Pesan universal setiap agama memiliki kesamaan pada aspek kebaikan terhadap sesama. Kesamaan spirit kebaikan sosial, terutama keberpihakan kepada kaum lemah, miskin, rentan dan serba kekurangan sering kali menjadi topik utama di setiap agama.

Dalam hal memahami hal nilai tersebut seorang pemeluk dituntut peduli, santun pada orang lain, suka menolong, memiliki ketertarikan pada masalah umat, serta memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, kemudian berempati dalam keseharian.

Enam agama yang berkembang di Indonesia dan memiliki pemeluk yang cukup besar di memiliki ajaran kesalehan sosial yang beririsan satu dengan yang lain. Jika dalam Islam memiliki istilah saleh sosial sebagai ejawantah dari ibadah muta’addiyah yang menekankan pada manfaat bagi orang lain, kemudian di istilah Kristen dikenal istilah Social Piety sebagai bentuk dari Godlines (Jalan Tuhan).

Sedangkan di dalam ajaran Katolik juga dikenal Bonum Commune mengenalkan prinsip subsidiaritas, saling membantu. Di dalam agama Hindu dikenal istilah Strada dan Bakti yang menekankan pada kebaikan pada hal di luar dirinya, baik itu manusia maupun alam sekitar, seperti yang diajarkan juga dalam Tri Hita Karana.

Agama Buddha juga mengenalkan Sad Paramitha (enam perbuatan luhur), aspek kesalehan sosial dipahami pada Dana Paramitha (kedermawanan), Sila Paramitha (tidak mengutamakan diri sendiri), Viriya Paramitha (Keuletan dan Pengabdian, kemudian berikutnya adalah Prajna Paramitha (kebijaksanaan). Kesalehan sosial dalam agama Konghucu mengacu pada ajaran Kebajikan, yang dipahami melalui hubungan Manusia dengan Alam (Di), manusia dengan manusia (Ren).

Berdasarkan pemahaman umum, kesalehan ritual mestinya seiring atau berdampak terhadap kesalehan sosial. Semakin baik dan bagus ibadah ritualnya, semakin baik juga perilaku sosialnya. Tentunya pemahaman umum seperti itu jamak adanya di masyarakat kita, begitu juga dengan pemerintah menganggap adanya hubungan sebab akibat dan kesinambungan antara keduanya.

Kesalehan Sosial akhirnya menjadi satu ukuran dari keberhasilan pembangunan bidang agama, khususnya kementerian agama yang menjadikannya sebagai Indikator Kinerja Utama.

Sebagai unit kerja kementerian agama yang bertugas menyusun naskah kebijakan dari perspektif akademik, maka Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada 2019 melakukan pengukuran seberapa saleh sosial pemeluk enam agama di Indonesia.

Dalam hal ini perlu diketahui seberapa signifikan hubungan antara saleh ritual dengan saleh sosial. Kemudian perlu diketahui seberapa tingkat pengaruh program dan kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama terhadap kesalehan sosial pemeluk agama.

Dengan demikian, Survei Indeks Kesalehan Sosial tahun 2019, di samping melaksanakan tugas untuk menghadirkan data pengukuran pada Indikator Kinerja Utama terkait menjalankan misi pemahaman dan pengamalan ajaran agama, juga sebagai bahan pengambilan keputusan kebijakan pembangunan bidang agama. Tidak kalah penting juga, sebagai kerja akademik diharapkan memberikan informasi dan data tentang kesalehan sosial masyarakat Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei pada beberapa kota yang dominan pemeluk enam agama. Responden penelitian ditarik melalui teknik clustered random sampling pada 40 kabupaten dan kota di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan rancangan populasi penelitian adalah pemeluk enam agama yang cukup signifikan secara jumlah di beberapa kota Indonesia.

Jumlah responden 1.600 yang diwawancarai langsung atau mengisi jawaban pada kuesioner. Dilakukan oleh 20 koordinator penelitian, 80 surveyor, dan 3 spot checker. Analisis data menggunakan tabulasi silang dan SEM. Tingkat kepercayaan 95%, dan Margin of Error 2.1 %

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dikerjakan dalam masa waktu perencanaan teknis sampai dengan penyajian data, Juli-September 2019 diperoleh nilai sebagai berikut:

Secara nasional diperoleh nilai indeks sebesar 83.58, dengan 0 – 100, pada data tersebut angka mendekati pada nilai 100. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai kesalehan enam penganut agama di Indonesia tinggi. Adapun korelasi tertinggi terhadap nilai ‘kesalehan sosial’ adalah dimensi etika dan budi pekerti 0,740 dengan skor 88,61. Berikutnya korelasi tinggi dari dimensi ‘melestarikan lingkungan’ 0,715, meskipun skornya paling rendah sebesar 75,09.

Dimensi patuh pada aturan negara dan pemerintah memiliki skor 84,01, dengan korelasi 0,680. Relasi antar manusia (kebinekaan) memiliki korelasi tinggi juga sebesar 0,675 dengan skor dimensi yang tinggi 88,19. Adapun kepedulian sosial memiliki korelasi terhadap kesalehan sosial mencapai 0,606, sedangkan skornya memeroleh 82,04.

Beberapa faktor yang signifikan terhadap nilai kesalehan sosial di Indonesia tahun 2019, adalah kesalehan ritual (saleh individual), habituasi atau pembiasaan di lingkungan rumah, pengetahuan tentang kesalehan sosial, kemudian program dan kegiatan kementerian agama.

Nilai atau skor masing-masing faktor pengaruh sebagai berikut: 1) Kesalehan ritual, memiliki skor 81,83 dengan determinasi 0,344. 2) Habituasi, dengan skor 84,70. 3) Pengetahuan, memiliki skor sebesar 73,13. 4) terpaan kinerja Kementerian Agama, 50,08.

Beberapa aspek pengaruh yang disebutkan, kinerja Kementerian Agama memang memiliki nilai tidak terlalu tinggi, hal tersebut karena belum diarusutamakan (mainstreamed) materi tentang kesalehan sosial, terutama melestarikan lingkungan ke dalam penyuluhan dan kegiatan kementerian.

Baca penelitian selengkapnya: Puslitbang Kemenag

Gambar ilustrasi: Antara

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response