Sekitar tujuh tahunan lamanya, saya hampir tidak pernah meminum secangkir kopi. Jangankan secangkir, satu seruput kopi saja asam lambung langsung naik.

Jika asam lambung sudah naik, badan jadi lemas, mau muntah, keringat dingin dan sebagainya. Mungkin bagi sesama penderita asam lambung bisa komentar soal ini. Hehe.

Suatu hari saya bertemu Habib Ja’far Alkaf. Saat ketemu, beliau langsung berkata, “Kowe ngombe kopi ya (Kamu minum kopi ya)”.

Rasanya pengen menolak karena tahu efeknya, tapi ini perintah Waliyullah jadi tidak berani menolak. Hanya bisa pasrah.

Habib Ja’far ngendiko, “Kopine tak gawekno (Kopinya aku buatkan)”. Ya sudah pasrah. Dalam hati, habis ini harus minum obat anti asam lambung.

Beliau juga berkata lagi, “Kopi kuwi senengane wali (Kopi itu minuman kesukaan para wali)”. Beliau menambahkan, “Kowe tak ajari corone gawe kopi (Kamu aku ajari caranya bikin kopi)”.

Mulailah beliau meracik kopi. Dari mulai merebus air, membuat takaran kopi, gula serta menyiapkan cangkir. Semuanya dilakukan sendiri oleh tangan beliau yang mulia.

Nek aku sing gawe, wetengmu ga opo opo (Kalau aku yang bikin kopi, perutmu tidak apa apa).” Begitu kata beliau. Sepertinya beliau tahu kalau aku penderita asam lambung.

Secangkir kopi telah jadi. Beliau lalu memberi 2 buah pisang jenis kepok untuk dimakan terlebih dahulu. Katanya beliau, sebelum minum kopi, makan dulu pisang kepok biar asam lambung tidak naik.

Manut. Pisang kumakan. Kopi kuminum sedikit. Beliau kembali memberi perintah, “Entekke (Habiskan!!)”. Bismillah. Langsung kuminum habis. Beliau ketawa.

Kopi secangkir telah habis. Aku menunggu reaksi asam lambungku. Pikiranku, habis dari sini langsung ke apotik beli obat asam lambung.

Beliau tertawa sambil cerita cerita. Tiba-tiba beliau berseru, “Kowe tak gawekke kopi maneh (Kamu kubuatkan kopi lagi)”.

Bwuaarrrr. Rasanya ingin menolak, tapi tidak berani. Beliau kembali bikin kopi sendiri. Kopi jadi. Langsung disuruh minum habis. Dua cangkir kopi habis dalam setengah jam. Setelah didoakan kami pulang.

Di perjalanan pulang perut tidak apa apa. Ajib pikirku. Ini baru minum 2 cangkir kopi tapi tidak apa apa. Sampai rumah pun tidak apa apa. Tidak perlu minum obat. Gembira.

Besoknya mulailah bikin kopi secangkir sambil makan pisang kepok. Kopi habis. Perut mules. Mencret dan akhirnya minum obat asam lambung. Hehehe.. Ternyata, kopi racikanku tidak sehebat racikan Habibana Ja’far. Subhanallah.

Dari mulai peristiwa itu, perlahan-lahan mulai minum kopi lagi. Agar rasa tidak terlalu strong, bubuk kopi di-mix dengan susu seperti capucino atau Latte. Dan pada akhirnya sangat menyukai kopi. Beli mesin espresso dan mulailah mengumpulkan berbagai jenis kopi dari Nusantara.

Nampaknya saat beliau meracikkan kopi untukku, beliau sudah tahu bahwa suatu saat aku akan menyukai kopi dan meracik berbagai jenis kopi sendiri. Aku baru tersadar setelah beliau wafat.

Apa yang beliau katakan dan lakukan seperti terus melintas dalam ingatan-ingatanku. Terkadang ucapan dan ungkapan seorang waliyullah baru teringat setelah sang wali tersebut wafat. Semoga bermanfaat.

*Kisah ini ditulis oleh Habib Nauval Al-Muthohar Semarang, yang dikutip dari laman facebook pribadinya.

Leave a Response