Di surat bertanggal 18 Agustus 1899, kepada E. H. Zehandelaar atau Stella sang karib dari negeri Belanda (Sulastin Sutrisno, 2014), Kartini menulis kegemasannya sebagai perempuan yang bertubuh di Jawa. Perempuan serba tertata dan manut, yang bisa juga mengartikan kemanutan dalam berpikir.

“Kalau anak perempuan berjalan, maka ia harus melakukannya dengan perlahan-lahan. Dengan langkah pendek-pendek dan sopan, aduh perlahan-lahan sekali seperti siput. Kalau ia berjalan lebih cepat, maka ia dicaci maki diibaratkan kuda berlari.” Pembebasan pemikiran harus dimulai dari peristiwa menggelisahkan tubuh atas nama adat. Usia 12 tahun dalam pingitan memang tidak memungkinkan kaki Kartini melangkah secara harfiah ke mana saja.

Kartini memiliki kaki yang terikat pada adat, tapi terselamatkan oleh berkah buku, majalah, bahasa Belanda, dan tulisan. Kepada hal-hal itulah, Kartini memasrahkan diri dan mengembara secara imajinatif. Gagasan tentang buku dan bacaan adalah satu dari sekian tindak emansipatif yang entah  gaungnya akan muncul atau tidak di momentum pengingatan Kartini 21 April. Terutama perempuan yang ibu dan anak, lebih mengingat Kartini dalam visualitasnya berkebaya.

Kartini memikirkan anak-anak sebelum menjadi ibu. Pemikiran Kartini memberikan pendidikan bagi perempuan pun pada akhirnya demi menghidupi jiwa anak-anak. Kita mengingat nota Kartini (1903) berjudul “Berikan Jawa Pendidikan!” yang ditujukan kepada Menteri jajahan A.W.F. Idenburg. Dri Arbaningsih pernah melampirkan nota ini di buku Kartini dari Sisi Lain (2005). Kartini melihat sekolah sebagai tempat yang bisa untuk memberikan bacaan, tidak hanya pelajaran. Bacaan akan membentuk kepekaan batin dan rasa kebangsaan.

Kartini menulis, “Di antara buku-buku pelajaran sebaiknya dimasukkan buku-buku bacaan, yang memberikan pandangan yang jelas mengenai bumi, bangsa, adat kebiasaan, keadaan di Hindia. Bukan karangan-karangan kering semata-mata ilmiah, melainkan bacaan yang mengasyikkan, sebagaimana yang sangat digemari anak-anak, dan yang memuat pengetahuan yang baik mengenai negeri-negeri yang bagus…”

Kartini menyadari keterbatasan yang juga dialami sebagai perempuan Jawa. Gagasan sekolah oleh Kartini tidak hanya cukup menjadi tempat untuk mendapat pelajaran umum, tapi juga buku-buku. Kartini berkeinginan membawa modernitas yang terjadi lewat buku bacaan. Anak-anak akan mengalami penjelajahan dan rasa ingin tahu bertumbuh lewat buku. Kita mungkin bisa beranggapan bahwa Kartini memang perempuan awal yang berhasil memegang buku-buku. Huruf tidak mendiskriminasinya sebagai perempuan dan seorang Jawa.

Kesadaran bacaan ini tentu turut dipengaruhi oleh pertautan Kartini saat mengalami pingitan. Kartini kecil terpenjara dan tidak bisa menikmati lagi masa bersekolah. Namun, kotak bacaan ayah Kartini yang berisi buku, koran dan majalah dari dalam dan luar negeri menjadi teman bagi Kartini. Bacaan bertema sosial, politik dan sastra mengisi dan mematangkan pemikiran Kartini. Kesempatan ini bisa dikatakan keberuntungan bagi Kartini mengingat ayah Kartini seorang ningrat berpikiran modern (Majalah Tempo, 22-28 April 2013).

Huruf dan Gambar

Di buku garapan Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja (2003) digambarkan juga bahwa Kartini berkeras menghimpun dongengan dan nyanyian. Kartini mengungkapkan hal ini sebagai ejawantah nilai keindahan dan kebangsaan. Gagasan ini tampil atas perkenalan Kartini dengan dunia Barat.

Di surat kepada Nyonya Nelly van Kol bertanggal 20 Agustus 1902, Kartini menulis, “Kala seorang inspektur pengajaran Pribumi meminta kepada kami menulis cerita-cerita kecil dari kehidupan kanak-kanak Pribumi buat bacaan anak-anak Pribumi, yang akan dihiasi dan diterbitkan seperti buku-buku bergambar. Tak sedikit pun kami menduga, waktu kami menulis cerita-cerita ini, bahwa kami akan jadi gerakan mulia di Nederland sendiri: memberikan bacaan yang mendidik bagi kanak-kanak…”

Gagasan menulis cerita, dongeng, dan nyanyian ini membuat pikiran Kartini meletup-letup. Ada kebijaksanaaan, kebenaran dan menulis menjadi cara Kartini mengenal jiwa sesama. Kartini juga mengatakan, “kerja menghimpun dongengan-dongengan itu membawa kami berhubungan dengan berbagai orang, dan ini memberikan kepada kami kenikmatan besar karena dapat mendengarkan pikiran-pikiran mereka.”

Kartini tidak hanya berpikir tentang huruf. Ada gambar-gambar mengiringi setiap cerita yang tercetak. Kartini sudah beranjak dari kisah-kisah lisan yang amat mungkin pernah didengar oleh anak-anak di Jawa. Mereka harus beranjak dari lisan ke cetak dan memiliki buku serupa hak hidup yang mulia. Kita memang sulit untuk mendapatkan himpunan bacaan yang dibuat Kartini. Pramoedya mengatakan bahwa pekerjaan ini tidak jelas sampai dimana. Kartini tidak menulis laporan lanjutan. Dan kita tahu, Kartini cepat berpulang dalam limpahan gagasan-gagasan yang belum utuh terwujud.

Namun, kita mendapat semacam serpihan impian Kartini dalam Pengabadian Pahlawan Kemerdekaan Nasional Ibu Kartini (1969) oleh pemerintah Kabupaten Rembang. Buku ini semacam menjadi arsip resmi daerah mengukuhkan ketokohan Kartini. Di halaman awal ada sambutan dari bupati Rembang saat itu, S. Hadisanjoto, yang menegaskan maksud, “Untuk kelengkapan pengabdian ini, Panitia menganggap perlu menerbitkan sebuah buku ,,Pengabadian Pahlawan Kemerdekaan Nasional Ibu Kartini”, jang dihimpun dari berbagai sumber, baik dari bagian buku-buku jang sudah terlebih dahulu diterbitkan maupun dari para keluarga, sekedar untuk dapat diketahui mengenai perikehidupan dan perdjuangan Ibu Kartini.”

Panitia menuliskan riwayat singkat, kata-kata “bermutu, dan Kongso (cerita wayang purwo) garapan Kartini (1902). Sayangnya, hanya satu cerita ini saja yang terhimpun, entah tidak ditemukan atau Kartini memang belum melanjutkan rintisan menulis cerita. Serpihan ini mungkin sempat memantik penasaran seperti apa Kartini menulis cerita atau bacaan (anak) di saat ia lebih dikenali menulis dengan serius dan dipenuhi gugatan yang liris lewat surat-suratnya.

Di bacaan pengangkut petuah, penjelajahan, kultur, dan kegembiraan, terbayang Kartini kecil menenteng buku-buku. Anak-anak pribumi itu melihat Kartini dan tanpa sadar berharap turut memegang dan memiliki buku. Atau ketika Kartini mengajar, mulutnya selalu menyuarakan cerita yang menyalakan mata-mata anak pribumi. Di tubuh Kartini, gagasan-gagasan bermunculan; cerita, bacaan, dan buku. Limpahan huruf-huruf yang ada tidak sekadar dibaca tuntas. Buku-buku mengesahkan anak untuk membebaskan kaki menjelajah.

 

Leave a Response