Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki prestasi spiritual di hadapan Tuhan, perempuan juga dianugerahkan prestasi sosial yang sama dengan laki-laki. Keduanya diberikan pahala atas kebaikan yang mereka upayakan. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat, Alquran mengulang lafadz ash-shalihin (laki-laki yang berbuat kebajikan) dan ash-shalihat (perempuan yang berbuat kebajikan) yang akar kata kedua-duanya sama yaitu sha-lu-ha, yasluhu, shalih atau secara definitif berarti orang-orang yang terus-menerus mengupayakan kebajikan.
Salah satu ayat Alquran yang mengulas lafadz sha-li-hat ialah “Maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (Qs. an-Nisa/4: 34)
Surah an-Nisa/4: 34 di atas setidaknya mendeskripsikan sosok perempuan shalih yang memiliki dua kriteria yaitu pertama, mereka yang taat (qanitat), kedua, mereka yang memelihara atau menjaga diri (hafidzhat).
Mengingat bunyi ayat sebelumnya adalah tentang laki-laki (suami) yang diamanahkan Allah untuk menjadi qawwam (pelindung) perempuan (isteri), maka kedua kriteria tersebut di atas, hendaknya juga dipandang sebagai perintah bahwa ketaatan seorang isteri yang paling utama ialah kepada Allah (bima hafidzhallah, sebab Allah telah menjaganya, seperti bunyi ayat berikutnya)— selain tentu makna ketaatan dalam ayat ini juga dipandang secara horisontal (ketaatan isteri kepada suaminya dalam hal-hal baik, juga sebaliknya).
Dengan demikian, qanitat dan hafidzhat sebagai prasyarat dari makna shalihat, akan lebih sempurna ketika mereka (perempuan) mengutamakan kedamaian dalam hidupnya (salam/ muslim/ muslimah). Muslimah (berasal dari bahasa Arab yaitu kata salima (selamat, damai).
Muslimah berarti perempuan yang (dengan terus membawa) kedamaian dan keselamatan serta menjauhkan diri dari perilaku mafsadat (perusakan) baik bagi diri sendiri, sesama makhluk, dan alam semesta.
Dewasa ini, kita dihadapi oleh banyak hal-hal krusial yang memprihatinkan. Dalam bidang pendidikan, perempuan yang berpartisipasi aktif untuk mengenyam pendirikan masih lebih rendah dari laki-laki. UNESCO mencatat, sebanyak 16 juta anak perempuan kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan dasar sementara 750 juta perempuan dewasa mengalami buta huruf.
Beberapa penyebab hal ini adalah kemiskinan, isolasi geografis, disabilitas, kehamilan di usia sangat muda, kekerasan berbasis gender, perilaku budaya mengenai status perempuan dan perilaku diskriminatif. Tingkat partisipasi ekonomi perempuan terbanyak baru menyentuh ranah domestik, pun juga politik; meski telah diberlakukan kuota untuk politikus perempuan, paritisipasi mereka masih rendah ketimbang laki-laki, ketika mereka turut aktif di ranah politik, beban ganda (tugas domestik) masih menjadi hal yang seolah juga menjadi tanggung jawab penuh baginya. Adapun satu masalah yang tak kalah penting adalah kesehatan perempuan; Angka Kematian Ibu dan Bayi masih cenderung tinggi (di atas 300 kematian/ 100.000 kelahiran hidup).
Melalui isu-isu strategis—tersebut di atas—buku Ensiklopedia Muslimah Reformis karya Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A, hadir di tengah-tengah kita. Maha karya ini terinsiprasi dari buku sebelumnya, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, 2004.
Secara fisik, buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ini tak hanya tebal kuanitas halamannya. Konten dan isu-isu yang dibahas sangat dalam, terperinci, relevan dan mencerahkan. Pembahasan sebanyak 16 bab ini dimulai dari bidang pendidikan; model pendidikan yang dibutuhkan bangsa ini dan fondasi yang tepat bagi semua pola pendidikan.
Islam sebagai agama yang lantang menyuarakan hak-hak pendidikan bagi setiap hamba-Nya tersimbol dalam satu surah yakni surah al-‘alaq dengan bunyi ayat pertama yang begitu akrab di telinga—‘iqra’ (bacalah). Membaca merupakan aktivitas akal yang sangat luar biasa. Kemampuan kognitif dan curiosity (rasa ingin tahu) menyatu sehingga kita bisa melihat, menganalisa dan menggali informasi lebih dalam lagi agar pemahaman terhadap sesuatu masalah lebih komprehensif.
Setelah pola pendidikan yang semestinya diterapkan sebagai kurikulum di negeri ini, berikutnya, Musdah mengulas secara kritis tentang pembentukan keluarga melalui pernikahan. Mengapa keluarga? Sebab dari keluarga-lah generasi-generasi manusia terlahir dan keluarga sebagai institusi terkecil sangat memengaruhi cara pandang seseorang di kemudian hari. Pola asuh orangtua dan lingkungan tempat dimana seorang anak tumbuh, juga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial sang anak.
Isu strategis berikutnya yang diulas dalam buku ini adalah perihal Keluarga Berencana (KB). Terkait KB, Musdah berpendapat, KB bukan hanya pemasangan alat kontrasepsi semata. Namun, lebih dari itu. KB ialah upaya yang seharusnya dilakukan seseorang sebelum ia memutuskan untuk menikah; siapa yang akan ia nikahi, berapa usianya, apakah mental, fisik dan finansial telah cukup? Berapa anak yang diinginkan? hingga hal-hal penting dan terperinci lainnya agar pasangan suami isteri dapat melaksanakan tugas-tugas rumah tangga nantinya dengan penuh tanggung jawab. Hal ini penting, sebab banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah tanpa perencanaan yang matang juga tak sedikit yang menikah di bawah umur.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2017, angka prevalensi perkawinan anak sudah menunjukkan angka yang tinggi pada tahun 2015, yakni tersebar di 21 Provinsi dari 34 Provinsi di Indonesia. Hal ini berarti angka perkawinan anak berdasarkan sebaran provinsi di seluruh Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni dengan jumlah persentase 61% (enam puluh satu persen).
Sedangkan pada tahun 2017, terdapat kenaikan jumlah provinsi yang menunjukkan angka perkawinan anak yang bertambah dari tahun 2015 yakni Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Riau yang kini tergolong provinsi yang menunjukkan angka cukup tinggi (diatas 25%). Angka persentase perkawinan anak masing-masing kedua provinsi tersebut yakni 34,41% dan 25,87%.
Selain ulasan tentang pentingnya upaya kesehatan reproduksi, buku ini juga mengulas tentang poligami, demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), menghapus radikalisme dan terorisme, masalah politik hingga ide untuk mengupayakan tafsir yang humanis-feminis agar tidak ada lagi tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Upaya merajut damai dengan merumuskan dakwah transformatif, juga menjadi solusi yang layak diimplementasikan dewasa ini.
Akhirnya, buku Ensiklopedia Muslimah Reformis; merupakan upaya meredefinisi konsep mar’ah shalihah yang digaungkan Alquran. Muslimah reformis seakar dan sejalan dengan konsep mar’ah shalihah; bahwa perempuan shalihah bukan hanya mereka yang taat pada Tuhan dengan seperangkat atribut keagamaan, namun juga perlu bergerak, empati, peduli dan turut andil dalam upaya-upaya kemanusiaan.