Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) 95 tahun Masehi silam, pergerakan dakwah NU cenderung dari akar rumput, berangkat dari perdesaan hingga pelosok pegunungan. Founding Father NU, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi masyarakat terbesar di dunia ini bukan dari spatial kota, melainkan dari Diwek sebuah wilayah desa di kota kecil Jombang, sampai perkembanganya fokus terus dakwah di wilayah perdesaan. Maka tak salah, umat NU yang berjumlah 49,5% dari warga muslim Indonesia (±108 Juta, survei LSI th, 2019) mayoritas berasal dari warga desa.

Dakwah dari desa ini dicanangkan oleh para kiai sepuh, kiai muda maupun para pelajar NU atau akrab kita sapa dengan santri, bukanlah tanpa alasan. Mereka sadar betul masyarakat Indonesia mayoritas tinggal komunal di wilayah pedesaan, selain karena kelompoknya yang banyak, dakwah dari desa lebih mudah mengena dihati masyarakat. Hal itu karena metode dakwah NU mengaplikasikan solidaritas yang sudah ada sebelumnya di masyarakat, seperti yasinan, tahlilan, nariyahan, barzanzi dlsb.

Dalam bidang pendidikan, puluhan tahun, NU fokus membangun pendidikan tradisional, Pondok Pesantren yang murah dan terjangkau sehingga menjadi minat bagi masyarakat perdesaan. Hal ini beda dengan ormas Islam besar lainya seperti Muhamadiyah yang fokus mengembangkan pendidikan formal di mana menjangkau masyarakat urban dan perkotaan. Maka di mata internasional NU kental dengan sebutan organisasi besar Islam tradisional.

Dunia terus berkembang modernitas menjangkau setiap dimensi kehidupan, tak terkecuali di bidang keagamaan yang juga mengalami perubahan. NU yang berpondasi pada kaidah fiqih “almuhafadzotu ala khodimi sholih wal akhdu biljadidi aslah” (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik) tidak gamang dengan perubahan itu. Ketika segala dimensi profesi membutuhkan ijazah, NU mengimplementasikan dengan usulan penyetaraan ijazah Madrasah Diniyah dan Formal, dan hal itu mendapat legal pemerintah, atau sistem mu’adalah tercantum dalam keputusan Dirjen Pendis No. 4831 th. 2018.

Di samping itu, skill formal yang memang sangat diperlukan, pondok pesantren mulai menyesuaikan zaman. Saat mayoritas pondok pesantren menyediakan pendidikan formal juga. Pagi sampai siang melahap sekolah formal, sore dan malamnya melakoni pendidikan diniyah tradisional.

Hasilnya, sinergi pendidikan sekolah formal dan diniyah tradisional yang diterapkan NU sangat digandrungi berbagai kalangan masyarakat, bila mana sebelumnya pendidikan ala NU hanya relevan pada masyarakat desa, dengan adanya sinergi, masyarakat urban dan perkotaan pun ikut berbondong-bondong memondokkan dan menyekolahkan anaknya di bawah naungan NU. Entah di bawah LP Maarif NU ataupun milik Mendiknas. Sampai sekarang terhitung NU memiliki puluhan ribu pesantren dan puluhan lembaga pendidikan formal, mulai dari paud hingga perguruan tinggi.

Perkembangan media dakwah pun juga mengalami pergeseran. Organisasi kompetitor, NU juga berdakwah melalui media sosial, seperti Youtube, Instagram, Facebook hingga Telegram. Muballigh NU mengimbanginya dengan membuat akun media sosial, baik official maupun fanspage. Muballigh NU tetap mengedepankan dakwah Islam Rahmatal lil ‘alamin dan tetap mengarah pada segmen warga desa. Hasilnya mengorbitlah kiai-kiai kondang yang memiliki jutaan umat, baik di dunia nyata maupun maya sekaliber Gus Baha’, Gus Reza, Gus Qoyyum, Gus Kautsar, dlsb. Nama-nama kiai tersebut memulai dakwahnya dari pedesaan.

Setelah dikenal dan banyak jamaahnya onlinenya, masyarakat urban dan perkotaan pun pada akhirnya lari juga ke kiai/muballigh NU. Kiai-kiai Nu mulai bermunculan di televisi maupun media nasional. Prinsip NU yang memulai aktivitas dakwah dari desa benar-benar menuai sukses besar.

Berjalanya waktu, dunia internasional pun menaruh perhatian pada NU. Terbukti pada daftar 500 muslim paling berpengaruh di dunia edisi 2021, yang dirilis pada akhir tahun 2020 kemarin, terdapat beberapa kiai NU yang masuk daftar tersebut, di antaranya KH. Said Aqil Siradj (Peringkat ke-18), Habib Luthfi bin Yahya (ke-32),  KH. Musthofa Bisri, KH. Miftahul Akhyar serta KH. Ma’ruf Amin. Jika dilihat kinerjanya lagi-lagi tokoh tersebut berangkat dengan sabar berkecimpung dari perdesaan, berdakwah dari rumah ke rumah sampai puncaknya diterima oleh kalangan internasioal. Kita juga tidak lupa, pada 29 Oktober 2020 lalu, di mana mantan Wapres USA Mike Pompeo menyambangi Anshor, menjadi bukti shohih ormas ini dipergitungkan dunia.

Dalam strukturalnya, untuk menaungi warganya di luar negeri, NU memiliki Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU), dilansir dari Muslimmoderat.net terdapat 194 PCINU yang tersebar di seluruh penjuru dunia mulai dari Afrika, Asia, Eropa, Ocenia hingga Amerika, kesemuanya memiliki status hukum legal di negaranya masing-masing.

Itulah catatan sedikit mengenai NU sebuah organisasi yang lahir dari desa, dikembangkan oleh orang desa dan pada akhirnya diikuti dan diakui warga dunia. Dari NU kita bisa belajar setiap perkara yang di mulai dari bawah akan menuai kesuksesan dengan catatan tetap mengikuti perkembangan global supaya tidak tertinggal. Wallahu a’lam.

Leave a Response