Ayat 1 sampai 5 dalam Surat Al-‘Alaq disebutkan oleh banyak mufassir sebagai wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad. Surat yang diawali dengan ayat Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaqa itu juga memiliki beragam tafsir, terutama berkaitan dengan makna Iqra’.
Para mufassir Al-Qur’an mempunyai pendekatan dan penjelasan yang berbeda-beda tentang kata Iqra’. Adapun makna Iqra’ (إِقْرَأْ) menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2005: 392-394) yakni diambil dari kata kerja qara’a (قَرَأَ) yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila melalukan aktivitas merangkai kemudian mengucapkan huruf atau kata, maka rangkaian tersebut berarti membaca.
Jadi, perintah membaca dalam Iqra’ tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan. Membaca di sini tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.
Dalam banyak kamus, terdapat aneka ragam arti dari kata qara’a, antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya. Semua arti tersebut bermuara pada arti menghimpun.
Ayat di atas tidak menyebutkan objek bacaan. Malaikat Jibril as. ketika itu tidak juga membaca satu teks tertulis, dan karena itu dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bertanya: ma aqra’ (مَا أَقْرَأَ) yang artinya “apakah yang saya harus baca?”
Beraneka ragam pendapat ahli tafsir mengenai objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat berupa wahyu-wahyu Al-Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu Al-Qur’an ketika dia turun nanti.
Ada juga ahli tafsir yang berpendapat bahwa objeknya adalah ismi Rabbika sambil menilai huruf ba’ yang menyertai kata ismi sebagai sisipan. Sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah.
Akan tetapi, jika artinya demikian, mengapa Nabi Saw. menjawab: “Saya tidak dapat membaca.” Seandainya yang dimaksud adalah perintah untuk berdzikir, tentu Nabi tidak menjawab seperti itu karena jauh sebelum datang wahyu Nabi telah senantiasa melakukannya.
Muhammad ‘Abduh, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, memahami perintah membaca di sini bukan sebagai beban tugas yang harus dilaksanakan (amr taklifi) sehingga membutuhkan objek, tetapi ia adalah amr takwini yang mewujudkan kemampuan membaca secara aktual pada diri pribadi Nabi Muhammad Saw.
Pendapat Abduh ini dihadang oleh kenyataan bahwa setelah turunnya perintah ini pun Al-Qur’an masih tetap menamai Nabi Muhammad saw. sebagai seorang ummy (tidak pandai membaca dan menulis). Di sisi lain, jawaban Nabi kepada Jibril ketika itu, tidak mendukung pemahaman tersebut.
Quraish Shihab menganalisis bahwa dalam suatu kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.”
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra’ digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya. Oleh karena objeknya bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau. Objek tersebut bisa berupa bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik itu menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Dengan demikian, perintah iqra’ dalam ayat 1 surat Al-‘Alaq dalam pandangan Quraish Shihab mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak. Wallahu a’lam.