Saat itu aku sedang terbaring di suatu Rumah Sakit, mengidap suatu penyakit. Dokter memvonis umurku hanya bertahan sampai sekitar 6 bulan mendatang.
Aku belum bisa membuka mataku, hanya saja aku merasa di sekitarku ada seseorang yang mendampingiku, setia berada di samping ranjangku. Dia beranjak hanya ketika akan ke kamar mandi, dan salat.
Aku bisa merasakan apa yang dia lakukan, aku bisa mendengar apa yang dia katakan, meskipun tidak jelas apa itu kalimatnya.
Awalnya aku tak bisa mengenali wajahnya. Namun, saat dia membaca Al-Qur’an dengan tetap di sisi kananku, aku mulai mengenali suara siapa itu. Fatih.
Dia tidak sendiri, aku juga merasakan ada sosok seorang perempuan yang suaranya pun makin lama tidak asing. Seperti suara Putri, temanku, teman baikku.
Namun, suara Fatih yang lebih mendominasi di ruangan ini. Dia yang lebih sering ada di samping dipanku.
Yang ganjal adalah mengapa suara dan bau tubuh tunanganku sama sekali tidak bisa aku rasakan, dan mengapa yang ada malah dua orang itu?
Dalam suatu detik, Fatih menyadari bahwa aku tengah terbangun, ia cepat-cepat menyelesaikan ayat yang sedang dilantunkan. Lalu kalimat shadaqallahul ‘adzim pun bisa kudengar.
Senyumnya mengembang. Yang semula aku enggan memikirkan mengapa hanya dia dan putri yang ada di sini, tiba-tiba sekarang aku ingin sekali mempertanyakannya.
Hanya saja mulutku mendadak gagap. Lalu dia mendahului berucap, “Alhamdulillaah…sudah, tidak usah banyak omong dulu. Tidak usah mikir apa-apa dulu. Aku panggilin suster, ya?”
“Bagaimana bisa dia langsung mengomel padaku?” seketika batinku menggerutu.
Yang aku bisa lakukan hanyalah menggeleng, sebagai jawaban agar Fatih tidak perlu memanggilkan suster, dan untungnya dia paham.
“Tadi kamu pingsan di kafe, ingusmu keluar tapi warnanya merah…”
Itu bukan ingus, Gusti… Ingin sekali aku menjawab.
“…terus baristanya menelponku. Untung saja hapemu tidak sedang terkunci. Katanya nomorku di urutan pertama frequently recented atau yang sering kamu hubungi.”
“Astaghfirullaah! Ember banget si baristanya.” Umpatku dalam pikir.
“Sebentar, kok bisa? Aku masuk daftar yang sering kamu hubungi dan di urutan pertama pula.”
Istighfar lagi nggak tuh, Fatih tersadar sama info tidak penting yang disampaikan si barista. Lalu entah apa yang dia lakukan. Fatih cepat-cepat membuka aplikasi WhatsApp.
“Untungnya enggak bertepuk sebelah tangan,” kata Fatih sambil memperlihatkan bahwa namaku juga menjadi orang pertama yang paling sering dia hubungi.
Ya, memang kenyataannya seperti itu. Kami sering berkomunikasi, mulai dari membahas hal remeh sampai berdebat mengenai hal temeh. Begitulah, intinya kami berusaha berteman dengan baik. Hanya saja kadang aku butuh memvalidasi diriku sendiri bahwa kita hanya berteman.
Perasaan senang macam apa ini?! Tidak bermutu! Apakah dia tidak berpikir mengapa bukan nama tunanganku yang menjadi urutan pertama di WA-ku?
Ah sudahlah. Ingin sekali aku bertanya apakah keluargaku sudah diberi tahu? Apakah tunanganku sudah ada di perjalanan menuju ke sini? Nasib anak perantauan yang mempunyai kekasih dengan status LDR memang susah. Merepotkan orang lain yang ada di sekitarku saja.
“Aku sudah menelepon Kangmasmu, dia juga sudah mengabari keluargamu”.
Mengerti juga dia apa yang ingin aku tanyakan. Kangmas pula ia menamai tunanganku.
“Keluargamu terlalu jauh kalau mau ke sini, mereka mempercayakanmu pada Kangmasmu. Nah, dia mempercayakanmu padaku hehe..”
Ingin sekali aku mengomel, tapi hanya wajahku saja yang bisa mengutarakan perasaanku. Bisa-bisanya tunanganku menyuruh Fatih untuk menjagaku, kenapa nggak ada cemburunya sama sekali?
“Haha…nggak usah khawatir, Kangmasmu nanti sore sudah sampai sini. Tenggarong ke Balikpapan butuh 2 jam setengah perjalanan”
Fatih menatapku lamat-lamat.
“Oh ya, boleh nggak sambil menunggu Kangmasmu aku mau ngomong serius dulu sama kamu”
“Sambil nunggu Putri juga, dia lagi keluar membelikanku makan siang.”
Aku merasakan hawa tegang seketika. Raut wajah Fatih juga mendukungku untuk mengangguk dan mencegah untuk tertawa sementara. Ia pun melanjutkan kalimatnya setelah melihatku mengangguk.
“Sekitar tiga bulan yang lalu saat kamu tiba-tiba pingsan seperti tadi. Kangmasmu menceritakan semua apa yang dikatakan oleh doktermu. Aku juga tidak bertanya mengapa dia sebegitu percayanya padaku menceritakan suatu keadaan krusial yang kamu alami. Ingin sekali rasanya berterima kasih pada Kangmasmu yang sudah memberitahuku. Mungkin kalau aku tidak diberi tahu, sekarang aku masih kekeh dengan keinginanku dan enggan mengatakan hal ini padamu.”
Fatih berhenti sejenak, aku belum bisa menangkap apa yang akan diomongkannya.
“Ta, makasih ya. Bagaimanapun kamu adalah perempuan satu-satunya yang bisa mengertiku yang bisa aku ajak diskusi ringan sampai berat. Perempuan yang bisa mengerti candaanku. Perempuan yang memahami apa kesulitanku. Perempuan penampung segala bahagiaku. Perempuan yang melapangkan kasihnya demi sedihku. Perempuan yang mana aku bisa menjadi diriku sendiri. Perempuan yang…”
Dia menunduk, isaknya di sisi ranjang kananku bisa aku dengar.
“…benar benar membuatku merasa dibutuhkan di dunia ini.”
“Ta…aku bahagia jika kau mengizinkanku untuk merampungkan..menuntaskan apa yang sudah aku rasakan selama ini.”
Entah apa maksudnya, aku hanya ingin mengangguk saja.
“Bolehkan aku melanjutkan kalimatku?”
Aku mengangguk lagi.
“Ta, entah kapan aku mulai tersadar kalau ternyata Tuhan telah mengizinkan aku mencintaimu. Walau Tuhan memberi amanah kepada orang lain untuk memilikimu…”
“Tidak mengapa, aku…mencintaimu…”
Tanpa bisa aku kontrol, air mataku pun ikut menetes mendengar pengakuannya. Ternyata usahaku mencegah mempunyai rasa lebih dari teman, telah runtuh seketika.
“Ta! Bangun Ta…”
Kaget. Aku segera terbangun dari tidurku, dan semua itu bukan nyata.
“Kamu mimpi apa Ta? Sampe nangis pula…”
Putri, teman kamarku sekaligus salah satu perempuan yang mendambakan Fatih.
Ya, entah mengapa beberapa perempuan suka dengan gaya Fatih yang bagiku biasa-biasa saja.
Namun, aku juga tidak bisa memungkiri kalau memang Fatihlah yang selama ini orang yang aku kagumi. Nyaman, satu keadaan yang belum bisa aku temukan selain di dirinya. Aku bersyukur, hanya dengan akulah Fatih bersedia membagi keluh kesahnya.
Apa arti mimpiku tadi, aku masih belum tahu. Apakah itu cara Tuhan untuk memberikanku perasaan lega, karena ternyata perasaan yang aku pendam dari dulu ke Fatih tidak bertepuk sebelah tangan. Ia pun mencintaiku pula.
Aku tidak mungkin meninggalkan kekasihku. Beliau adalah orang yang dipilihkan dan dipercaya orangtuaku untuk menjagaku kelak. Kekasihku, orang yang akan mengemban tanggung jawab atasku setelah dicatat oleh penghulu.
Aku sadar.
-Tuhan mengizinkan kita saling jatuh cinta, walau hanya dalam mimpi semata-