Syahdan, tiba-tiba orang-orang kota didera ketakutan, panik dan khawatir tak terperikan. Semarak keramaian yang selama ini dibanggakan sebagai simbol kemajuan peradaban, tiba-tiba lenyap berganti keheningan.
Jalanan mulus dan kendaraan berkilauan yang selama ini menjadi simbol kemewahan harus bertekuk lutut di bawah seram dan ngerinya wabah virus Corona (Covid-19). Pendek kata, Corona menghentikan semua jenis keangkuhan dan kesombongan peradaban.
Semua jenis tempat publik, nyaris terasa tak berguna, bahkan rumah ibadah sekalipun. Para ulama dan agamawan pun dipaksa berkhutbah di balik tabir kekhawatiran pada pandemi ini. Mereka terpaksa berdoa dengan tetap saling berjauhan, tanpa saling bergandeng tangan, apalagi saling peluk dan berangkulan.
Tinggallah komunikasi maya atau cyber menjadi andalan. Okelah, alat ini bisa diandalkan bagi masyarakat perkotaan yang sudah terbiasa mengalokasikan anggaran belanja untuk membeli pulsa. Masalahnya adalah seluruh propinsi di wilayah Indonesia sudah terjangkit Corona.
Ya, makhluk tak kasat mata biasa ini sudah menyebar hingga pelosok negeri. Ketakutan pada Corona telah menyeberangi lautan, selat dan sungai. Menjalar melewati lembah, mendaki pegunungan dan merembes hingga ke pemukiman-pemukiman di balik hutan.
Corona berhasil melesak dengan cepat menyalip komunikasi pemerintah dengan rakyat. Akibatnya, di banyak daerah kita dapati berita menyedihkan. Banyak korban Corona yang tidak terawat sebagaimana mestinya. Baik yang sedang menderita gejala, hingga yang telah wafat karenanya.
Ada tempat karantina ditolak warga, ada penderita dikucilkan, ada jenazah ditolak dimakamkan dan ada jenazah yang tak terurus karena masyarakat ketakutan. Sementara pemerintah hanya bisa menebar ketakutan dan bagi-bagi anggaran. Selebihnya, hanya tentang peraturan-peraturan yang kian menambah kekalutan warganya.
Berita ditolaknya pemakaman jenazah tenaga medis oleh masyarakat adalah pukulan terbesar bagi kemanusiaan di negeri ini. Bahwa betapa kita semua abai pada jasa para pahlawan yang telah berjuang hingga ujung nafas terakhirnya.
Mengapa hal ini terjadi? Tiada lain dan tiada bukan adalah karena pemerintah dan masyarakat hanya disibukkan dengan ketakutan. Ya, ketakutan laksana menghadapi serangan “siluman” di zaman prasejarah.
Pemerintah, akademisi dan agamawan hanya sibuk menebar ketakutan. Penutupan total berbagai instansi yang mestinya bisa melawan pandemi, termasuk kampus dan rumah ibadah, hanya semakin menambah ‘ngeri’ pada masyarakat.
Mestinya kita tidak lupa, masyarakat kita adalah masyarakat religius yang sejak kelahirannya, pernikahan hingga kematiannya, seluruhnya dijalani dengan berlandaskan ajaran agama. Mestinya ketika seseorang meninggal dunia, siapa pun itu, bahkan penjahat sekalipun, apa pun agamanya, ia berhak untuk didoakan. Bukan malah ditolak pemakamannya.
Berdasarkan keprihatinan ini, marilah kita, agamawan, akademisi dan pemerintah, dalam hal ini aparat terkait untuk mulai bahu-membahu melawan Corona. Mari perlakukan Corona dengan adil, dengan rasional dengan tetap menjaga kewaspadaan dan kehati-hatian. Mari kita tunjukkan jati diri bangsa, bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat.
Mari bahu-membahu dengan para tenaga medis yang sudah berjuang sejak awal untuk melawan Corona ini. Mari kita persiapkan bangsa dan masyarakat untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi karena Corona.
Bahwa Corona bukan siluman. Corona hanyalah virus mematikan, seperti juga virus lain yang selama ini sudah kita kenal. Mari melatih masyarakat mendampingi penderita dan korban yang telah wafat. Mari belajar menopang para tenaga medis dengan melatih tim back up di setiap wilayah, bahkan hingga skala terkecil. Demikian ini agar kita tetap bisa menjaga martabat kemanusiaan bangsa ini sebagai bangsa yang rasional dan religius.
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang tangguh dan tidak cengeng hanya karena Corona. Buktikan bahwa kita adalah bangsa bernyali besar yang sanggup menghadapi kenyataan. Mari semaksimal mungkin mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, bukan hanya dengan bersembunyi dan bila jatuh korban lalu saling menakuti.
Para akademisi harus terlibat untuk mendidik masyarakat agar tetap berpikir rasional. Para agamawan harus terlibat untuk memompa semangat jihad dan kepasrahan kepada Tuhan. Pemerintah dan aparat harus tanggap menyiapkan relawan untuk antisipasi segala kemungkinan, termasuk atas jatuhnya korban.
Jangan lagi kita baca atau dengar berita memilukan, jenazah korban yang terabaikan atau tidak mendapatkan penghormatan semestinya. Mereka adalah saudara kita dalam kebangsaan dan keimanan. Mereka adalah pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi kemanusiaan. Semoga badai segera berlalu.
Agar tidak semakin banyak jatuh korban karena dampak Corona, entah karena kelaparan atau lainnya. Agar semua masyarakat memiliki pengetahuan memadai, sehingga secara sadar turut terlibat aktif upaya penanggulangan Wabah Corona tanpa merasa dikorbankan dan diabaikan hak-haknya. (mzn)