Bagi seorang pembelajar dan pencari kebenaran universal, Sufisme adalah cahaya yang mampu menerangi gelapnya jalan kehidupan. Begitu pun yang dirasakan Eva de Vitray-Meyerovitch, seorang intelektual perempuan yang menambatkan cintanya kepada jalur sufistik.

Dalam sufisme, Ia tidak hanya mendapatkan jawaban dari kegelisahannya tentang agama dan konflik di dalamnya, tetapi ia juga meneguk muara ajaran substansial yang indah dan mempesona.

Mungkin bagi publik di Indonesia yang sering membaca karya-karya sufistik dari intelektual Barat yang perempuan, nama Eva de Vitray tidak seterkenal Annemarie Schimmel. Salah satu penyebabnya adalah karya-karya Eva de Vitray lebih banyak ditulis dalam Bahasa Perancis. Dan belum banyak dari karyanya yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris.

Artikel ini akan mengulas secara singkat perjalanan Eva de Vitray-Meyerovitch sebagai perempuan pelaku sufi yang jatuh cinta pada Rumi.

Eva de Vitray-Meyerovitch lahir dengan nama Eva Lamacque de Vitray pada tahun 1909 di Paris, Perancis. Ia terlahir dari keluarga aristokrat katolik yang taat. Tidak ditemukan keterangan mengenai nama ayah dan ibunya.

Pendidikan masa kecilnya dilalui di Asrama Katolik di Perancis. Ia merupakan anak yang kritis, jujur, dan berani. Di usia remaja sekitar lima belas tahun, Ia telah menjadi siswi yang sangat kritis terhadap berbagai prinsip teologi Katolik. Ia banyak membaca dan berdebat dengan para pastor dan suster, guru-gurunya di sekolah.

Pencarian kebenaran yang sudah tertanam dan terasah sejak remaja ini, terus dibawa hingga ia kuliah di bidang hukum dan menyelesaikan doktoralnya di bidang filsafat dengan konsentrasi pada simbolisme Plato.

Sifat-sifat ini turun disinyalir dari neneknya, seorang anglikan Skotlandia, yang berkata kepadanya, “selalu bersikap jujur dan bermartabat, jangan pernah berbuat curang.”

Eva de Vitray menikah di usia 22 tahun dengan laki-laki Yahudi Perancis keturunan Rusia, Lazare Meyerovitch, sehingga nama inilah yang dibawa olehnya pasca menikah. Bersama suaminya, ia hidup di Paris sembari bekerja sebagai administrator di laboratorium milik Frederic Juliot Curie, peraih nobel di bidang chemistry pada tahun 1935.

Di masa bekerja ini, Eva de Vitray beberapa kali bermimpi. “Dalam mimpiku, aku dikuburkan. Di atas nisan namaku ditulis dalam versi Bahasa Arab, Hawwa. Pada saat itu, aku sering diskusi dengan Juliot Curie tentang mimpi ini. Dia mengatakan ini hanyalah bunga tidur biasa.”

Sekitar tahun 1940-an invasi pasukan Nazi German masuk ke wilayah Perancis mengakibatkan Eva harus keluar dari Paris sekaligus keluar dari laboratorium Juliot Curie. Di tahun inilah tentara Gestapo mengetuk pintu rumahnya, menanyakan keberadaan suaminya yang merupakan bagian dari tantara pembebasan Perancis. Ketika itu ia sendirian bersama anaknya yang berusia tiga tahun.

“Aku bicara pada mereka, aku tidak tahu keberadaan suamiku dan bersama siapa dia sekarang dengan bahasa dan aksen Jerman, aku tahu beberapa kalimat dalam bahasa Jerman karena membaca Kant dan Hegel,” katanya.

“Aku shock dengan suaraku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa bicara dengan aksen Berlin yang begitu fasih.”

Eva de Vitray-Meyerovitch menjadi saksi kekejaman selama perang berlangsung. Ia menyaksikan sendiri sekitar 642 orang dikumpulkan oleh tentara Nazi Jerman, kebanyakan anak-anak dan perempuan. Mereka dimasukkan ke Geraja, lalu Geraja itu dibakar dan membiarkan orang-orang itu mati.

Setelah perang usai, Eva de Vitray-Meyerovitch berkarir di Centre national de la recherche scientifique (CNRS). Sebuah lembaga penelitian di Perancis sambal terus belajar berbagai hal. Di sekitar tahun 1950-an, seorang teman di kelas Sansakerta baru saja kembali dari Pakistan berkunjung ke rumahnya dan memberikan oleh-oleh buku berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam yang ditulis oleh pemikir Islam kenamaan, Muhammad Iqbal.

Sebagai seseorang yang memiliki ketajaman pikiran dan hatinya mudah tersentuh, Eva de Vitray tenggelam oleh kejernihan uraian dan keindahan penjelasan Iqbal. Dalam buku tersebut, secara garis besar Iqbal membahas tentang posisi individu dalam struktur semesta dan korelasi agama dengan realitas tertinggi yang tidak terjangkau, sekaligus meliputi seluruh alam.

Iqbal banyak mengutip pendapat dan pemikiran Jalaluddin Rumi dari bukunya Matsnawi dan lain lain. Melalui buku inilah kemudian Eva de Vitray masuk lebih dalam lagi mempelajari Islam, terutama ajaran Jalaluddin Rumi.

Ketertarikannya diawali dengan upaya untuk menerjemahkan buku Iqbal yang dibacanya ke dalam Bahasa Perancis. Setelah itu, Eva kemudian belajar Bahasa Persia agar mampu mengakses secara langsung dan merasakan dzauq keindahan ungkapan Jalaluddin Rumi.

Secara simultan Eva de Vitray menerjemahkan karya Rumi ke dalam Bahasa Perancis. Eva berhasil menerjemahkan kurang lebih 50.000 bait puisi dalam magnum opus Rumi, Matsnawi, dalam kurang lebih 1100 halaman. Selain juga menerjemahkan buku Rumi lainnya seperti Fihi Ma Fihi, Rubayat, dan Diwan al-Kabir.

Berbeda dengan Annemarie Schimmel, Eva de Vitray-Meyerovitch secara tegas menjadi muallaf setelah kurang lebih tiga tahun belajar tentang Islam dan sufisme. Meskipun banyak pertentangan dan penentangan dari lingkungan terdekat, ia tetap teguh dalam menjalankan Islam. Nama Islam yang dipilihnya adalah Hawwa Hanim.

Setelah masuk Islam, Eva de Vitray memutuskan untuk kembali mengambil studi doktoral di University of Paris dengan konsentrasi pada ajaran mistisisme Jalaluddin Rumi. Disertasinya berhasil dipertahankan pada tahun 1968.

Setahun berselang, Eva de Vitray berkesempatan untuk ikut mengajar filsafat di Al-Azhar Kairo sebagai representasi CNRS selama kurang lebih lima tahun dalam kurun waktu 1969 – 1973. Di sela-sela kesibukannya di Kairo, pada tahun 1971, Eva melaksanakan ibadah haji ke Makkah.

Annemarie Schimmel ketika melakukan ulasan buku (book review) atas karya terjemahan bahasa Inggris Eva de Vitray yang berjudul Rumi and Sufism, diterbikan Middle East Studies Association Bulletin, mengakui bahwa ia bertemu Eva secara personal pertama kali pada tahun 1973 di Konya, Turki. Pada saat itu mereka sedang menghadiri haul 700 tahun wafatnya Jalaluddin Rumi.

Bagi Eva de Vitray-Meyerovicth, Turki menjadi rumah kedua setelah Perancis. Ia sering kali mengunjungi Turki, terutama Konya, tempat Rumi dimakamkan. Otoritas Turki pada waktu itu bahkan memberikan warga negara kehormatan (citizen of honour) untuknya.

Ia pun mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Selcuk University karena kontribusinya yang tak ternilai kepada Rumi dan budaya Turki.

Dalam jalan kesufian, Eva de Vitray-Meyerovitch atau Hawwa Hanim berbaiat kepada mursyid tarekat Qadiriyah asal Maroko, Syekh Hamzah al Qadiri al Boutchichi. Pertama kali Eva datang, Syekh Hamzah berguman, “Rumi ada disini, Rumi ada disini.”

Selain kepada Syekh Hamzah, Eva juga terhubung dengan Syekh Khaled Bentounes, seorang mursyid tarekat syadziliyah-alawiyah yang tinggal di Perancis.

Eva de Vitray-Meyerovitch meninggal di Paris pada tanggal 24 Juli tahun 1999 di usia 90 tahun. Ketika akan meninggal, ia berwasiat agar bisa dimakamkan di Konya satu kompleks dengan pemakaman Rumi. Wasiatnya ini baru bisa ditunaikan pada tahun 2008.

Leave a Response