Kita belum beranjak dari sosok perempuan hebat bernama Umi Sa’adah Muslih. Karya beliau yang akan kita ulas ini adalah kitab berjudul Durratu Al-Fawaid. Kitab ini menjelaskan tauhid, khususnya sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya (aqaid seket), kasidah burdah, kasidah manakib Syekh Abdul Qodir Jailani, kasidah untuk ziarah kubur, dan keutamaan membaca beberapa shalawat serta doa-doa.

Kitab Durratu Al-Fawaid ini tipis, hanya 41 halaman. Ditulis dengan aksara arab berbahasa Jawa (arab pegon) dengan font yang besar. Seperti karya-karya Umi Sa’adah lainnya, kitab ini ditulis tangan, bukan dengan ketikan komputer. Yang menarik, Umi Sa’adah memulai kitab ini dengan membubuhkan satu syair yang apabila dibaca dengan istikamah tiga kali setelah shalat fardhu bisa menghindarkan kita dari penyakit mata.

Berikut bunyi syair tersebut:

يا ناظري بيعقوب اعيذ كما # مما استعاذ به اذ مسه الكماد

قميص يو سف اذ جاء البشير به # بحق يعقوب اذهب ايها الرمد

Ya Nadzirayya bi ya’qubi u’idzukuma//mimma asta’adza bihi idz massahu al-kamadu

Qamishu Yusufa idz ja a al-basyiru bihi//bi haqqi Ya’quba idzhab ayyuha ar-ramadu

Selain syair obat mata di atas, Umi Sa’adah juga menuliskan doa ketika melihat atau mendengar petir dan “shalawat hajjiyah”. Kita tidak tahu mengapa beliau membuka kitab ini dengan doa-doa tersebut, tetapi kita bisa meraba-raba: Mungkin kitab ini ditulis bersamaan dengan meruyaknya penyakit mata, ketika cuaca sering hujan dan banyak petir, di musim haji.

Atau kemungkinan lainnya penyertaan tiga doa di atas berkaitan dengan keluhan masyarakat terhadap Umi Sa’adah. Dengan kata lain, penyertaan ketiganya adalah respons beliau terhadap permintaan-permintaan tersebut. Bukan sesuatu yang aneh, sebab selama hidup beliau memang sering dimintai doa. Kalau ada santri putri di Mranggen yang “ketulangan” peniti jilbab, misalnya, biasanya mereka meminta air kepada Umi Sa’adah.

Di awal pembahasan tentang tauhid, Umi Sa’adah menyebutkan sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah dan Rasul-Nya beserta artinya. Tidak ada penjelasan detail mengenai sifat-sifat tersebut. Hanya dijelaskan sepintas. Namun yang sangat menarik adalah adanya syair berbahasa Jawa tentang sifa-sifat Allah dan Rasul.

Syair sebanyak 28 bait ini sangat memudahkan orang yang sedang belajar ilmu tauhid, khususnya yang sedang menghafalkan sifat-sifat wajib Allah dan Rasul. Berikut ini adalah bait pembuka syair tersebut:

Nyebut ing Allah ingsun ngawiti//Alhamdulillah syukur ing Gusti

Rohmat lan salam katur Njeng Nabi//serta keluarga sahabat Nabi

Ayo dulurku pada ngertiya//menungso iku makhluk kang mulya

Tugase nyembah marang pendara//supaya slamet lan bahagiya

(menyebut Allah saya mengawali//Alhamdulillah syukur kepada Tuhan

Rahmat dan salam terucap kepada Nabi//serta keluarga sahabat Nabi

Ayo saudaraku ketahuilah//manusia itu makhluk yang mulia

Tugasnya menyembah kepada Tuan (Allah)//supaya selamat dan bahagia)

Dalam syair tersebut Umi Sa’adah berpesan kepada pembaca untuk mengetahui bahwa tugas manusia adalah menyembah Allah atau beribadah. Ini selaras dengan Surat Adz-Dzariyat ayat 56, “wa ma khalaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’buduni.” Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.

Ketika menjelaskan sifat wajib dan wujud, Umi Sa’adah menulis: Wajibing Allah rong puluh werna//Kang dingin wujud ma’nane ana (sifat wajibnya Allah itu ada dua puluh (20) macam//yang pertama adalah ‘wujud’, artinya ‘ada’. Demikian seterusnya sampai selesai pembahasan.

Setelah membahas aqaid seket, Umi Sa’adah kemudian menuliskan kasidah tentang Syekh Abdul Qodir Jailani. Di kalangan penganut tarekat, khususnya Qadiriyah, nama Syekh Abdul Qodir Jailani menduduki tempat tersendiri. Kisah hidup (manaqib) beliau biasanya dibaca setiap malam tanggal 11 bulan hijriyah.

Kasidah Syekh Abdul Qodir yang terdapat dalam kitab Durratu Al-Fawaid ini hanya terdiri dari sebelas bait dan lebih berisi doa-doa tawasul ketimbang kisah hidupnya. Kasidah ini berbeda dengan kasidah yang terdapat dalam kitab manakib Syekh Abdul Qodir Jailani lain. Meski demikian belum diketahui apakah kasidah ini murni gubahan Umi Sa’adah atau bukan.

Umi Sa’adah kemudian menuliskan kasidah yang biasa dibaca sebelum ziarah kubur. Dalam pembahasan ini beliau memberi catatan kaki dengan mengutip kitab Hamisy Al-Fatawi Al-Kubra dan kitab Sa’adat Ad-Daraini (hanya dua kitab ini yang secara eksplisit disebutkan oleh Umi Sa’adah). Beliau menandaskan bahwa bertawasul kepada Nabi itu ada landasan hukumnya. Bukan sesuatu yang bidah.

Bagian paling tebal dari isi kitab ini adalah pembahasan mengenai macam-macam shalawat dan faidahnya. Ada paling tidak dua puluh lima (25) shalawat yang dituliskan Umi Sa’adah dalam akhir kitab ini. Beberapa shalawat di antaranya sudah familiar seperti shalwat “Thibbi Al-Qulub” dan “Nur Al-Anwar”.

Ada juga shalawat “Thariqah li Al-Istighatsah” yang biasa dibaca dalam event-event organisasi tarekat, dalam kitab ini. Sayangnya beliau tidak memberi keterangan siapa penyusun shalawat ini.

Kita tidak bisa mengetahui kapan kitab ini selesai dituliskan, sebab Umi Sa’adah tidak menyertakan kolofon. Kitab ini, seperti kitab-kitab Umi Sa’adah yang lain, hanya dicetak oleh Koperasi Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak. Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Response