Konon antara Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin ada rasa sentimen. Keduanya tidak mau saling menyapa. Setiap kali mendengar orang lain menyebut nama Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri merasa tidak suka.
“Jangan sebut nama orang yang berjalan dengan lagak sombong itu di hadapanku,” Kata Hasan al-Bashri.
Hingga akhirnya, pada suatu malam Hasan al-Bashri bermimpi seolah-olah ia sedang bertelanjang di kandang binatang sambil membuat sebatang tongkat. Pagi hari ketika ia bangun merasa bingung dengan mimpinya itu.
Tiba-tiba ia ingat bahwa Ibnu Sirin yang kurang ia sukai adalah orang yang pandai menafsirkan mimpi. Merasa malu dan gengsi bertemu sendiri, ia lalu meminta tolong seorang teman dekatnya.
“Temui Ibnu Sirin. Dan ceritakan mimpiku ini seakan kamu sendiri yang mengalaminya,” Pesan Hasan al-Bashri.
Teman dekat Hasan al-Bashri itu segera menemui Ibnu Sirin. Begitu selesai menceritakan isi mimpi tersebut, Ibnu Sirin langsung berkata:
“Bilang pada orang yang mengalami mimpi ini, jangan ia menanyakan kepada orang yang berjalan dengan lagak sombong. Kalau berani suruh ia datang sendiri kemari.”
Mendengar laporan yang disampaikan temannya ini, Hasan al-Bashri kesal. Ia bingung, dan merasa tertantang. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia memutuskan untuk bertemu langsung dengan Ibnu Sirin. Ia tidak peduli dengan rasa malu atau gengsi.
“Antarkan aku kesana.” Kata Hasan al-Bashri.
Begitu melihat kedatangan Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin langsung menyambutnya dengan baik. Setelah saling mengucap salam dan berjabat tangan, masing-masing lalu mengambil tempat duduk yang agak berjauhan.
“Sudahlah, kita tidak uasah berbasa-basi. Langsung saja, aku bingung memikirkan dan menafsirkan sebuah mimpi,” Kata Hasan al-Bashri.
“Jangan bingung,” Balas Ibnu Sirin.
“Telanjang dalam mimpimu itu adalah ketelanjangan dunia. Artinya, engkau sama sekali tidak bergantung padanya karena engkau memang orang yang zuhud. Kandang binatang adalah lambang dunia yang fana itu sendiri. Engkau telah melihat dengan jelas keadaan yang sebenarnya. Sedangkan sebatang tongkat yang engkau buat itu adalah lambang hikmah yang Anda katakan, dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”
Sesaat Hasan al-Bashri terkesima. Ia kagum pada kehebatan Ibnu Sirin sebagai ahli penafsir mimpi, dan percaya sekali pada penjelasannya.
“Tetapi bagaimana engkau tahu kalau aku yang mengalami mimpi itu?” Tanya Hasan al-Bashri.
“Ketika teman engkau menceritakan mimpi tersebut kepadaku, aku berfikir, menurutku, hanya engkau yang pantas mengalaminya.” Jawab Ibnu Sirin.