Penduduk Rajakulon heran bukan kepalang. Hari ini, pagi di Rajakulon tak kunjung usai. Di desa tetangga, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Pun waktu yang sama ditunjukkan oleh kota, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi lain. Semua warga berbondong menuju Balai Desa sebagai bentuk proses. Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, hingga gadis-gadis remaja keluar dari rumahnya, pergi memadati Balai Desa. Selain Balai Desa, sungguh mereka tak tahu kemana harus mengadu.

“Pak Kades, kemana perginya waktu siang dan malam?” Tanya seorang ibu sambil menggendong anaknya.

“Bagaimana cara menghentikan pagi ini, Pak? Kami butuh waktu siang untuk menjemur padi, waktu sore untuk berkumpul dengan keluarga dan waktu malam untuk beristirahat.” Para petani mendesak sekuat tenaga.

“Ada apa dengan pagi, Pak?” Tanya para pelajar kebingungan.

Kepala Desa tak bisa menjawab pertanyaan warganya. Ia sendiri kepalang bingung mengapa pagi hari tak juga berganti siang. Semua orang di Rajakulon tak bisa beraktivitas normal seperti biasa. Ada warga yang tetap memaksa bekerja, ada yang memilih pergi ke desa lain untuk menemui sinar matahari, dan ada pula yang acuh tak acuh melanjutkan tidurnya.

***

Jauh waktu sebelum Balai Desa sesak, pagi sebenarnya tak pergi kemana pun. Seperti biasa, pagi hanya bersetia menunggu Abah Harun menjalankan rutinitasnya: menyapu halaman. Seusai Subuh, sebelum anak-anak sekolah mulai berdatangan dan bel tanda masuk sekolah bersahutan. Abah Harun telah berdiri di ujung Musholla, bersiap menyapu dari depan ke belakang, dari ujung kanan hingga ujung kiri halaman.

Sekolah hanya berisik di jam setengah tujuh pagi sampai lima sore. Selebihnya, hanya hening dan sunyi. Ruang-ruang kelas lengang. Angin sepoi akan terasa jelas menyentuh tengkuk. Paling penting, tak ada keributan dan sahut-menyahut antar murid atau guru. Damai, tenang, setenang bagaimana pagi setia menaungi Abah Harun menyapu halaman.

Pagi memang suasana paling memukau. Selain embun yang membungkus dedaunan, tanah, bangunan, bebatuan, tangkai yang jatuh pun berada dalam keadaan basah menyejukkan. Rumput-rumput mengembang, membiarkan air embun mampir di tubuhnya. Burung-burung menunjukkan sukacita dengan kicauannya.

Di saat-saat itulah Abah Harun sudah berdiri di tengah halaman. Selanjutnya, ia akan menyapu dengan khusyuk. Dengan beberapa buah sapu lidi panjang bergagang kayu serta sekop berukuran agak sedang dan mengenakan sarung, peci hitam serta kaos putih polos, ia mengelilingi bagian demi bagian halaman dan menggiring sampah-sampah pada satu titik pusat pembakaran.

Jika malam turun hujan, air akan menggenang di rerumputan dan mengotori sandalnya. Tapi, Abah Harun tetap menyapu meski berulang kali ia harus membersihkan lumpur yang menempel tanpa permisi. Jika pagi turun hujan, Abah Harun akan menyapu di hari berikutnya. Ia tak ingin terserang sakit terlebih karena usia.

Pagi terus saja menunggui Abah Harun yang menyapu halaman dengan tersenyum. Ia menyapu satu demi satu sampah yang berserak di sepanjang halaman. Mulai dari halaman Musholla, halaman kobong1 hingga halaman kantor guru di ujung paling Timur wilayah yayasan.

Yayasan itu didirikannya satu dasawarsa silam. Tujuannya hanya satu, agar anak-anak Rajakulon bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Apa yang diperjuangkannya tak berjalan mulus. Banyak warga yang mengutuk.

“Siapa bilang sekolah bisa membuat sejahtera? Hanya bekerja yang membuat kita sejahtera. Uang menciptakan kebahagiaan.”

Begitulah warga mulai melawan keinginan Abah Harun. Setiap membangun kelas baru, selalu saja ada warga yang berbuat ulah. Pernah suatu kali, kotoran ternak dilemparkan ke kelas yang baru. Yang terparah adalah ketika semua kaca jendela kelas yang baru pecah berkeping saat dini hari, sengaja dilempari batu.

“Jangan sekolah! Ayo kerja!” Seru warga berkali-kali.

Sesungguhnya, Abah Harun tahu siapa saja segelintir orang yang tak menyukai dirinya. Ia memilih diam, enggan memperkeruh keadaan. Setelah tahu banyak warga yang menentang, Abah Harun menjadi lebih diam. Jika tidak terlalu penting, ia tak mau bicara. Sikap diam itu dilakoninya setiap hari, bahkan saat menyapu halaman di pagi hari.

Abah Harun rutin menyapu sebelum sinar matahari muncul dan mengakhirinya seusai sinar matahari mulai merambat perlahan di atas kepala. Beberapa ternak warga akan datang ke pusat sampah. Angsa, kambing, ayam dan kucing berkeliaran mengitari halaman. Sampah berserak di mana-mana, membuat para ternak datang memungutnya.

Angsa memakan apa saja yang lembut dan lembek. Ayam selalu mengorek sampah dan mencucuk apa pun yang bisa dimakan. Kambing mengulum rumput sebelum terlebih dahulu mengendus banyak tumpukan sampah. Kucing berlarian mencari makanan yang berbau tajam, mengorek dan memakannya dengan rakus.

“Biar kubantu, Abah. Abah mandi saja, ya.” Pernah si bungsu berusaha membantu. Abah Harun tak mau. Ia ingin membersihkan seluruh halaman dengan tangannya sendiri.

Halaman membentang dari Musholla di bagian paling belakang. Disusul ruang-ruang kelas yang mengitari tanah pertengahan yang luas. Sebuah empang kecil yang kini airnya berwarna kehijauan sengaja dibuat di bawah pohon mangga dekat kobong. Rumah Abah Harun ada di sebelah kobong, di depan sebuah pelataran kecil yang seperti pintu masuk atau gerbang menuju sekolah. Setiap pagi, Abah Harun menyapu keseluruhan halaman itu.

Sampah berserak tak habis-habis. Sisa bungkus jajanan sekolah, kertas-kertas bekas pelajaran, botol-botol plastik bekas minum anak-anak, puntung rokok para guru, dedaunan yang berjatuhan tiap waktu, dan banyak lagi. Pelan-pelan, Abah Harun memungut satu per satu. Dengan sabar, sembari membawa sapu lidi bergagang kayu, ia menyapu dengan khusyuk.

Setiap kali menyapu, Abah Harun tak pernah bersuara. Ia terlihat diam, tapi sesungguhnya ia bergerak. Gerakan menyapunya lincah-terarah. Pagi memperhatikan Abah Harun yang memegang sapu dengan enteng. Diarahkannya setiap sampah ke dalam sekop yang agak besar, dikumpulkan dalam satu tempat untuk dibakar kemudian.

Pagi bersetia melihat Abah Harun yang tak lelah menyapu setiap pagi, membereskan sisa-sisa kehidupan orang-orang di sekitarnya.

“Hidup memang mudah. Bernapas, makan, minum, mandi, ibadah, menyelesaikan, memulai, kesemuanya menghasilkan sampah. Tak banyak orang sadar bagaimana mengelola sisa kehidupan dengan baik.” Begitu kalimat yang kerap dikatakan Abah Harun pada murid-muridnya.

Betapa Abah Harun amat mengerti: hanya dengan membakarnya, sampah tak akan menyisakan apa pun kecuali abu. Sama seperti kehidupan manusia: sesibuk apapun, hanya mayat yang akan tersisa.

Melewati lapangan bola, Abah Harun mengamati beberapa daun yang terjatuh. Bermacam warna mengelilinginya: hijau muda, hijau tua, hijau keabu-abuan, hijau kecoklatan, hijau kehitaman, hijau kebiruan, hijau sebenar-benarnya hijau, banyak variasi hijau yang tak bisa disebutkan Abah Harun. Begitu banyak macam varian dalam warna hijau.

Abah Harun tak pernah mengerti mengapa Tuhan menciptakan alam sebegitu rumitnya seperti ketidakmengertiannya memahami keinginan segelintir warga yang tak ingin ia mendirikan sekolah. Padahal, Abah Harun amat yakin, tak ada lagi jalan lain selain pendidikan yang bisa menghantarkan tunas muda agar bisa tercerahkan.

Atas ketidakmengertiannya, Abah Harun rutin menyapu halaman setiap pagi, merawat berbagai pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Terus bertanya, mengapa banyak kepala yang tak bisa menerima cita-citanya.

Sementara Abah Harun berpikir, pagi tak akan pergi sebelum ia selesai menyapu seluruh halaman. Setiap menyapu, kecuali untuk menyapa orang, mengusir ternak yang kerap usil mengganggunya atau menyampaikan sesuatu kepada seseorang, Abah Harun tak pernah bicara. Satu kata tak pernah diucapkannya ketika sedikit demi sedikit menggeser gagang sapu dan memindahkan sampah ke spot pembakaran. Ia mungkin belajar diam. Mendengar desir angin di dedaunan, suara-suara ternak yang meronta kelaparan, ranting jatuh dari pohonnya, atau bahkan gemericik air dari keran yang lupa dimatikan.

Abah Harun sering merasa sesak di dadanya. Ia sadar tubuhnya tak lagi kuat menghalau udara pagi. Hanya saja, sesuatu telah menggerakkannya. Keinginan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan mendengar pagi berdialog dengannya mendorongnya untuk tidak tidur lagi seusai shalat Subuh.

Kini, sesak di dadanya tak lagi bisa ditahan. Pagi itu, tanpa sempat berteriak, Abah Harun tersungkur di lapangan. Seluruh tubuhnya terhempas. Telinganya berdenging, pandangannya berubah hitam pekat.

***

Awalnya, warga Rajakulon bangun tidur dengan normal dan menjalankan rutinitas seperti biasa. Hingga tiba waktu di jam sepuluh pagi, mereka pun terheran-heran. Matahari tak muncul. Langit tak mendung namun awan dan matahari juga tak menampakkan diri. Setelah saling bertanya-tanya, mereka akhirnya mendapati kenyataan aneh.

Ternyata, pagi tak mau pergi dari Rajakulon.

Pagi tetap enggan pergi sementara warga bertahan di Balai Desa, menuntut jawaban. Pagi hari yang tak kunjung usai di Rajakulon menarik perhatian koran-koran, televisi dan media online. Semua ahli alam mulai bersuara di televisi dan media. Para wartawan berdatangan dan melontarkan banyak pertanyaan. Bukan hanya wartawan, orang-orang dari desa lain turut datang. Banyak yang terheran-heran, namun banyak juga dari mereka yang memuji kuasa Tuhan.

Sementara semua warga bersiteru di Balai Desa, keluarga Abah Harun mulai mencari orang tuanya yang tak kunjung pulang seusai menunaikan shalat Subuh di Musholla. Meski telah mencari di seluruh lingkungan yayasan hingga tiga kali, keluarga tak berhasil menemukan Abah Harun. Pencarian pun diperluas sampai ke desa tetangga. Si bungsu fokus mencari di luar desa dan si sulung terus mencari ke pelosok desa Rajakulon.

Sesampainya di Balai Desa, anak sulung Abah Harun bertanya ke seluruh warga yang ada di sana. “Adakah dari kalian semua yang tahu kemana Abah Harun pergi?”

Warga hanya saling memandang. Tak ada jawaban. Semua masih sibuk mempertanyakan pagi.

1 Ruang pesantren yang dibuat dari bambu menyerupai rumah panggung

Leave a Response