HB Jassin, Begawan Sastra Indonesia yang Menerjemahkan Al-Qur’an
Nama HB Jassin sudah tak asing lagi dalam dunia kesusastraan Indonesia. Gayus Siagian menjulukinya sebagai “Paus Kesusastraan Indonesia”, Prof. Teeuw menyebutnya “Penjaga Sastra Indonesia”, sedang Sosiolog Arief Budiman menamaninya sebagai “Kritikus sastra yang bekerja secara cermat dan Kontinyu”.
M H Rustandi Kartakusuma mengapresiasi kerja peradabannya dengan memberi julukan “penerjemah yang baik”, dan masih banyak lagi nama mentereng di balik kesuksesan HB Jassin di dunia kebudayaan, khususnya bahasa.
Begawan kelahiran Gorontalo, 31 Juli 1917 ini bernama lengkap Hans Bague Jassin. Jalur kependidikannya bermula dari Gouverment H.I.S Gorontalo pada 1932, kemudian melanjutkan ke H.B.S di Medan pada 1939. Delapan belas tahun kemudian, pada 1957 dia berhasil menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Tumbuh-kembang tradisi keilmuannya ternyata sangat dipengaruhi oleh ayahnya yang mengoleksi banyak buku. Pun dengan guru yang bernama M.A. Duisterhof yang selalu dikenang Jassin kala dia belajar di Gouverments HIS. Ia merupakan orang yang mengenalkan Jassin pada dunia sastra. Ia membacakan Max Havelaar-nya Multatuli sehingga membuat Jassin terperangah.
Ketertarikan pada dunia sastra itu kian didalami sampai Universitas Yale, Amerika Serikat. Selama empat tahun (1953-1959), di Yale, HB Jassin memperdalam pengetahuan dalam bidang Ilmu Perbandingan Kesusastraan. Secarik pengalaman hidup di Yale pernah diabadikan dalam sebuah buku berjudul “Omong-Omong HB Jassin: Perjalanan Ke Amerika 1953-1959” yang diterbitkan oleh Balai Poestaka.
Sebagai seorang akademisi, Jassin banyak memakan asam garam dan sebab itu dia memperoleh banyak penghargaan. Dalam buku Sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia misalnya, Jassin mendapatkan pengakuan yang beragam dari berbagai pihak.
Tapi dari seabrek pencapaian tersebut, apakah kalian juga menyadari, bahwa HB Jassin juga mempunyai karya terjemahan al-Qur’an?
Iya, HB Jassin memilik karya terjemahan al-Qur’an. Secara lebih detail, ia melakukan penerjemahan ayat al-Qur’an secara puitis, yang sempat menjadi polemik. Kenapa menjadi polemik? Bukankah terjemah al-Qur’an, apalagi secara puitis memberi warna baru dalam khazanah terjemah al-Qur’an di Indonesia?
Jawabannya sederhana, dalam kasus ini, persoalannya tidak hanya sekadar puitisasi terjemah al-Qur’an, tapi sebab Jassin dianggap tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu terkait—yang menjadi prasyarat seorang diperbolehkan menerjemah al-Qur’an.
Tapi tunggu dulu, sebelum kita dianggap menghakimi secara sepihak, sepintas mari kita telaah dulu latar belakang atau motif apa yang mendorong seorang HB Jassin ingin menerjemahkan al-Qur’an.
Kematian istrinya, Arsiti, pada 12 Maret 1972, membangkitkan kesadaran baru dalam diri HB Jassin. Selama tujuh malam tahlilan menggema di rumahnya. Secara tidak sadar, ayat-ayat al-Qur’an yang berdengung setiap malam itu mengusik kegelisahan Jassin dan menggiringnya untuk menerjemahkan teks-teks ayat tersebut.
Didorong oleh premis dasar yang sederhana, bahwa al-Qur’an sangatlah puitis. Oleh sebab itu, Jassin ingin menggali keindahannya secara material/fisik, sehingga sangat wajar apabila kemudian terjemahannya juga dibuat secara puitis sebab dia menggunakan pendekatan sastra. Selain itu, Jassin mengakui ada kekuatan nilai-nilai ilahiah yang melingkunginya tatkala berdialog dengan al-Qur’an.
HB Jassin yang berlatang belakang kritikus sastra dengan reputasi nasional, dalam beberapa dekade, merupakan orang yang pertama kali menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Indonesia pada akhir 1970-an. Sebelumnya, Jassin sudah menyelesaikan terjemah Juz ‘Amma yang diterbitkan pada 1942. Kala itu, karya terjemahan Jassin sudah dianggap sebagai bagian dari literatur tentang al-Qur’an oleh muslim Indonesia.
Terjemahan al-Qur’an HB Jassin diberi judul Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia. Jassin mulai menggarap terjemahan tersebut pada tahun 1972 di Belanda. Dalam rentang satu tahun tinggal di Belanda, ia berhasil merampungkan setengah dari isi al-Qur’an. Sedangkan separuh sisanya dirampungkan di Indonesia pada 18 Desember 1974, baru terbit tahun 1978.
Meski dipandang tidak berkompeten terhadap cakupan ilmu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan al-Qur’an, beruntung Jassin menerima surat tashih dari Departemen Agama, yang membuat karya terjemahannya tersebut terbit hingga beberapa kali cetak.
Cetakan pertama 1978 sebanyak 10.000 eksemplar diterbitkan oleh penerbit Djambatan. Lalu, cetakan kedua 1988 beralih ke penerbit lain dengan mencetak 35.000 eksemplar.
Menariknya, terjemahan ini mempunyai dua latar belakang yang lumayan bergairah secara intelektual. Pertama, terjemahan ini merupakan hasil interaksi Jassin dengan al-Qur’an. Ia menemukan ketenangan dan rasa kepuasan dari keindahan ayat-ayat al-Qur’an yang dianggapnya sangat puitis atau sastrawi.
Kedua, Jassin banyak menjumpai terjemahan al-Qur’an yang kaku dan mereduksi sisi sastrawi al-Qur’an. Karena itu, Jassin tergugah untuk berkontribusi kepada agama dengan mengembalikan sisi keindahan al-Qur’an dalam bentuk terjemahan.
Tapi sejauh mata menyapu pandang terhadap kontroversi terjamahan al-Qur’an tersebut, Jassin dalam proses penerjemahannya tetap metodologis. Dalam hal ini, dia memakai pendekatan kebahasaan. Dia tertarik untuk menciptakan terjemahan bahasa Indonesia yang puitis sehingga menampilkan keindahan seperti keindahan yang dimiliki bahasa Arab.
Dia menyajikan al-Qur’an dalam baris-baris yang pendek, hampir menyerupai bentuk puisi. Gaya yang digunakan pun berbeda-beda, menyesuaikan dengan surah-surah yang sedang digarapnya. Missal, pada Surah al-Lail (Malam) dia menonjolkan penaksiran bait, sementara dalam bagian akhir dari Surah an-Najm (Bintang) dia menekankan kata terakhir dari setiap ayat untuk membangkitkan jiwa.
Selain itu, dalam itikad meningkatkan rasa seni, Jassin menganggit irama dan suara, bukan hanya suara yang menggoyangkan, tetapi juga jika diperlukan irama pendek yang melonjak atau berhenti secara tiba-tiba, kemudian melangkah lagi dalam kekuatan sepenuhnya.
Misal bunyi “am”, “an”, dan “ang” memberikan rasa seni yang ajib. Bunyi “ai”, “au” dan “r” meskipun tidak mendukung keindahan sajak, bagi Jassin semuanya merupakan bunyi menyenangkan yang mempengaruhi keindahan dan kekuatan terjemahan.
Meski menuai banyak kritik hingga kontroversi nasional, banyak pihak di antaranya Mukti Ali (Menag pada saat itu), Ali Sadikin (Gubernur Jakarta) dan Hamka mengapresiasi kerja peradaban HB Jassin tersebut. Kerja Jassin dinilai berani dan tekun.
Demikian halnya dalam khazanah tafsir Indonesia tidak bisa dipungkiri kalau terjemahan Jassin memberi sumbangsih terhadap corak baru dengan penekanannya terhadap sastra.