Ibadah shalat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang sudah mukallaf; dewasa (baligh) dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. Hanya saja, hukum fiqih mempunyai pandangan bahwa bagi mereka yang sakit (fisik) terdapat prinsip ketentuan keringanan.
Menurut Ahmad Sarwat dalam Shalat Orang Sakit (2018: 5-7), setidaknya ada 3 prinsip utama tentang ketentuan keringanan shalat bagi orang sakit.
1. Sakit Tidak Menggugurkan Kewajiban Shalat
Ini adalah prinsip yang paling dasar dan sangat penting. Sebab banyak sekali orang yang keliru dalam memahami bentuk-bentuk keringanan, sehingga terlalu memudah-mudahkan hingga keluar batas.
Tidak mentang-mentang seseorang menderita suatu penyakit, lantas dia boleh meninggalkan shalat seenaknya. Kalau pun terpaksa harus meninggalkan shalat, karena alasan sakit yang tidak mungkin bisa mengerjakan shalat, tetap saja shalat itu menjadi hutang yang harus dibayarkan di kemudian hari.
2. Lakukan yang Bisa Dilakukan
Seseorang yang sakit tetap diwajibkan untuk mendirikan shalat dengan melakukan gerakan dan posisi-posisi shalat sebisa dan semampu yang dia lakukan, meski pun tidak sampai sempurna. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan bertaqwalah kepada Allah semampu yang kamu bisa.” (QS. At-Taghabun: 16)
Dan juga sabda Rasulullah SAW :
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bila kalian diperintah untuk mengerjakan sesuatu, maka kerjakannya semampu yang bisa kamu lakukan.” (HR. Bukhari)
Prinsipnya, apa pun gerakan dan bacaan shalat yang masih bisa dikerjakan, maka tetap wajib untuk dikerjakan. Dan apa yang sama sekali sudah mustahil bisa dilakukan, barulah boleh untuk ditinggalkan. Dalam konteks ini, kita tidak mengenal prinsip “ambil atau tinggalkan”, namun yang berlaku adalah sebagaimana kaidah berikut ini :
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ
Apa yang tidak bisa didapat secara keseluruhannya, bukan berarti harus ditinggalkan semuanya.
3. Keringanan Tidak Boleh Mengarang Sendiri
Tidak mentang-mentang mendapatkan keringanan, lantas kita boleh mengarang-ngarang sendiri bentuk keringanan seenak selera kita.
Keringanan yang Allah SWT berikan kepada orang sakit bukanlah cek kosong yang boleh diisi seenaknya. Tetap saja ada banyak keterbatasan syariah yang mengiringi.
Misalnya, orang sakit tetap wajib shalat sejumlah rakaat yang telah ditetapkan, dan tidak boleh mengurangi jumlah rakaat. Yang tadinya shalat Dzhuhur empat rakaat, tidak boleh tiba-tiba dikurangi jadi tinggal 1 rakaat, dengan alasan lagi sakit. Begitu juga yang seharusnya shalat itu 5 waktu dalam sehari semalam, tidak boleh kita ubah jadi cuma 3 waktu saja.
Maka keringanan yang dijalankan harus bentuk-bentuk keringanan yang ada dalilnya dan tidak boleh keringanan yang seenak selera pribadi. Di antaranya adalah wudhu atau mandi janabah boleh diganti dengan tayammum, tidak bisa berdiri boleh shalat sambil duduk atau berbaring, tidak bisa menghadap kiblat, gugurnya kewajiban shalat berjamaah, gugurnya kewajiban Shalat Jumat. (MZN)