Berbagai hasil penilaian capaian tentang kerukunan (atau dengan istilah/sebutan yang lain) telah dibuat, namun tidak semuanya dapat digunakan sebagai ukuran karena dilakukan berdasarkan tujuan, teknis, dan standar yang berbeda-beda. Oleh karena itu Kementerian Agama selaku instansi pemerintah yang bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan di bidang agama perlu menetapkan suatu ukuran standar penyusunan indeks kerukunan umat beragama yang disusun secara komprehensif dengan standar nasional.

Indeks kerukunan yang akan dibentuk itu adalah berdasarkan tiga dimensi, yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Indikator toleransi merepresentasikan dimensi saling menerima, menghormati/menghargai perbedaan. Kesetaraan, mencerminkan keinginan saling melindungi, memberi kesempatan yang sama dengan tidak mengedepankan superioritas. Selanjutnya, kerja sama menggambarkan keterlibatan aktif bergabung dengan pihak lain dan memberikan empati dan simpati kepada kelompok lain dalam dimensi sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.

Oleh karena itu, untuk peningkatan kerukunan umat beragama, orientasinya tidak hanya pada aspek toleransi semata, karena sikap toleransi itu baru merupakan syarat awal. Agar kerukunan umat beragama tumbuh semakin kuat, maka toleransi harus disertai dengan adanya sikap kesetaraan.

Selanjutnya, sikap kesetaraan harus diiringi tindakan nyata dalam bekerjasama di tengah masyarakat majemuk. Dengan kerja sama yang tulus, terbangun kepercayaan yang kuat di antara sesama anak bangsa dengan pemahaman bersama bahwa mereka dapat hidup berdampingan dengan damai, tenang, saling memajukan dan menguatkan, tidak untuk saling menyakiti dan menyingkirkan.

Pada tahun 2018, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menguji kembali indikator kerukunan umat beragama di Indonesia setelah melalui serangkaian survei lapangan selama dua tahun berturut turut. Kegiatan pengujian tersebut untuk memantapkan konsepsi pengukuran dan analisis yang digunakan, sehingga nanti desain survei kerukunan umat beragama dapat diuji oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang ajeg atau diperlukan lagi proses di masa mendatang.

Metode Pelaksanaan

1. Penyebaran Kuesioner (try in, try out)
2. Analisis Indikator (hasil)
3. Analisis Kuantitatif
4. Survei lapangan 34 provinsi
5. FGD di lima provinsi (Aceh, Sumatera Barat, Banten, Maluku, Sulawesi Utara)

Hasil Penelitian

Survei ini mengukur tiga dimensi utama, yaitu: 1) Toleransi, 2) Kesetaraan, dan 3) Kerja sama. Sementara, hipotesis penelitian ini adalah: Kerukunan terwujud melalui tingginya tingkat toleransi, kesetaraan dan kerja sama. Survei yang diselenggara- kan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kemenag RI pada tahun 2018 ini melibatkan 13.600 responden yang tersebar di 34 provinsi.

Responden adalah masyarakat Indonesia yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Enumerator atau surveyor menyebarkan kuesioner dengan membacakan langsung item- item pertanyaan kepada seluruh responden. Survei yang digelar dari 1 Agustus sampai dengan 30 September 2018 ini menggunakan metode Multistage Random Sampling dengan margin error sebesar 1,35% dan tingkat kepercayaan 95%.

Survei ini melibatkan 68 peneliti, 13600 pembantu peneliti (pembalap) dan 8 orang spot checker dari Puslitbang Bimas
Agama dan Layanan Keagamaan yang bertugas memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan survei. Paparan hasil survei ini bertujuan memberikan masukan kepada Pemerintah baik di pusat maupun di daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan persoalan kerukunan umat beragama yang dapat menangkal intoleransi dan radikalisme. Indeks KUB ini memperlihatkan bahwa kondisi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia adalah TINGGI.

Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Indonesia tahun 2018 berada pada angka 70,90. Angka indeks ini diperoleh dari hasil pengukuran 3 (tiga) indikator yaitu: Toleransi (70,33), Kesetaraan (70,33) dan Kerjasama (70,56). Faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi ketiga indikator tadi antara lain adalah; pendidikan, pendapatan, partisipasi sosial, pengetahuan terhadap peraturan, rural-urban (wawasan kemajemukan) dan daerah mereka tinggal.

Dari ketiga dimensi tersebut, kerjasama berada skor lebih tinggi dari yang lain. Meskipun indikator pada dimensi toleransi lebih berpengaruh terhadap nilai kerukunan (0,862). Beberapa teori yang digunakan untuk mengukur indikator kerjasama adalah modal sosial (social capital) yang terdiri dari norma, jejaring dan kepercayaan (trust) dari Robert D. Putnam (2000) Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, dan Ashutosh Varshney (2010), Collective violence in Indonesia, yang mengkaji pentingnya interkoneksi yang bersifat asosiasional dan quotidian untuk terwujudnya kedamaian di Indonesia, serta pentingnya relasi sosial (social relation) dari Daniel Bell (2013). Harmony in the World 2013: The China Model: Harmony in the World 2013: The Ideal and the Reality (Appendix 1). Artinya, aspek modal sosial dari Putnam, interkoneksi antar warga dari Varshney dan interaksi sosial dari Daniel Bell di masyarakat Indonesia masih tergolong rendah.

Sementara itu, untuk kondisi Indeks KUB per provinsi, survei menunjukkan Provinsi Nusa Tenggara Timur menempati posisi pertama dengan nilai indeks sebesar 78,9. Tahun 2017 lalu, posisi pertama ditempati Provinsi NTT dengan skor 82.02, sedangkan posisi kedua kedua dengan nilai Indeks 76,0, Provinsi Sulawesi Utara, dibandingkan tahun sebelumnya dengan nilai Indeks 81,0.

Hasil penelitian selengkapnya klik di sini

Gambar ilustrasi: Humas Setkab/Jay

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response