Menteri Agama Republik Indonesia baru saja mengumumkan pembatalan pengiriman jemaah haji tahun 2020 M / 1441 H. Tentu saja pengumuman haji ditunda ini sangat mendasar karena terkait keselamatan jamaah dari ancaman Covid-19 yang saat ini sedang menjadi pandemi. Namun, boleh jadi pengumuman ini menyesakkan sebagian calon jamaah yang sudah mengantri cukup lama, bisa sepuluh atau dua puluh tahun.

Kekecewaan sebagai respons spontan atas pembatalan tersebut sebenarnya sangat wajar. Sejuta asa dan kerinduan untuk singgah di Rumah Allah yang ada di depan mata itu harus ditunda untuk tahun berikutnya.

Belum lagi efek sosiologis dan sosiologis yang segera lahir sebagai dampak dari pembatalan ini. Dikatakan wajar memang karena manusia itu punya potensi karakter “ajula”, tergesa-gesa dalam merespons.

Namun, seorang muslim punya pedoman dalam menghadapi peristiwa/kejadian/informasi yang sekilas nampak tidak menguntungkan dirinya. Ia akan segera mengaitkannya dengan keyakinan teologis bahwa semua yang terjadi di dunia ini. Hal baik maupun buruk, pasti atas seizinnya.

Oleh karenanya pasti ada hikmah tersimpan di balik keputusan haji ditunda/dibatalkan tahun 2020, baik disadari atau tidak disadari. Karena itu, ia akan segera bersabar dan tetap bersyukur kepada Dzat Yang Maha Menetukan segalanya. Ayat Al-Qur’an yang menjadi kunci tentang keyakinan di atas adalah firman Allah SWT.:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 216).

Penggalan awal ayat ini semula menjelaskan perintah berperang yang—sama seperti halnya pengumuman pembatalan haji tahun ini—tidak menyenangkan sebagian calon jemaah haji. Namun, di penggalan berikutnya, ayat ini bertutur tentang apa saja yang dianggap tidak menyenangkan seseorang. Maka, ayat ini menjadi pedoman dalam mensikapi sesuatu yang dianggap—karena keterbatasan pandang seseorang—tidak menyenangkan.

Perintah berperang sekilas memang tidak menyenangkan: Ada ancaman nyawa atau setidaknya cacat. Tapi, ada banyak kebaikan yang Allah simpan di balik perintah perang, sesuatu yang tidak segera disadari atau ditemukan oleh orang yang diperintah dengannya.

Tertundanya haji sekilas memang tidak menyenangkan: Ada kekhawatiran tahun depan tidak memiliki kesempatan, atau karena beban psikologis. Tapi, ada banyak kebaikan yang Allah simpan di balik penundaan tersebut, sesuatu yang tidak segera disadari atau ditemukan oleh calon jamaah haji.

Kata “asa” yang pada ayat ini diterjemahkan dengan “boleh jadi”, makna asalnya adalah “qoruba” (dekat/saat itu juga). Dengan demikian, ayat ini dapat dimaknai bahwa respons ketidaksenangan seseorang terhadap perintah berperang (atau penundaan pemberangkatan haji) bersipat spontan dan muncul sesaat begitu pengumuman disampaikan.

Inilah yang saya katakan sebagai respons spontan. Atau: perintah berperang (atau penundaan pemberangkatan haji) boleh jadi menyesakkan saat itu, tapi ke depannya pasti ada hal-hal yang justru menyenangkannya.

Kata “syay’an” (sesuatu)  adalah isim nakirah (nomina tak tertentu/umum), artinya bisa apa saja, tidak terbatas pada perang atau berita penundaan haji. Ke-nakirah-an ini sangat penting diperhatikan untuk menyimpulkan bahwa tabiat manusia bisa secara spontan menyatakan kekecewaan terhadap apa saja yang dianggapnya tidak menguntungkannya.

Ke-nakirah-an ini juga untuk menunjukkan subjektivitas seseorang dalam merespons sesuatu. Seseorang boleh jadi membenci sesuatu yang justru oleh orang lain disenanginya. Ini terkait dengan netralitas sebuah informasi/peristiwa. Menjadi baik atau buruk tergantung pada sudut pandang.

Kaidah netralitas informasi/peristiwa diperkuat oleh pernyataan “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.” Ya, ini masalah sudut pandang dan kejernihan dalam memandang. Kita benci kepada sesuatu, padahal justru disukai Allah. Dan sebaliknya.

Pangkal persoalannya adalah bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia itu amat terbatas untuk menjangkau hikmah Allah yang disimpan pada suatu peristiwa. Allah Mahatahu, sedangkan kita mahaterbatas. Atas keterbatasan ini, maka kepasrahan dan ketawakalan adalah jalan yang perlu diambil oleh siapa pun.

Baiklah, dalam literatur tafsir banyak diungkap mengenai kebaikan-kebaikan yang akan diperoleh di masa depan jika kaum muslimin menjalankan perintah berperang. Bagaimana dengan penundaan ibadah haji, apa keuntungan yang didapat?

Mari, jernihkan pikiran, shalat sunnah dua rakaat, berdoa, lalu tafakkur. Insyaallah hikmah yang Allah simpan di balik penundaan itu akan ditemukan.

Yang jelas, yang paling terpikirkan oleh siapa saja saat ini, dengan tidak jadinya ibadah haji tahun ini minimal akan terhindar dari ancaman paparan Covid-19. Selebihnya, pasti akan dirasakan dan ditemukan di masa-masa yang akan datang. Pasti. Sekali lagi pasti, karena ini bagian dari kepercayaan kita kepada takdir.

Sebagai penutup simaklah nasehat Mushthafa al-Maraghi dalam tafsirnya:

“Jika kamu menyadari akan kekerdilan ilmumu dan kesempurnaan ilmu Allah, kamu pasti akan mengetahui bahwa tidak semata-mata Allah memerintahkan sesuatu kecuali di dalamnya pasti ada kemaslahatan dan kebaikan bagimu. Maka, tetaplah melaksanakan perintah-Nya walaupun terasa berat olehmu. Sibukkanlah dirimu dengan ketaatan kepada-Nya. Abaikan dorongan tabiat dan bisikan-bisikan nafsumu.”

Demikian hikmah di balik haji ditunda atau dibatalkan pada tahun ini berdasarkan tafsir Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 216. Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.

Tulisan ini disarikan dari Gerakan Peduli Bahasa Al-Quran.

Leave a Response