Judul : How To Stop Time (Cara Menghentikan Waktu)
Penulis : Matt Haig
Penerjemah : Lanny Murtihardjana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2020
Tebal : 400 Halaman
ISBN : 978-602-06-18798-1
Dilansir media Tempo.co (06/01), pada tanggal 9 Maret 2019 lalu, Guinness World Records menobatkan Tane Tanaka sebagai manusia tertua di dunia. Seabad yang silam, ia lahir pada 1902, dan kini usianya 117 tahun. Usia perempuan Jepang itu lantas menjadi simbolik tingginya populasi lansia di Negeri Sakura, sebuah ironi mengingat angka kelahiran di negara itu tiap tahunnya turun secara signifikan. Sejalan dengan pemberitaan itu, novel karya Matt Haig ini pun dibuka perihal manusia dengan umur panjang di dunia. Bahkan, melebihi usia Tanaka.
Namanya Tom Hazard, ia lahir pada tahun 1581, dan kini usianya 439 tahun. Pria ini sudah hidup empat abad lebih, dari zaman Renaissance, Victoria, sampai modern atau abad ke-21. Bagaimana menjadi manusia dengan usia selama itu? Di novel inilah pembaca dapat menemukan jawabannya. Di dalamnya, Matt Haig mengisahkan perjalanan hidup Tom Hazard dengan perentangan waktu kilas balik. Berkelindan dengan narasi utama Tom saat ini. Atau, singkatnya, menggunakan alur-maju mundur yang tertib, sebab dijelaskan zaman dan tahun terjadinya fragmen kehidupan Tom tersebut.
Perlu diketahui sebagai pengenalan umum, bahwa kondisi manusia Tom Hazard bukanlah kondisi biasa. Keadaan itu langka. Di novel, orang-orang berusia panjang seperti Tom disebut sebagai manusia Albatros, yang kelak disingkat saja sebagai orang-orang Alba. Dijelaskan olehnya di halaman 12, kondisi ini tidak ada dalam jurnal medis resmi mana pun, atau memiliki istilah resmi. Hanya dokter ternama di tahun 1890-an yang mengenali kondisi ini dan menyebutnya “Anageria”. Tahun-tahun setelahnya, nama itu tetap tak dikenal umum, masyarakat Albatros menjaga privasinya sebaik mungkin dari keterlibatan dunia luar, sebab mereka menganggap, manusia biasa atau yang oleh mereka disebut Mayfly, berpontensi membawa bahaya kepada mereka: Dijadikan objek penelitian.
Atas alasan itulah, terang kemudian, kehidupan Tom Hazard menyaru menjadi beragam identitas tiap delapan tahun sekali. Ada apa dengan delapan tahun? Tom tidak tahu pasti, ia hanya menuruti ketua perkumpulan masyarakat Albatros, Hendrich, yang berkata rentang waktu delapan tahunlah yang pas untuk berganti identitas. Dari narasi ini, barangkali pembaca mengendus kebosanan kisah yang hanya melulu ihwal masyarakat aneh nan tak masuk akal dan lanturan pria tua berusia beradab-abad lamanya. Namun, senyatanya, novel ini sungguh kaya baik dari segi kekayaan pengetahuan penulis, kisah yang komplit, sampai permainan emosi yang dirangkai subtil dalam narasi menenangkan.
Mari tengok fragmen kehidupan Tom Hazard tahun ini, ketika usianya 439 tahun. Ia memilih identitas sebagai guru sejarah di Oakfield School, London. Dalam perkenalannya, Tom mengaku berumur empat puluh satu tahun, dan tidak ada yang meragukan hal itu mengingat wajahnya memang mengisyaratkan usia empat puluhan. Di usianya inilah, titik perubahan dalam diri Tom didedahkan kemudian. Masa kini dalam novel menjadi tonggak utama kisah, untuk selanjutnya menyingkap tahun-tahun lampau demi melengkapi fragmen kehidupan Tom Hazard dalam hidup empat abadnya itu. Dalam narasi masa kini ini, Tom masih membawa misi yang sama: Mencari putrinya, Marion.
Bagaimana cara menghentikan waktu? Pertanyaan filosofis ini senantiasa hidup dalam diri Tom. Hidup berabad-abad lamanya tidak menjadikan pria ini terbebas dari keinginan mengakhiri hidup. Pun, ia mempunyai problem lain dalam dirinya, yakni krisis identitas, ia masih belum menemukan jati dirinya secara utuh. Namun, ia terikat dengan sesuatu, ada beberapa hal yang menahannya supaya tak bunuh diri. Sesuatu inilah yang menjadi alasannya untuk terus melanjutkan hidup, mengarungi zaman, mencecap beragam pengalaman mulai dari bekerja untuk Shakespeare sampai ikut pelayaran Kapten Cook. Tak pelak lagi, sesuatu ini mewujud tiga orang penting dalam hidupnya: Sang ibu; Rose alias istrinya; dan Marion, putrinya. Dua orang dalam hidupnya sudah meninggal, tapi Marion, menurut penuturannya di halaman 46, kemungkinan masih hidup sampai sekarang.
Terang kemudian, pembaca akan dihadapkan kisah Tom beserta usahanya dalam mencari putrinya itu. Dan, selama pembacaan, walaupun narasi acap terjebak dalam racauan narator yang cenderung panjang, tetapi ini bisa dimaklumi sebab bagaimanapun, Tom adalah orang yang sudah tua. Bukahkah sudah karakter manusia berusia lanjut yang gemar berkisah panjang lebar dan suka melantur? Untungnya, lanturan tokoh utama ini tidak serta-merta terjebak dalam upaya yang membosankan, atau sesuatu yang berlarat-larat tanpa isi. Tidak, novel ini tidak menunjukkan kecenderungan tersebut.
Dari segi kisahnya pun, novel sedari awal menunjukkan bobot yang tak biasa. Konflik dalam hidup tokoh sudah didedahkan di halaman awal, bahwa sebagai Orang-orang Alba, khususnya Tom, jatuh cinta kepada perempuan adalah hal yang terlarang. Tentu aturan ini belum berlaku semasa hidup Tom dengan istrinya dahulu, Rose, mengingat saat itu ia belum tergabung dengan perkumpulan. Namun, Tom kini sudah menjadi bagian dari masyarakat Alba, dan mau tak mau, ia terikat dengan beragam aturan di dalamnya. Soal ini pun menjadi problem dalam hidup Tom, sebab di Oakfield School, ia rasanya kembali jatuh cinta setelah empat abad sepeninggal istrinya tak mengalami perasaan itu. Seorang guru bahasa Prancis bernama Camille, menarik perhatiannya.
Atas semua hal itu, maka tak berlebihan bila membaca novel ini sungguh sebuah pengalaman yang kompleks. Ibarat membeli paket makanan, di dalamnya terkandung macam-macam rasa: Suka dan duka, marah dan gemas, serta benci dan lega. Narasi Tom juga kerap terbaca cerdas, ia melemparkan pemikiran unik dalam memandang waktu dan kehidupan. Bahwa dalam hidup ini, ada banyak hal yang perlu dimaknai sehubungan dengan cinta, kisah asmara, keputus-asaan, dan optimisme untuk terus melanjutkan hidup. Dan, apabila tengah terjebak dalam kondisi yang berat, sedang kita ingin menghentikan waktu, cara terbaiknya adalah dengan berhenti dikuasai olehnya. Kita perlu menentukan pilihan sebagai manusia yang bebas.