Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dijelaskan secara langsung mengenai standar-standar yang harus dipenuhi agar suatu produk dapat dikategorikan sebagai produk halal. Undang-undang ini memberikan kepastian dan jaminan hukum kepada masyarakat Muslim atas kehalalan produk yang beredar di Indonesia, termasuk daging yang disembelih di Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia/Unggas (RPH-R/U) atau Tempat Pemotongan Hewan/Unggas (TPH/U).
Jumlah RPH-R/U di Indonesia masih minim. Saat ini belum setiap kota/kabupaten memiliki RPH-R/U, walaupun dalam pasal 62, UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
Peraturan perlunya kepemilikan sertifikat halal bagi juru sembelih sudah ada sejak tahun 2009 dan telah disosialisasikan oleh beberapa pihak meski belum masif. Di antaranya Fatwa MUI No. 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal dan Peraturan Menteri Pertanian No. 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant).
Diasumsikan bahwa jumlah juru sembelih yang memiliki sertifikat kompetensi, karena sudah diuji kompetensinya sangat minim. Oleh karena itu riset yang dilakukan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan untuk mengetahui peta kompetensi yang tergambar di masyarakat sangat penting.
Riset yang dilakukan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini bertujuan untuk mengetahui peta kompetensi juru sembelih di Indonesia pada tahun 2019. Kompetensi yang dimaksud adalah mengikuti keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. No. 196 tahun 2014 tentang standar kompetensi kerja nasional Indonesia kategori pertanian, kehutanan dan perikanan golongan pokok jasa penunjang peternakan bidang penyembelihan hewan halal
Keputusan menteri tersebut mensyaratkan bahwa seorang penyembelih harus mempunyai 13 kompetensi, yang meliputi: melakukan ibadah wajib; menetapkan persyaratan syariat Islam; menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja; melakukan komunikasi efektif; mengkoordinasikan pekerjaan; menerapkan higiene sanitasi; menerapkan prinsip kesejahteraan hewan; menyiapkan peralatan penyembelihan; melakukan pemeriksaan fisik hewan; menetapkan kesiapan hewan untuk disembelih; menetapkan teknik penyembelihan hewan; memeriksa kelayakan proses penyembelihan; dan menetapkan status kematian hewan.
Metode Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan sepanjang semester kedua tahun 2019 di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di RPH-R/U, dan TPH/U yang mewakili Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur.
Adapun lokasi penelitian di 8 (delapan) lokasi, antara lain: Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, DIY, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pilihan lokasi ini didasarkan pada kesepakatan hasil pertemuan dalam pembahasan Desain Operasional yang melibatkan BPJPH dan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 20-22 Februari 2019.
Penelitian ini telah dilakukan selama 12 – 14 hari pada bulan Juli tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta kompetensi juru sembelih; kondisi sarana dan prasarana; serta usaha-usaha lembaga terkait dalam membantu memenuhi kompetensi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengandalkan metode pengumpulan data, wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi. Sebagai fokus utama dari penelitian ini adalah untuk melihat kompetensi juru sembelih di Indonesia. Pengumpulan data mempergunakan teknik wawancara mendalam terhadap sejumlah informan dan key person, observasi terbatas, dan studi literatur.
Temuan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting:
Pertama, secara umum, peta kompetensi para juru sembelih di RPH-R/U yang ada saat ini masih sangat sedikit yang memiliki kompetensi juru sembelih halal sesuai Kep. Menaker dan Transmigrasi No. 196 tahun 2014 yang ditunjukkan oleh sertifikat uji kompetensi. Namun demikian, sebagian dari juru sembelih yang bekerja di RPH-R/U telah mendapatkan pelatihan, baik oleh Kementerian Pertanian melalui BBPP Malang dan NTT, serta BBPKH Cinagara, LPPOM MUI maupun perusahaan/RPH-R/U di mana para juru sembelih bekerja.
Pelatihan tersebut mendapatkan pengakuan, syariat dan teknik penyembelihan. Di lapangan ditemukan 4 (empat) klasifikasi juru sembelih, di antaranya:
1).Kompeten, dengan kriteria mempunyai sertifikat Bimtek juru sembelih halal dari LPPOM MUI dan mempunyai sertifikat profesi juleha dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP);
2).Kompeten, dengan kriteria mempunyai sertifikat Bimtek juru sembelih halal dari LPPOM MUI, namun belum mempunyai sertifikat profesi juleha dari BNSP;
3).Kompeten, dengan kriteria belum mempunyai sertifikat Bimtek juru sembelih halal dari LPPOM MUI, namun sudah mempunyai sertifikat profesi juleha dari BNSP;
4).Tidak kompeten, dengan kriteria belum mempunyai sertifikat Bimtek juru sembelih halal dari LPPOM MUI dan belum mempunyai sertifikat profesi juleha dari BNSP. Namun, kebanyakan juru sembelih yang bekerja di RPH-R/U baru pada klasifikasi No. 2 atau baru memperoleh sertifikat Bimtek juru sembelih halal dari LPPOM MUI.
Sebelum memperoleh sertifikat profesi juleha dari BNSP, juru sembelih sebelumnya telah memperoleh pelatihan penyembelihan hewan selama 7 hari di BBPP NTT atau BBPP Batu atau di BBPKH Cinagara. Pelatihan ini merupakan syarat administratif agar juru sembelih bisa mengikuti uji kompetensi selama 3 hari di salah satu balai besar dan akhirnya mendapatkan label sebagai juru sembelih halal yang berkompeten.
Kompetensi juru sembelih halal merupakan syarat penting agar RPHR/U mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai lembaga penyedia daging halal karena disembelih dengan cara halal. Dengan terpenuhinya kompetensi, maka juru sembelih merupakan pekerjaan profesi dan bukan bakat turunan, yang syaratnya dengan mengikuti
pelatihan.
Kedua, sarana dan prasarana di sebagian besar RPH-R/U belum memenuhi persyaratan, terutama di persyaratan teknis. Oleh karena itu di lapangan masih ditemukan tidak adanya tempat penyimpanan daging (daging ditempatkan di lantai, bercampur dengan darah dan debu), lokasi pendirian yang berada di tengah pemukiman, pembuangan limbah yang tidak melalui proses Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan tidak disiapkan untuk keselamatan kerja.
Kemudian juru sembelih juga kurang independen dalam melakukan penyembelihan karena sering kali diintervensi oleh jagal dalam aktivitas penyembelihan sehingga dapat mengurangi kualitas produk daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Dalam strata sosial, pekerjaan seorang juru sembelih memiliki posisi yang lebih tinggi karena dianggap memiliki pengetahuan keagamaan lebih baik serta keahlian yang disertai dengan sertifikat keahlian, namun dalam status pekerjaan mereka umumnya diperlakukan sama dengan pekerjaan yang lain yang tidak memerlukan sertifikat.
3. BPJPH, Kanwil Kemenag Provinsi maupun Kankemenag Kabupaten/Kota di 8 wilayah penelitian belum berperan secara optimal agar kompetensi juru sembelih di wilayah sasaran penelitian terpenuhi. Berbeda dengan 8 wilayah tersebut, Pemerintah Daerah baik Pemprov maupun Pemko dan LPPOM MUI di wilayah penelitian sudah berkontribusi memenuhi kebutuhan akan adanya Juru sembelih yang kompeten, walaupun masih jauh dari kecukupan.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: RRI