Gaya bicaranya datar, diksi yang dipilihpun begitu hati-hati. Tiap kata seperti sudah melewati tahap koreksi. Intonasi ketika bicara apa adanya, dengan tatapan teduh ia menyampaikan tiap gagasannya dalam berbagai forum.

Di balik keteduhan itu, tak ada yang menyangka bahwa ia pernah bertungkus lumus menyelesaikan sebuah naskah akademik yang yang cukup menantang. Yaitu disertasi bertajuk: Argumen Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an.

Laki-laki itu adalah Nasaruddin Umar, seorang cendikiawan yang hari-hari ini kita mengenalnya sebagai Imam Besar Mesjid Istiqlal Jakarta. Nasar, panggilan akrabnya memang dikenal sebagai cendekiawan teduh. Larut dalam sufisme hingga ia kemudian menjadi Imam Besar Mesjid kenamaan. Tetapi fakta tak pernah melupakan bahwa ia pernah menulis tema berat, yaitu tentang pendasaran kesetaraan gender dalam al-Qur’an.

Karya yang diajukan sebagai syarat kelulusan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu dibimbing langsung oleh maestro tafsir dunia, Prof. Quraish Shihab, MA. Untuk menyelesaikan karya itu, Nasar berkeliling dunia, mengunjungi berbagai perpustakaan besar sekadar mencari literatur. Ia berkunjung ke Amerika Serikat, Prancis dan United Kingdom sekaligus bertemu sarjana-sarjana barat mendiskusikan karya tulisnya itu.

Nasaruddin Umar dilahirkan di Ujung Bone, Sulawesi 23 Juni 1959. Ayahnya bernama Andi Muhammad Umar dan ibunya bernama Hj. Bunga Tungke. Sementara kakeknya bernama Muhammad Ali Daeng, yang dikenal sebagai pendiri gerakan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan. Dari titik ini, disimpulkan bahwa Nasaruddin lahir dalam keluarga ulama dan pecinta ilmu pengetahuan. Nasar sendiri tidak menampik bahwa guru utama ketika ia masih kecil adalah keluarganya sendiri.

Setelah itu ia belajar di Pesantren al-As’adiyah kemudian melanjutkan pendidikan di IAIN Alauddin Ujung Pandang. Gelar Master dan doktornya diselesaikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sering mengikuti pertukaran pelajar dan dosen seperti di McGill University, Leiden University, dan Paris University. Ia juga sering mengunjungi beberapa perpustakaan dunia seperti di Belanda, Belgia, Italia, Ankara, Istanbul, dan Saudi Arabia.

Berbagai jabatan dan aktivitas pernah diamanatkan kepada Nasar. Ia pernah menjadi wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen di perguruan tinggi yang sama, dosen Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Departemen Pemberdayaan Sosial dan Perempuan ICMI, Anggota Komnas Perempuan, Staf Pengajar Bidang Kajian Wanita, Ketua Program Studi Agama dan Perempuan Pascasarjana UI dan lain sebagainya. Dan hari ini ia diamanati untuk menjadi Imam Besar Mesjid Istiqlal Jakarta, menggantikan posisi Kiai Ali Mustofa Ya’qub, seorang pakar hadis kenamaan di Indonesia.

Sebagai akademisi, ia menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi di menulis beberapa karya tulis ilmiah. Seperti: Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif al-Qur’an, Teologi Gender; Antara Mitos dan Teks Kitab Suci, Bias Gender dalam Penafsiran, dan Kodrat Perempuan dalam Islam, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminim, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan al-Hadistd.

Nasar tidak menampik bahwa ada beberapa penafsiran terhadap ajaran agama, baik yang dipahami dari al-Qur’an maupun al-Sunnah yang bias gender. Dalam amatannya, penafsiran itu bisa terjadi disebabkan banyak hal. Ia menulis sekitar empat penyebab penafsiran yang demikian itu lahir.

Pertama, belum jelasnya definisi sex dan gender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan. Kedua, pengaruh kisah-kisah isra’iliyat yang berkembang luas di timur tengah. Ketiga, metode penafsiran yang selama ini dipakai masih banyak terkontaminasi penafsiran tekstual bukan penafsiran kontekstual. Konsekuensinya, justru banyak penafsiran agama yang dijadikan justifikasi ketidakadilan gender. Keempat, absennya netralitas pembaca atau penafsir dalam menilai ayat-ayat al-Qur’an. Jadilah al-Quran dianggap memihak salah satu dari dua jenis kelamin dan al-Qur’an dianggap melanggengkan praktik relasi yang tidak adil.

Untuk melerai perdebatan, Nasar menyebut antara sex dan gender memiliki perbedaan yang sangat diametral. Gender, sebagaimana ia tulis dalam disertasinya, digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya.

Sementara sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakii-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Dalam konteks ini, istilah sex lebih berkonsntrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik lainnya.

Gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologi lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/insa’iyah) seseorang. Jadi dalam titik ini, pembicaraan terkait kesetaraan gender tidak terkait dengan hal-hal biologis.

Nasar berpandangan, al-Qur’an memberikan argumen kesetaraan gender, baik untuk laki-laki dan perempuan. Ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisis prinsip-prinsip kesetaraan gender. Hal tersebut meliputi:

Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Penciptaan manusia memiliki tujuan agung, yaitu untuk menyembah kepadanya. Hal ini tercermin dalam firman Allah Swt.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku”

Dalam pandangan Nasar, dalam kapasitas sebagai hamba Allah, laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama, yaitu sama-sama menyembah kepada Allah Swt. kompetisi menjadi hamba yang baik, dalam ayat lain justru parameternya adalah ketakwaan bukan jenis kelamin. Firman Allah Swt.:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al-Hujarat [49]: 13)

Memang harus diakui, ada beberapa ayat yang menjelaskan kekhususan-kekhususan bagi laki-laki misal seorang suami posisinya lebih tinggi dari istri ( Qs. Al-Baqarah [2]: 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (Qs. Al-Nisa’ [4]: 34), laki-laki memperoleh bagian warisan lebih banyak (Qs. Al-Nisa [4]: 11), laki-laki saksi efektif (Qs. Al-Baqarah [2]: 282), dan diperkenankan poligami bagi yang memenuhi syarat.

Namun demikian, ayat-ayat di atas tidak secara otomatis menyebabkan laki-laki menjadi hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat al-Qur’an turun.

Dalam kapasitas sebagai sesama hamba Allah Swt. laki-laki dan perempuan pengharagaan yang sama sesuai nilai pengabdiannya. Disebutkan dalam al-Qur’an:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Qs. Al-Nahl [16]: 97)

Leave a Response