Tahun 2019 merupakan akhir pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Agama periode 2015-2019. Dalam Renstra Kementerian Agama 2015-2019 tujuan pembangunan agama dengan leading sector-nya Kementerian Agama, mencakup 7 (tujuh) hal, yaitu: (1) Peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama; (2) Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama; (3) Peningkatan pemanfaatan dan kualitas pengelolaan potensi ekonomi keagamaan; (4) Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama; (5) Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah; (6) Peningkatan dan pemerataan akses dan mutu pendidikan agama dan pendidikan keagamaan; dan (7) Peningkatan kualitas tata kelola pembangunan bidang agama.
Sebagaimana terbaca di atas, pada poin ke lima, tujuan pembangunan agama salah satunya adalah peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Untuk mendukung pencapaian ini Direktorat Jenderal Kementerian Agama terus melakukan intervensi kebijakan dan program penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Terhadap pelaksanaan penyelenggaraan haji, setiap musim haji tahun berjalan berakhir, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh/PHU selalu melakukan Rapat Kerja Nasional Evaluasi Penyelenggaraan Haji.
Undang-undang No. 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh mengatur secara detail tentang penyelenggaraan ibadah umrah. Namun sebelum UU tersebut diimplementasikan terdapat sejumlah kasus aktual yang memerlukan kebijakan penyelesaian, antara lain kesiapan dan respons masyarakat terutama PPPIU terhadap digitalisasi umrah.
Oleh karena itu, kajian dengan tema tersebut menjadi strategis agar dapat dijadikan sebagai basis pengambilan kebijakan bahkan mungkin juga pembacaan terhadap UU 8 tahun 2019 yang belum mengakomodir masalah tersebut. Kajian tersebut berkisar pada “ Digitalisasi Penyelenggaraan Ibadah Umroh oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU)”.
Metodologi Penelitian
Pada penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini, ada 3 (tiga) isu besar yang dikaji dan dijadikan sebagai kasus, yakin haji, umrah dan produk halal. Ada beberapa kriteria atas kasus yang dikaji. Pertama, merupakan kasus yang mendapatkan perhatian publik secara luas, tercermin dari liputan media massa dan daring.
Kedua, karena kasus ini mendapatkan perhatian publik, maka menuntut agar pemerintah dapat segera menerbitkan kebijakan publik atau intervensi program yang berbasis pada hasil kajian tersebut. Kajian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan kedalaman data. Para pihak yang dijadikan sebagai sumber data adalah mereka key informan yang mengetahui detail peristiwa pada kasus tersebut.
Temuan Penelitian
1. Penelitian Haji dan Transformasi Sosial Pertama; status sosial haji, meskipun masih merupakan status yang terhormat, namun sudah mengalami desakralisasi status. Haji tidak lagi status yang eksklusif yang terbatas pada kalangan sosial ekonomi tertentu, tetapi juga menjadi bagian dari status masyarakat secara umum. Dengan demikian status haji tidak hanya menunjukkan pada derajat sosial yang istimewa tetapi menjadi sebutan yang umum (pasaran) yang biasa digunakan umat Islam siapa saja sepanjang mereka memenuhi atribut sebagai haji, baik secara simbolik seperti pakaian dan perilaku yang mencerminkan sikap seorang haji.
Kedua, bertambahnya jumlah jamaah haji mendorong pada semakin beragamnya latar belakang karakter dan kapasitas pengetahuan para jamaah haji. Hal ini menjadikan proses bimbingan haji lebih terfokus pada aspek kognitif mencakup pengetahuan tentang tata cara ibadah haji. Ini didasarkan karena jamaah pada umumnya memiliki pengetahuan yang relatif terbatas terkait dengan ritual haji ini. Karena itu, jika melihat bimbingan yang didesain oleh pemerintah dan pihak KBIH lebih menyasar pada penguatan kapasitas kognitif untuk mengingatkan pemahaman pada aspek ritual saja.
Sebagai konsekuensinya, maka pembentukan pemahaman yang substansial dari haji sebagai ibadah yang berdimensi sosial kurang mendapat perhatian. Terlebih lagi pembentukan kesadaran yang bersifat substantif dari ibadah memerlukan proses yang berkelanjutan dan waktu yang lama. Dengan melaksanakan haji dalam waktu yang terbatas maka proses mendapatkan kesadaran substantif seperti kesalehan sosial menjadi cukup berat untuk ditumbuhkan dalam waktu yang singkat.
Ketiga, perlu adanya upaya untuk mensyiarkan pandangan ibadah yang berdimensi ritual-spiritual kepada ibadah yang bersifat transformatif. Proses bimbingan manasik haji dapat diarahkan pada sudut perspektif empirik-sosial untuk menemukan maknanya dalam kehidupan sosial. Hal ini dilandasi dengan ajaran Islam yang mengutamakan kehidupan sosial, maka kesalehan sosial sebagai parameter kesalehan keberagamaan perlu dibangun. Maka upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan penguatan bentuk ajaran keagamaan ke dalam praktik yang bernilai sosial dan merupakan kesadaran kesalehan sosial.
2. Respons Masyarakat Muslim terhadap Mandatory Sertifikasi Halal di Provinsi Bali 1) Secara umum tingkat pemahaman komunitas muslim di Bali terhadap produk halal bervariasi. Adanya perbedaan dalam memahami produk halal dipengaruhi dari berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, religiusuitas dan keterlibatan mereka dalam mengikuti kajian keagamaan. Sebagian masyarakat masih memahami halal dari adanya tulisan halal dalam bahasa Arab dan bukan babi, belum sampai pada pemahaman halal juga sampai cara pengolahannya bahkan cara pemotongannya pun harus benar.
2) Respons masyarakat muslim terhadap pemberlakuan mandatory sertifikasi halal sangat antusias dan sudah lama mereka tunggu. Hal ini terlihat dari keinginan masyarakat bahwa semua produk yang beredar terjamin kehalalannya dan mendukung diberlakukannya mandatory sertifikasi halal.
3) Perilaku konsumsi masyarakat muslim terhadap produk halal cukup tinggi. Hal ini terlihat dari pola konsumsi mereka yang cenderung untuk membeli makanan yang memiliki sertifikasi dan label halal cukup tinggi.
3. Pembinaan Haji dan Peran IPHI
Jemaah haji yang telah kembali ke masyarakat membutuhkan pembinaan pasca ibadah haji secara lebih intensif. Pembinaan pasca ibadah haji untuk memelihara haji mabrur yang jumlahnya sangat besar di Indonesia perlu peran dari berbagai unsur baik dari pemerintah (Kementerian Agama), pemerintah daerah, ormas keagamaan, tokoh agama dan eran aktif masyarakat penyandang haji. (mzn)
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: Tempo