Masyarakat Kei Maluku dan Moderasi Beragama Berbasis Hukum Adat
Kondisi kerukunan yang tinggi, sebenarnya menyebar merata di seluruh Nusantara. Mulai dari provinsi Aceh sampai dengan Papua Barat, skor kerukunan pada kisaran 60–80, yang secara kategorik dapat dikatakan tinggi. Dalam memahami skor kerukunan itu juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi keberagamaan yang moderat, dengan tidak mengurangi keyakinan pada agamanya, kemauan untuk bertenggang rasa pada pemeluk agama lain sebagai modal kehidupan bersama yang sangat berharga.
Namun di sisi lain, ketidakrukunan juga tak dapat dielakkan bagi setiap masyarakat. Misalnya, peristiwa kerusuhan Ambon tahun 1990-an, dengan jumlah korban sekitar 5000 jiwa; sekitar 500.000 orang mengungsi. Ketika konflik Ambon terjadi, Kepulauan Kei juga mengalami dampak cukup masif, beberapa desa sampai saling serang, korban jiwa diperkirakan juga mencapai puluhan orang. Hanya saja peristiwa di Kepulauan Kei lebih cepat dipadamkan. Peran tetua adat, para raja bahu membahu dengan tokoh agama, memadamkan bara permusuhan. Hal itu menjadi peringatan bagi para pemangku adat, bahwa Kei rentan konflik, meskipun telah lama diikat oleh adat.
Peristiwa di atas cukup menyadarkan masyarakat Kei untuk kembali kepada elemen hidup Bersama di Kei. Sumpah adat kembali dilakukan untuk menguatkan relasi kekerabatan dan rasa persaudaraan (Larvul Ngabal). Akan tetapi, menjadi suatu pertanyaan mengenai seberapa mampu hukum adat, atau segala perangkat yang diturunkan oleh leluhur itu bisa bertahan dan menjamin kehidupan yang rukun dengan prinsip kekerabatan.
Apalagi beberapa otoritas seperti otoritas keagamaan dan otoritas negara telah menempati pada kehidupan social, politik, dan budaya sekaligus. Sebab meskipun telah diwujudkan dalam bentuk tertulis namun sejatinya hukum Larvul Ngabal tumbuh berkembang secara lisan. Maka hal ini akan menjadi pertanyaan penelitian yang meliputi bagaimana moderasi beragama dapat dimediasi oleh hukum adat Larvul Ngabal bagi masyarakat Kei di Tual.
Temuan Penelitian
Hukum Larvul Ngabal terdiri dari hukun nev nev (hukum pidana) dan hukum Hanilit (ukum keluarga). Dalam hal keberagamaan, sudah menjadi kesepakatan tertulis bahwa suku Kei menjunjung tinggi adat, sebagai pemersatu. Hukum Larvul Ngabal sebagai regulasinya, yang mengatur kehidupan satu sama lain. Terkait moderasi agama, setidaknya ada empat indicator yang mendasari hal tersebut yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Pada komitmen kebangsaan, dalam kaitannya dengan komitmen kebangsaan, masyarakat Kei memiliki memori kolektif dari masa lalu, sebelum mereka menjadi suku tersendiri. Masyarakat Kei meyakini bahwa leluhur mereka berasal dari berbagai suku bangsa di Nusantara, sehingga tetap memiliki kedekatan secara emosional dengan kebangsaan Indonesia.
Selain itu, kesadaran hidup rukun dan toleransi juga tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat Kei sejak revitalisasi hukum Larvul Ngabal ketika terjadi kerusuhan di Ambon. Nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum Larvul Ngabal diyakini mampu memelihara ketertiban dam hubungan keakraban antarpenduduk, dapat menanamkan rasa gotong royong (Budaya Maren), serta dapat memupuk kesadaran masyarakat untuk menjaga keharmonisan alam melalui “Hawear” yaitu sistem yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijak dan berkelanjutan.
Singkatnya, faktor budaya dan istiadat dapat diandalkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang mendukung suatu keadaan yang kondusif dan harmonis. Bagi masyarakat Kei, toleransi adalah warisan dari leluhur. Mereka harus memelihara apa yang sudah diberikan oleh tetua di masa lalu.
Masyarakat Kei juga sangat menghindari kekerasan karena dalam Larvul Ngabal ditemukan setidaknya ada tujuh ayat dalam hukum nev nev yang melarang segala bentuk kekerasan baik secara verbal maupun fisik. Dalam beberapa kasus justru persoalan yang dihadapi oleh mereka penduduk baru di Kei, mereka memiliki pilihan penyelesaian, antara hukum adat dan hukum nasional.
Satu dua kasus orang dari Jawa memilih diselesaikan secara adat, secara praktik dilaksanakan upacara. Bahkan bahasa Indonesia lebih sering digunakan di Kota Tual, hal tersebut cukup memberikan ruang yang kondisif terhadap kerukunan baik dalam hal interaksi sosial, ekonomi maupun politik. Adapun indikator akomodatif terhadap budaya lokal dapat dipahami dari semua pemeluk dari berbagai agama yang menerima adat secara baik.
Kesimpulan
Hukum Larvul Ngabal ternyata dapat bersaing dengan otoritas agama dan negara. Hukum Larvul Ngabal juga memenuhi empat indikator moderasi beragama yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. (ANS)
Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2020.
Gambar ilustrasi: Miniatur tiga tempat ibadah yang diresmikan di Kota Tual, Maluku Tenggara (hidupkatolik.com)