Relasi suami-istri harus dilandasi atas asas kebaikan dan kepatutan. Relasi ini harus dibangun di atas sikap saling memperlakukan secara baik antara kedua pihak. Sebab, sikap ini merupakan etika yang fundamental dalam membangun rumah tangga, pun berfungsi menjaga dan menghidupkan segala kebaikan yang dirasakan bersama oleh kedua pihak. Allah swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (Q.S. An-Nisa’ : 19)
Ayat ini memiliki semangat untuk mengangkat kembali martabat perempuan. Terlebih lebih pada potongan ayat “وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ“ yang berarti perintah untuk memperlakukan istri dengan patut. Imam Al-Zamakhsari dalam kitab tafsir al-Kasysyaf (1/491) menjelaskan bahwa mu’asyarah bil ma’ruf secara umum ditafsirkan “berlaku adil dalam hal tempat tinggal dan nafkah, serta memperhalus tutur kata”.
Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (4/302) menafsirkan mu’asyarah bil ma’ruf sebagai berbicara bagus, memperbaiki perilaku dan penampilan, serta berperilaku adil dalam hal nafkah dan tempat tinggal.
Kata عَاشِرُو tak lain merupakan derivasi dari kata الــمُعاشَرَةُ yang memiliki fungsi musyarakah (kesalingan), sehingga penggunaan kata muasyarah dalam ayat ini menurut Wahbah Az-Zuhaili mengusung semangat kesetaraan, sehingga perintah untuk mu’asyarah bil ma’ruf tidak hanya berlaku untuk pihak suami, pun pihak istri juga wajib meneguhkan prinsip ini.
Kata “ma’ruf” dalam ayat ini merujuk pada segala tindakan dan perbuatan yang dianjurkan oleh agama, diterima oleh akal normal dan tidak bertentangan dengan nilai moral serta kepatutan umum. Maka mempersulit pemberian nafkah, segala bentuk kekerasan fisik maupun verbal, memasang wajah cemberut kepada pasangannya merupakan sebagian dari hal yang menafikan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf dalam pernikahan. (Tafsir al-Manar:4/374)
Jelas sikap di atas jauh sekali dari keteladanan Nabi saat berinteraksi dengan keluarga beliau, di saat Nabi Muhammad tidak sungkan bergaul dengan keluarganya dengan baik, selalu memasang wajah ceria, bersikap lemah lembut kepada mereka, sesekali juga bersendau gurau, membuat istri-istri beliau tertawa, bahkan mengadakan lomba lari dengan Aisyah sebagai salah satu bentuk ungkapan kasih sayang.
Dikaji dari pendekatan kebahasaan (thuruq lafdziyah), kata عَاشِرُوْا dalam ayat di atas menggunakan bentuk kata amr (kata kerja perintah). Dalam suatu kaidah fikih disebutkan bahwa hukum asal dalam perintah adalah wajib, dengan syarat tidak ditemukan dalil nash lain yang mengatakan hukum lainnya, seperti sunah dan mubah. Dalam ayat di atas, terdapat perintah untuk menggauli pasangannya dengan patut.
Dan berdasarkan kaidah di atas, perintah ini memiliki muatan hukum wajib. Sebab belum ditemukan dalil lain yang menunjukkan pada hukum lainnya. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah juga menegaskan bahwa menggauli istri dengan cara patut, yaitu dengan tidak mengganggu, tidak memaksa, dan berbuat baik adalah kewajiban seorang suami.
Mafhum mukhalafah dari perintah tersebut ialah jika suami tidak memperlakukan istrinya secara baik menurut tuntunan agama, moral dan kepatutan umum, maka hukumnya haram dan mendapatkan dosa dari Allah swt. Jadi potongan ayat ini mengandung larangan bersikap secara tidak patut terhadap pasangan.
Memang ayat ini turun untuk menolak apa yang terjadi di masa jahiliyah, yaitu para suami memperlakukan istri mereka dengan buruk, seperti berkata kasar kepada istri mereka dan melakukan tindakan yang berakibat buruk kepada mereka. Maka tak heran Muhammad at-Tahir Ibnu ‘Asyur ketika menafsirkan ayat ini menegaskan:
“Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut” berarti larangan untuk memperlakukan mereka dengan buruk. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 4:287)
Dalam sudut pandang bacaan mubadalah yang digagas oleh Faqihuddin Abdul Qodir, ayat ini memang menggunakan struktur bahasa laki-laki (mudzakkar) karena secara sosial laki-laki yang relevan dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki, biasa melakukan melakukan pemaksaan terhadap perempuan, mewarisi tubuh mereka, menghalangi, dan mengambil harta mereka.
Ayat ini menuntut mereka untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut, seraya mengajak untuk membiasakan berperilaku baik kepada perempuan (istri). Substansi ini juga berlaku bagi perempuan. Sehingga, para perempuan juga dilarang melakukan pemaksaan terhadap laki-laki, menghalangi dan merampas harta. Begitu pula ayat ini menuntut perempuan untuk berperilaku baik kepada laki-laki (suami). Dengan demikian, kebaikan harus dihadirkan dan sekaligus dirasakan oleh kedua pihak.