Suara takbir menggema di seluruh penjuru langit, menembus awan, menjelajah jagat alam. Tak sedikit para hati  tergerak untuk melangkahkan kaki menuju ke tempat di mana ia bisa berhadap. Dan sangat banyak hati yang tertutupi oleh sekat-sekat.

Lima kali setiap harinya takbir itu menggaung di bawah langit dan memecahkan kehiruk pikukan dunia yang ternyata penuh nista. Sebut saja Imron, laki-laki tua yang pertama kali membawaku ke ruangan besar, dindingnya penuh dengan ukiran kaligrafi, banyak tiang yang berdiri kokoh, ada kubah besar tepat berada di atasku.

Aku digelar dengan seksama oleh Imron, ketika diriku sudah terbaring lurus, kutoleh disamping kanan kiri, banyak kawan sama terbaring lurus denganku. Woow, berarti diriku berada di tempat yang istimewa, nyatanya aku banyak menjumpai kawan-kawan dengan berbagai warna dan corak. Pada kali pertama aku dibawa sosok hamba Allah ke rumah ibadah yang megah itu.

Tak terbayangkan olehku sebelumnya. Aku mencoba memperkenalkan diri pada kawan-kawanku yang senasib, sebenarnya aku tak tahu namaku siapa, yang jelas aku seringkali dijuluki sang sajadah merah, karena warnaku memang merah. Ya, merah yang menyala, dan harapan besarku adalah siapapun yang memilikiku, kapanpun itu bisa menyalakan semangat untuk menghadap Sang Pencipta.

Aku teringat, dulu, dulu sekali, Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu memanfaatkanku dengan baik. Tidak cukup lima kali diriku digelar di atas tanah, tapi lebih dari itu. Meskipun seringnya aku dibawa ke surau kecil dan sangat sederhana oleh Imron, tapi kekhusyu’an doanya membuatku jauh lebih damai dibanding aku dibawa ke tempat yang megah dan penuh ukiran seni tapi tak kurasakan kekhusyu’an di sana.

Dulu, dulu sekali, aku senang sekali jika Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu membawaku serta dalam doa, senandung Al-Qur’an, dan dzikir malamnya. Ah, hal itu yang sangat kurindukan. Meskipun pada malam hari seringkali diriku terbasahi oleh air mata si laki-laki tua itu.

Justru hal itu membuat sejuk diriku meski kadang kurasakan dingin yang sangat, karena sepanjang malam diriku dibiarkan terbaring lurus. Kau memang kadang tak peduli dengan keadaanku kala itu, karena kau sibuk sekali mengayunkan tasbih kayumu Imron.

Aku teringat lagi, dulu, dulu sekali, kau Imron si laki-laki tua yang taat beribadah hanya akan mencuciku jika memang bauku sudah tak sedap lagi. Sebenarnya itu membuatku kesal, bagaimana tidak? Seharusnya aku dicuci paling tidak sebulan sekali, biar aku bisa merefreshkan diri untuk selalu kau ajak dan kau bawa untuk menghadap sang pencipta. Hemm, harusnya kau lebih memperhatikan itu dulu. Ah, sekarang kekesalan itu hanya sebuah kenangan yang tak akan terulang lagi.

Sekarang, aku hanya bisa mengingat kenangan itu, andai saja aku diciptakan dengan kedua mata, aku akan cucurkan air mata sebanyak-banyaknya, andai saja aku diciptakan dengan satu mulut, aku akan teriak sekeras-kerasnya, andai saja aku diciptakan dua kaki yang mampu berjalan, aku akan lari sekencang-kencangya untuk kembali ke masa di mana aku bersama Imron, si laki-laki tua yang taat beribadah itu.

Aku merindukan momen-momen yang seharusnya aku alami, bukan di balik kayu balok yang pengap ini, yang hanya ada cahaya lilin untuk menyinari ruang kecil, sesak kurasakan. Aku ingin menampakkan diri, tapi bagaimana aku bisa tampak? Tumpukan kain di atasku setiap hari semakin banyak, dan semakin menutupi diriku yang terlanjur kusam. Dan hal itu semakin hari membuatku semakin berat untuk menyanggah kenyataan ini.

Terkadang aku merintih melihat keadaanku sekarang. Dulu, bicara dulu lagi, ketika Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu meninggalkan aku sendiri, keadaanku masih bagus, masih layak untuk dimanfaatkan, masih fresh dan wangi meski hanya bau-bau itu saja. Ah, mengingat itu membuat rinduku semakin membuncah pada suasana damainya menghadap sang pencipta dan dzikir yang dalam.

Aku tidak seperti laki-laki tua yang taat beribadah itu, yang selama nafasnya berhembus, dia bisa melakukan ritual yang mendamaikan jiwa, pikiran dan raga itu. Aku hanya benda mati yang menjadi saksi laki-laki tua yang taat beribadah itu melakukan kewajibannya sebagai hamba Allah. Sebenarnya aku masih bisa bersaksi untuk orang lain, tapi apa daya, aku terlanjur diasingkan di balik kayu balok yang pengap ini, yang hanya ada cahaya lilin untuk menyinari ruang kecil, sekali lagi sesak kurasakan.

Kali ini tidak hanya sesak karena tempat yang pengap, tapi sesak karena kerinduan yang dalam dan harus menerima kenyataan yang pahit ini. sudah sekian lama aku terkurung di sini, sesekali aku diajak dan di bawa oleh seorang laki-laki muda yang gagah dan tampan, serta berpakaian yang bagus dan rapi ke tempat yang penuh dengan kebisingan, meski ada sayup-sayup suara takbir.

Boro-boro setiap hari lima kali aku dibawa, hal itu tidak setiap hari, setiap minggu atau bahkan setiap bulan, tapi hanya setiap tahun. Setiap tahun pun aku tak selalu diajak oleh laki-laki muda itu. Ketika aku diajak dan dibawa ke tempat yang sesak dengan manusia, entah tempat ibadah atau tidak, aku tak bisa membedakan. Tapi aku yakin itu tempat ibadah karena aku melihat kubah besar di atasku.

Aku teringat dulu, dulu sekali diajak Imron ke tempat yang tak jauh berbeda dengan tempat yang sekarang kulihat ini. ya, meski sekali aku diajak Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu ke tempat seperti ini, aku ingat betul, kenangan itu tersimpan baik. kujumpai kawan-kawanku lagi yang penampilannya jauh lebih menarik dariku, kusapa kawan senasibku, kuperkenalkan diri dengan menyebutkan julukanku sang sajadah merah.

Mereka tertawa, mereka menganggapku tua dan kusam, mereka mengaggapku tak layak di tempat seperti itu. Ah, hal itu seharusnya membuatku sedih dan malu, tapi aku abaikan ejekan mereka terhadap diriku.

Takbir, takbir, suara takbir yang lama tak kudengar, terdengar di tempat aku diajak oleh laki-laki muda itu. Ah, andai aku diciptakan punya satu hati, aku pasti meluapkan perasaan bahagia dan sedihku kala itu. Tapi, tapi, suasana doa dan dzikir kala itu, tak kurasakan damai seperti dulu ketika aku bersama Imron si laki-laki tua yang taat beribadah, suasana doa dan dzikir itu tak sekhusyu’ dulu aku bersama Imron. Ah, itu sama saja buatku, keluar atau tidak keluar dari kayu balok yang pengap itu.

Tapi itu membuat diriku sedikit terhibur. Karena laki-laki muda itu kadang memberikan aku dengan semprotan minyak yang wangi sekali, hal itu lebih baik dari Imron si laki-laki tua yang taat beribadah itu, hanya memberiku minyak wangi yang baunya itu-itu saja. Tapi hanya sebatas itu, tak lebih. Aku bahkan tak mengenali siapa nama laki-laki muda yang sesekali mengajakku keluar itu.

Ah, tak lama aku di ajak laki-laki muda itu, aku dilipat lagi dan kembali ke dalam kayu balok yang pengap itu. Sekarang, kayu balok itu menyaksikan kenyataan pahit yang aku terima. Itu semua keluhku “sang sajadah merah” yang sudah kusam dimakan waktu, karena tak ada yang memanfaatkan aku seperti dulu, dulu sekali.

Leave a Response