Konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 telah memberikan jaminan dalam melaksanakan kebebasan berkeyakinan dan beragama. Pasal 29 ayat 1 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan ayat 2 berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Eksistensi individu dalam kehidupan sosial selalu terikat dengan ritus spiritual dan agama. Di Indonesia, enam agama; Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu telah diakui dan mendapatkan landasan hukum bagi setiap umatnya. Meskipun demikian, dinamika sosial baik yang bersifat internal maupun eksternal secara langsung dan tidak langsung mampu memberikan perubahan signifikan terhadap proses sosialisasi kehidupan antar umat beragama.

Sejak tahun 2012 Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Tim Peneliti Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat  secara rutin telah melakukan Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama.

Merujuk kepada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, kerukunan diartikan sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun selama kurun enam tahun terakhir (2015-2019), hasil survei KUB menunjukkan tren yang positif yakni dalam kategori kerukunan yang tinggi. Angka KUB nasional dalam lima tahun terakhir adalah, tahun 2015 (75,36), tahun 2016 (75,47), tahun 2017 (72,27), tahun 2018 (70,90), tahun 2019 (73,83), dan tahun 2020 (67,46).

Populasi survei KUB adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

Penarikan sampel menggunakan metode multistage random sampling. Dalam survei ini jumlah sampel sebanyak 1220 orang. Dengan asumsi metode tersebut, ukuran sampel 1220 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error–MoE) sekitar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional.

Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.

Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) pada tahun 2020 menunjukkan angka rata-rata nasional pada 67,46 dengan kategori tinggi, tapi menurun dibandingkan tahun lalu, yakni 73.8.

Terakhir, rekomendasi kebijakan merupakan langkah-langkah praktis bagi berbagai pemangku kebijakan untuk menjawab permasalahan yang ada.

Pertama, kondisi faktual. Sebagai bangsa majemuk, Indonesia menghadapi banyak potensi disintegrasi dan konflik di dalam masyarakat. Beberapa potensi konflik/ketidakrukunan telah memanifes di beberapa daerah berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, Kementerian Agama RI mendesain 3 Sasaran Program (SP) yang menjadi bagian dalam SS (Sasaran Strategis) 2: “Meningkatnya moderasi beragama dan kerukunan umat beragama,” yaitu: SP1 tentang menurunnya frekuensi konflik antar umat beragama; SP2 tentang meningkatnya intensitas penyelesaian konflik intra umat beragama melalui pendekatan moderasi beragama; dan SP3 tentang meningkatnya kualitas pembinaan moderasi beragama.

Kedua, analisis masalah. Survei KUB menemukan beberapa permasalahan yang cukup serius dalam empat hal utama, yaitu:

1. Prasangka Antarkelompok: Pengikut Aliran Kepercayaan, Ahmadiyah, Syiah, Komunis, Ateis, dan LGBT, merupakan kelompok yang paling tidak disukai.

2. Toleransi: Sebanyak 38% masyarakat Indonesia keberatan jika penganut agama lain membangun rumah ibadah di daerah sekitarnya dan 37% keberatan pada bupati/walikota yang berasal dari agama lain. Kemudian, umat muslim merupakan penganut agama yang paling rendah tingkat penolakannya terkait isu pembangunan rumah ibadah dan menjadi pejabat publik. Penganut Aliran Kepercayaan menjadi kelompok yang paling ditolak untuk dua isu tersebut (melebihi 50%). Secara umum, dimensi toleransi mendapatkan nilai rata-rata sebesar 64.15.

3. Kesetaraan: Sebanyak 36% masyarakat Indonesia tidak setuju bila orang beda agama dengan dirinya menjadi presiden Republik Indonesia. Dalam urusan penegakan hukum (ketika berurusan dengan polisi, misalnya), 36% masyarakat pernah diperlakukan secara tidak adil. Secara umum, dimensi kesetaraan mendapatkan nilai rata-rata sebesar 69.54.

4. Kerja sama: Ada 36% warga yang tidak mau bergotong-royong untuk menyelenggarakan acara keagamaan yang berbeda (Muslim membantu perayaan Natal, Galungan, Waisak; non muslim membantu perayaan Idul Fitri atau Idul Adha). Juga, 15% masyarakat tidak bersedia mengunjungi rumah ibadah penganut agama lain dan terlibat usaha dengan rekan beda agama.

Lebih dari 50% masyarakat Indonesia tidak pernah melakukan kontak secara langsung dengan orang yang berbeda agama. Sebanyak 83,1% masyarakat berpendapat bahwa pada umumnya kita harus sangat berhati-hati terhadap orang lain. Secara umum, dimensi kerja sama mendapatkan nilai rata-rata sebesar 68.68.

Ada beberapa faktor keagamaan yang dapat memengaruhi kerukunan, namun faktor non-keagamaan lebih berdampak, seperti kesenjangan ekonomi dan dinamika politik.

Ketiga, rekomendasi. Berikut adalah alternatif kebijakan yang dapat diambil untuk menjawab permasalahan di atas:

● Kemenag & Kemendikbud: Perlu diadakan peninjauan kembali terhadap beberapa kebijakan tentang guru, kurikulum, dan buku teks. Tentang guru, sistem rekrutmennya dibenahi dengan cara memasukkan pengukuran terkait moderasi keberagamaan berupa keputusan bersama Kemenag, Kemendikbud, Pemda, dan Kemenpan-RB. Tentang kurikulum, KI-KD kurikulum dikuatkan dengan substansi kerukunan lintas agama dan kepercayaan dengan cara memperbanyak kegiatan perjumpaan lintas iman di sekolah-sekolah. Tentang buku teks, Kemenag perlu menyesuaikan syarat isi semua buku pendidikan agama, memperkuat pengawasan dan penilaian semua buku yang diproduksi.

● Kemenko PMK: Kedeputian Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama perlu berperan lebih maksimal lagi dalam memastikan kerukunan di tengah masyarakat dengan menguatkan koordinasi dengan K/L terkait, seperti Kemenag dan Kemendikbud.

● Kemenko Polhukam: Memastikan kementerian dan lembaga negara di bawahnya, khususnya lembaga kepolisian dan penegak hukum lainnya, berlaku adil dan tidak diskriminatif ketika melakukan pelayanan publik.

● Kemenag & Kemendagri: Memaksimalkan peran FKUB di tiap daerah, Kemenag perlu menjalin koordinasi dengan Kemendagri. Kemendagri harus memastikan kebijakan-kebijakan daerah tidak bertentangan dengan semangat moderasi dan kerukunan. Pasal karet atau diskriminatif dalam, misalnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 tentang Pendirian Rumah Ibadah, perlu ditinjau ulang dan dipastikan adil bagi semua golongan, apapun agama atau kepercayaannya.

● Pemerintah Daerah: Membuat peta konflik di tiap daerahnya berdasarkan hasil survei KUB. Kemudian, Pemda perlu membangun mekanisme koordinasi terpusat. Ini dilakukan untuk mengambil langkah-langkah yang preventif dan solutif dalam penanganan berbagai potensi ketidakharmonisan dan konflik sosial di konteks masing-masing. (mzn)

Baca hasil penelitian selengkapnya: Puslitbang Kemenag

Gambar ilustrasi: Humas Pemprov Jateng

Leave a Response