Bentuk ketidakadilan keempat, yang menjadi ranah ruang kritik Fakih, adalah kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan karena perbedaan gender. Kekerasan di sini meliputi kekerasan fisik seperti pemerkosaan, pemukulan hingga kekerasan dalam ranah yang lebih halus seperti pelecehan seksual (sexual harassment) dan penciptaan ketergantungan. Banyak kekerasan terjadi hanya karena disebabkan gender tertentu.
Kelima, beban ganda. Perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan yang menanggung beban ganda dan beban kerja. Tradisi dan anggapan perempuan yang menjaga dan memelihara kerapian tersebut mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa perempuan harus bertanggung jawab penuh atas pekerjaan-pekerjaan domestik.
Kelima manifestasi ini satu dengan yang lainnya saling terkait. Kedatangan Islam, sebut Fakih, justru untuk mengubah pradigma pandangan-pandangan sosial terhadap perempuan. Misal disebut bahwa perempuan di zaman jahiliah diberlakukan sedemikian buruk dan hina.
Perempuan tak ubahnya komoditi, bisa diperjualbelikan. Bahkan tradisi yang mengakar begitu kuat adalah bentuk kekerasan pada perempuan pada zaman dulu. Tradisi menguburkan bayi perempuan secara hidup-hidup adalah bentuk kekerasan (violence) yang sesunguhnya. Masyarakat Arab merasa malu jika harus memiliki anak perempuan. Impilkasinya; mereka menguburkan anak perempuannya hidup-hidup.
Dalam varian yang lain bentuk sikap merendahkan kaum perempuan pada waktu itu adalah terbaca dalam tradisi perkawinan mereka yang sifatnya possesive. Mereka juga tidak membatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Dalam artian, laki-laki pada waktu itu diperkenankan berpoligami tanpa batas.
Islam dalam tataran teoritik sebenarnya hendak membebaskan perempuan dari belenggu-belenggu jahiliyah tersebut. Islam memberi konsepsi hubungan manusia, dalam hal ini laki-laki dan perempuan, secara adil dan beradab. Perempuan juga memiliki hak sebagaimana kaum laki-laki.
Dalam ranah ekonomi misalnya, perempuan diperkenankan memiliki harta kekayaan, ayah atau suami tidak diperkenankan mencampurinya. Baik harta tersebut diusahakan sendiri atau perolehan dari maskawin ketika pertama kali terjadi pernikahan. Dan maskawin itu diberikan sekaligus menjadi hak perempuan. Bukan diambil alih orang tuanya.
Dalam titik ini, sebut Fakih, Islam sedang menumbangkan sistem sosial yang tidak adil. Dengan demikian, tidak bisa disebut Islam apapun yang memiskinkan (marginalisasi), diskrimintif-merendahkan (subordinasi), serta melanggengkan kekerasan (violence), terhadap kaum perempuan. Sebab hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan paham keadilan yang diusung oleh Islam.
Lantas, persoalan utama yang muncul: dari manakah pikiran, keyakinan, tradisi atau bahkan tafsir keagamaan yang dianggap mendukung posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki? Jawabannya bukan lain adalah konstruksi sosial dan tafsiran yang seringkali muncul sebagai suatu jawaban terhadap problem sosial dari satu ayat pada saat itu. Maka, tulis Fakih, segenap hal yang melanggar prinsip keadilan harus didekonstruksi.
Pada akhrinya, pemikiran Fakih hendak menegaskan kembali bahwa secara prinsip dan normatif Islam menghargai dan bahwa memberdayakan kaum perempuan. Namun dalam masyarakat, terjadi konstruksi gender yang menyebabkan kaum perempuan didiskriminasi. Ketika demikian, usaha yang penting dilakukan adalah merekonstruksi hubungan gender dalam Islam secara lebih adil.
Memperjuangkan posisi kaum perempuan seperti yang disuarakan Fakih sama sekali bukanlah memperjuangkan mereka melawan laki-laki. Memperjuangkan mereka lebih kepada perlawanan kepada sistem. Sebab penindasan, diskriminasi kepada perempuan bukanlah disebabkan laki-laki tetapi lebih kepada masalah sistem.
Mansour Fakih bisa disebut pemikir gender Islam di Indonesia generasi awal. Darinya kemudian banyak ditimba rancang bangun dan arah gerakan gender di Indonesia. Banyak pemikir setelahnya terinspirasi dari Fakih. Ciri khas Fakih adalah kemampuannya mengintegrasikan kutub intelektual dan kutub pergerakan. Ia pintar melemparkan wacana juga mengawalnya di lapangan nyata.