Kehidupan manusia itu saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Ketika manusia membutuhkan sesuatu, maka agama Islam sangat menganjurkan supaya saling tolong menolong dalam kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Q.S. Al-Maidah ayat 2).

Dalam hal ini, tak heran bila ketika seseorang membutuhkan sesuatu, uang misalnya, ia berhutang kepada orang atau lembaga.

Ketika berhutang, antara kedua belah pihak orang yang bertransaksi terkadang menyepakati akan adanya barang jaminan. Transaksi seperti inilah yang dinamakan “gadai”.

Ketika praktiknya, barang jaminan atau yang digadaikan akan menjadi tebusan untuk melunasi hutang seseorang tersebut apabila ia tidak bisa melunasinya.

Hal ini sebagaimana definisi dari akad gadai (rahn) dalam kitab-kitab fikih, seperti yang ada di dalam kitab fathul qorib:

(فَصْلٌ)

فِيْ أَحْكَامِ الرَّهْنِ وَهُوَ لُغَةً اَلثُّبُوْتُ وَشَرْعاً جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَةٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَذُّرِ الْوَفَاءِ

Artinya: Bagian tentang hukum-hukum gadai. Gadai secara bahasa adalah tetap dan secara syara’ adalah menjadikan harta bedan sebagai jaminan terhadap hutang yang menjadi pelunasan ketika ia tidak bisa melunasinya.

Dalam konteks ini, ada beberapa masalah yang muncul, salah satunya yaitu apakah nilai barang yang digadaikan itu harus lebih mahal dari pada hutang?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, kita dapat merujuk keterangan dari Syekh Muhammad Zuhaili dalam kitab al-Mu’tamad halaman 375 sebagaimana berikut :

وَلَا يُشْتَرَطُ فِيْ الْمَرْهُوْنِ أنْ تَكُوْنَ قَيْمَتُهُ مَسَاوِيَةً لِلدَّيْنِ, فَيَصِحُّ رَهْنُ مَا قِيْمَتُهُ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ مِنَ الدَّيْنِ

“Tidak disyaratkan di dalam barang yang digadaikan itu harus sama nilainya dengan hutang, maka sah menggadaikan sesuatu yang nilainya lebih besar atau sedikit daripada hutang tersebut.”

Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai barang yang digadaikan itu tidak harus lebih mahal daripada jumlah hutang yang dipinjam oleh seseorang. Meskipun realitas yang ada di dunia transaksi gadai di Indonesia itu mustahil karena prinsip gadai adalah profit alias keuntungan. Wallahu a’lam.

Sekian. Terima kasih  semoga bermanfaat.

Topik Terkait: #Fikih#Fiqh

Leave a Response