Generasi Muslim milenial Indonesia disebut sebut semakin “religius” di era revolusi industri teknologi 4.0 atau sering dikenal dengan istilah era disrupsi. Mereka terhubung dengan perangkat teknologi digital, dan menikmati waktu luang dengan bersosialisasi, tetapi sekaligus memiliki ketertarikan pada kehidupan keagamaan.
Hal ini ditunjukkan dengan fenomena gelombang “hijrah” yang dilakukan oleh anak anak muda dan menjamurnya kelompok kajian agama yang diinisiasi oleh ustadz-ustadz muda dan dengan target peserta juga dari kalangan anak anak muda.
Gelombang hijrah di kalangan milenial ini menuntut adanya “halal thing” yaitu produk-produk halal baik produk makanan, minuman, ataupun produk lainnya seperti fashion, perbankan, obat-obatan dan kosmetik serta aspek lainnya. Di sisi lain, anak anak muda di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan akan adanya kegemaran untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman temannya atau sekedar nongkrong di restoran atau kafe kafe.
Perilaku mengunjungi kafe ini menjadi bagian dari “tren atau gaya hidup”. Hal ini selaras dengan semakin merebaknya kafe-kafe di kota-kota besar di negara ini, bahkan pada tahun 2016 bisnis kafe atau kedai kopi di Indonesia mencapai lebih dari 10,000 gerai, dan diprediksi bisnis ini akan terus berkembang ditahun tahun yang akan datang.
Perpaduan ini menuntut adanya kafe yang menyediakan produk halal atau kafe halal sekaligus menuntut adanya penyediaan fasilitas pelengkap kafe yang sesuai dengan kebutuhan anak anak muda, seperti tempat yang nyaman untuk meeting, tempat yang instragamable, fasilitas koneksi wifi yang cepat, serta suasana yang enak untuk nongkrong dengan teman temannya.
Pengelola kafe dituntut oleh pasar muda ini untuk penyediaan produk makanan dan minuman halal. Hal ini karena mayoritas milenial di negeri ini adalah Muslim, dan kebutuhan akan kehalalan produk makanan dan minuman bagi
konsumen Muslim merupakan bagian dari keberagamaan mereka. Agama menjadi aktor penting ketika akan memutuskan membeli makanan dan mengembangkan kebiasaan makanan dari seseorang dan masyarakat.
Pengaruh agama dalam konsumsi makanan terkait dengan ajaran agama dan interpretasi orang terhadap agamanya. Di sisi lain, penyediaan makanan dan minuman halal oleh pengelola kafe semestinya merujuk kepada aturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut UU-JPH Nomor 33/2014). Pada Pasal 4 UU-JPH Nomor 33/2014 tersebut menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Dengan latar belakang di atas, Tim Peneliti yang terdiri dari Zakiyah, Joko Tri Haryanto, dan Agus Iswanto dalam program penelitian yang diadakan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kementerian Agama merilis penelitian berjudul “Kafe Halal: Identitas Agama dan Gaya Hidup Anak Muda di Era 4.0”.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, FDG melalui daring (Zoom Meeting), dan telaah sumber-sumber sekunder. Pengumpulan data lapangan dilaksanakan dalam kurun waktu Februari-Maret 2020.
Data yang dikumpulkan berupa data berkait fenomena, tren, dan model perkembangan kafe, perilaku pelanggan dan pemilik kafe, termasuk di dalamnya pengalaman dan persepsi dari pelaku bisnis kafe remaja, maupun kelompok muda yang menjadi pelanggan kafe terkait dengan kesadaran atas produk halal.
Metode lain yang dipergunakan untuk pengumpulan data adalah dengan menggunakan pertanyaan dalam google form dengan metode snowball terhadap informan yang ditemui. Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif yakni analisis deskriptif. Adapun data yang didapatkan dari google form dianalisis dengan teknis analisis kuantitatif deskriptif.
Temuan Penelitian
Tahun 2000 adalah awal mula munculnya kafe lokal “kelas mahasiswa” di luar kafe-kafe bermerek seperti Starbucks atau Exelso di Yogyakarta. Saat itu kafe tidak disebut sebagai “kafe,” tetapi disebut sebagai “warung kopi.” Kafe itu dikenal sebagai kafe “belandongan” yang didirikan oleh Nashiruddin (dikenal dengan Badrun).
Setelah kafe Blandongan sukses, lalu munculah kafe-kafe lain, seperti kafe Nusantara, Mato, dan disusul Basabasi. Sejak mulai dikenal wifi yaitu jaringan internet nirkabel, banyak kafe pun memasang wifi atau hotspot area, sehingga menjadi nilai tambah bagi konsumen.
Kafe-kafe di Yogyakarta bisa diklasifikasikan ke dalam dua tipologi besar, yakni tipologi dari harga dan konsumen, serta tipologi dari sisi komunitas. Berdasarkan tipologi harga dan konsumen, kafe-kafe di Yogyakarta bisa dikategorikan menjadi tiga, yakni, “premium,” “menengah,” dan “non premium.”
Tipe premium adalah tipe kafe yang memiliki harga tinggi, pelanggan kelas ekonomi menengah ke atas, dan biasanya menggunakan kopi dari merek yang sudah terkenal dan memiliki jaringan internasional. Tipe kafe yang kedua, yakni menengah dengan harga yang lebih murah dari tipe kafe premium, tetapi juga tidak terlalu murah.
Biasanya kafe ini memiliki jaringan lokal tetapi lebih “berkelas” dari sisi tempat yang disediakan, suasana kafe yang instagramable, sehingga pengunjung tidak hanya bertujuan minum kopi di kafe ini, tetapi juga menikmati suasana di kafe seperti live music.
Adapun tipe kafe yang ketiga adalah kafe dengan segmen konsumen di kelompok ekonomi menengah ke bawah, dan biasanya berada di sekitar kampus. Contoh tipe kafe ini adalah Kafe Basabasi, Blandongan, dan Gading Kaffe yang masih menyediakan segelas kopi dengan harga sangat terjangkau.
Dari sisi komunitas, maka kafe-kafe di Yogyakarta dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu kafe yang memiliki komunitas terbatas, dan kafe yang awalnya milik komunitas tertentu tapi kemudian meluas dan terbuka untuk semua komunitas. Tipe pertama misalnya Kafe Teras Dakwah yang menjadi bagian dari komunitas kajian kelompok muda di daerah Nitikan. Kafe jenis ini biasanya mengikuti aktivitas atau acara dari komunitasnya.
Adapun tipe kedua seperti Kafe Basabasi yang awalnya dari komunitas literasi di Yogyakarta dan berkembang dengan tetap mempertahankan ciri literasinya. Kafe Silol juga awalnya berbasis komunitas motor Harley atau motor besar yang kemudian berkembang besar dan terbuka.
Kebiasaan “ngafe” dari hasil survei google form penelitian ini menunjukkan generasi muda antara 20-25 tahun atau generasi Z dan Y merupakan konsumen kafe yang cukup besar. Generasi ini bersifat komunal dan bersosialisasi sehingga ruang temu seperti kafe menjadi lokasi favorit mereka. Sebagian besar responden “ngafe” seminggu sekali, lebih lebih dari ini bahkan bisa ngafe 2-3 kali seminggu.
Kafe menjadi gaya hidup anak muda gen Z dan Y juga sudah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian. Kafe sering kali digunakan sebagai ajang berbagi bersama teman (rapat, ngobrol, dan diskusi). Bahkan kafe juga sering digunakan sebagai tempat menjalin relasi atau reuni. Sedikit sekali kafe yang digunakan hanya semata sebagai tempat rileks atau santai. Hal itu menunjukkan bahwa kafe terkait dengan relasi sosial anak muda, sekaligus menunjukkan peran penting kafe bagi sosialisasi kelompok muda.
Terkait dengan produk halal, hampir semua (99 % dari 257) responden mengetahui bahwa ada ajaran tentang halal dan haram di dalam Islam. Mereka juga kebanyakan (83 %) mengetahui tentang regulasi produk halal di Indonesia. Akan tetapi, hanya 48 % yang pernah mengikuti kegiatan dengan tema produk halal.
Walaupun demikian, mereka peduli dengan masalah halal ini, seperti memeriksa kehalalan baik dengan melihat simbol-simbol keagamaan di kafe, membaca komposisi bahan, dan memeriksa label. Kesadaran tersebut juga terbentuk dari latar belakang responden yang sebagian besar aktivis dalam organisasi keagamaan.
Bagi mereka kehalalan menjadi identitas Islam dalam berperilaku komsumsi. Namun, data tersebut juga menunjukkan belum semua responden memiliki kesadaran, di mana hal ini perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah terkait dengan pembinaan generasi muda dan sosialisasi produk halal.
Baca hasil penelitian selengkapnya: Puslitbang Kemenag
Gambar ilustrasi: IKEA Indonesia