,” ujar Gus Dur.

Gus Yahya bercerita tentang wartawan Istana yang kelaparan ketika masa kepemimpinan Gus Dur. Ia melarang orang-orang di Istana negara memberikan makan atau apapun kepada wartawan. Gus Dur tidak ingin demokrasi pincang hanya karena pemberitaan yang subjektif dan tidak realistis. Gus Dur menginginkan kondisi Istana diberitakan secara faktual tanpa mengubah keadaan menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Sebagai seorang negarawan yang menjunjung tinggi demokrasi serta visi besar berkelanjutan, tidak jarang kebijakan Gus Dur ditentang oleh orang-orang sekitarnya. Termasuk oleh Gus Yahya sendiri. Namun, setelah direfleksikan kembali adalah tidak lain demi keberlangsungan demokrasi. Gus Dur menyadari bahwa dalam jajaran kabinetnya, terdiri dari berbagai kepentingan, dan ia harus tahu kepentingan utama yang harus dijaga sebagai presiden.

Selain humanis, Gus Dur juga Humoris. Pendekatan-pendekatan Gus Dur selama menjadi presiden juga dimudahkan karena Gus Dur memiliki kecerdasan humor yang baik. Karenanya, Negosiasi politik dalam membangun kerja sama dengan dalam ataupun luar negeri, yang digunakan Gus Dur adalah Humor.

Seperti saat Gus Dur merespons bendera Papua, “Tim sepak bola saja punya bendera, masa orang-orang Papua tidak boleh” (halaman 47). Jawaban tak terduga, lucu tapi masuk akal. Hal ini selaras dengan perkataan Gus Dur, kalau kita ingin meminta sesuatu, cara yang paling efektif adalah memintanya dengan humor (halaman 50).

Gus Dur sebagai Ulama Nahdliyin

Pada tahun 1955, Muktamar Situbondo memilih Gus Dur sebagai ketua PBNU. Kejadiannya juga tidak jauh berbeda dengan cerita dari Istana. Gus Dur menjadi perhatian warga Nahdliyin karena manuver-manuvernya. Dari situ, Gus Yahya mulai sering membaca tulisan Gus Dur di Tempo. Hal itu yang membuat Gus Yahya semakin tertarik kepada Gus Dur dan meninggalkan ajaran agama yang fundamental.

Ia mulai mengenal Gus Dur secara dekat dan dikenalkannya Yayasan Empati yang dibentuk Gus Dur bersama kawan-kawannya, Alwi Shihab, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rahmat, Djohan Effendy, Oetomo Dananjaya, Mu’tasim Billah, dan Masdar Farid Mas’udi. Yayasan tersebut, sebagai ruang dialektika antara Gus Dur dan kawan-kawannya membahas isu-isu yang sensitif dalam Islam.

Selama Gus Dur menjadi ketua PBNU, ia berhasil menyeret posisi pesantren dari pinggiran ke tengah-tengah Indonesia Modern. Gus Dur mengajak para Kiai pesantren untuk terlibat dalam wacana-wacana modern tentang demokrasi, negara, modernisasi pendidikan, dan lainnya. Karena pesantren harus memiliki terobosan agar tidak kehilangan relevansinya, dan Gus Dur memberikan jalan keluar.

Hingga kemudian, saat reformasi runtuh Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga dibentuk bersama kiai-kiai, seperti Kiai Maimun Zubair, Kiai Dimyati Rois, dan Kiai Abdurrahman Chudlori. Gus Dur berhasil memberikan orientasi baru kepada pesantren ke tengah-tengah pergaulan yang lebih luas dan tidak membuat NU terasing di pinggiran dan menutup diri (halaman 77).

Sebagai manusia humoris yang agamis, cara berpikir Gus Dur dibentuk oleh karakter fikih. Gus Dur menempatkan agama sebagai pilar setiap perjuangannya. Namun, selain pengetahuan fikih, Gus Dur juga memiliki pengetahuan lain tentang realitas yang membuka khazanah fikih kontemporer dan dapat melakukan penilaian yang lebih akurat dan memiliki perspektif luas dan bisa diterima.

Pola pikir demikian yang mampu membendung fundamentalisme agama. Gus Dur  membawa visi Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia) yang dikumandangkan oleh Rois Aam PBNU KH. Ahmad Shiddiq pada tahun 1984.

Tidak hanya itu, Gus Dur memiliki gagasan-gagasan revolusioner soal pendidikan, ekonomi kerakyatan dalam menghadapi kapitalisme global. Sebagai upaya Gus Dur untuk memperkuat ruang ekonomi Indonesia dan membangun yang lemah agar mampu bekerjasama dengan pihak-pihak kuat. Tidak heran, itu terjadi karena Gus Dur memiliki ketertarikan juga dalam ilmu ekonomi dan konon ia sudah menamatkan Das Kapital sejak bangku SMP.

Menghidupkan gagasan-gagasan Gus Dur dapat menjadi salah satu upaya membangun semangat revolusi, baik dalam membangun Islam rahmatan lil ‘aalamin, pendidikan, iklim demokrasi yang baik, dan ekonomi kerakyatan yang mampu menaungi masyarakat lemah. Buku ini, menjadi rekomendasi bagi para pemimpin dalam membangun prinsip-prinsip kenegaraan atau keorganisasian.

Topik Terkait: #resensi

Leave a Response