Momentum lebaran yang lalu adalah milik Mbah Minto. Sosok perempuan lansia 70 tahun asal Klaten tersebut mendadak viral di media sosial. Hal ini lantaran vlog parodi gagal mudik yang diperankannya melalui channel Youtube milik Ucup.
Viralnya Mbah Minto hingga direspon dan diwawancarai Bupati Klaten, Gubernur Jawa Tengah, hingga Najwa Shihab. Aktingnya yang lugu, lucu, namun sarat pesan menjadi poin ketertarikan netizen. Isunya juga aktual yaitu seputar pesan lebaran di tengah kondisi Pandemi Covid-19 dengan pesan agar perantau tidak mudik terlebih dahulu.
Fenomena Mbah Minto kembali membuktikan daya pengaruh medsos yang kuat. Selain itu memberikan pesan secara tidak langsung kepada netizen, khususnya pegiat medsos, influencer dan sejenisnya agar memberikan konten edukasi kepada publik.
Mbah Minto merupakan pemeran utama dalam konten video parodi Bahasa Jawa milik Ucup Klaten. Perempuan lansia ini berasal dari Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pembawaannya yang lugu dan alamiah menjadi daya Tarik hingga fenomenal.
Tak ayal setiap berkolaborasi dengan Mbah Minto, konten video Ucup selalu viral dan banyak yang menonton. Alhasil konten YouTube Ucup bersama dengan Mbah Minto semakin banyak. Karakter Mbah Minto yang lucu membuat orang yang menonton videonya menjadi terhibur.
Menurut si empunya konten yaitu Ucup, video dirinya bersama dengan Mbah Minto pada saat pertama kali buat hingga sekarang sudah mendapat lebih dari 1 juta viewer. Semua alur cerita dalam video YouTube tersebut dirinya yang buat. Prosesnya tidak menggunakan teks tertulis, karena Mbah tidak bisa baca teks. Sehingga proses transformasi harus dengan mendikte dan Mbah Minto menirukannya dengan senang.
Seri paling fenomenal adalah berjudul “Gagal Mudik”. Video tersebut ramai dan banyak disebarkan masyarakat dalam berbagai platform media sosial. Viralnya video menyebabkan rumah Mbah Minto selalu didatangi warga yang ingin mengetahui lebih dekat dengan sosoknya. Bahkan di antaranya adalah Bupati Klaten.
Video gagal mudik juga dilihat Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Orang nomor satu di Jateng itu sampai live Instagram dengan Mbah Minto. Mbah Minto pun diberi THR sebesar Rp 1.000.000.
Konten video yang diperankan Mbah Minto bukan hanya parodi namun penuh pesan. Banyak pembelajaran dapat kita petik. Pertama, Mbah Minto adalah sosok kreatif dan semangatnya tinggi. Meski usianya sudah tua masih tetap bersedia ikut berkarya dalam video YouTube bersama Ucup Klaten. Anak muda mestinya malu dan lebih baik lagi dari beliau dalam berkreasi khususnya di media sosial.
Kedua adalah pesan positif konten. Mbah Minto dan Ucup merupakan warga yang sangat membantu program pemerintah. Video gagal mudik tersebut sebagai bentuk sosialisasi dan imbauan agar perantau tidak mudik di tengah wabah virus corona atau Covid-19. Netizen mestinya dapat belajar bahwa konten yang dibuatnya harus selalu diselipkan hal positif.
Ketiga adalah pembelajaran sikap sederhana. Mbah minto adalah sosok lugu, dari kalangan menengah ke bawah, gaptek, dan tidak baca tulis. Meski sudah viral, hal tersebut tidak berubah pada dirinya. Hal ini dapat menjadi teladan bagi netizen yang akan terjun profesional di media sosial.
Kondisi pandemi Covid-19 mestinya menguji kepekaan sosial kita. Banyak cara dan media dapat dioptimalkan guna mewujudkan kepekaan sosial yang berujung pada aksi nyata. Kepekaan sosial akan ampuh jika mewujud dalam gerakan masif. Untuk itu media sosial menjadi sarana paling efektif apalagi dalam kondisi pandemi ini.
Para pegiat media sosial (medsos) tentunya tidak sekadar memenuhi kebutuhan dan keuntungan pribadi, baik pundi ekonomi maupun kepuasan psikologisnya. Namun dituntut memiliki tanggung jawab sosial (sosial responsibility) di tengah upaya menghadapi kondisi pandemi. Tugas tersebut diantaranya adalah aksi filantropi dalam menggalang dan menyalurkan bantuan kemanusiaan serta kontribusi dalam garda terdepan dalam upaya membidas gelombang hoaks.
Medsos merupakan wahana informasi dan komunikasi paling mutakhir dan populer saat ini. Indonesia memiliki pengguna intenet yang luar biasa banyak. Jakarta bahkan disebut sebagai ibukota media sosial berbasis teks. Tingkat penetrasi penggunaan internet di ditaksir mencapai 29 persen. Jumlah mobile subscription yang aktif mencapai 282 jutaan, dimana 74 persen untuk media sosial (Liem, 2015).
Menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020”, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Riset yang dirilis pada akhir Januari 2020 itu menyebutkan, jumlah penguna internet di Indonesia sudah mencapai 175,4 juta orang, sementara total jumlah penduduk Indonesia sekitar 272,1 juta. Dibanding tahun 2019 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat sekitar 17 persen atau 25 juta pengguna.
Ke depan kekuatan medos berpotensi menjadi kenyataan jika digarap secara serius. Kuncinya bagaimana teknologi dan globalisasi yang mengarah ke virtualisasi ini dapat kita tunggangi, bukan sebaliknya. (Dahana, 2012).
Di antara tanggung jawab sosial di masa pandemi adalah filantropi dan memerangi hoaks. Definisi paling mutakhir melihat filantropi sebagai investasi sosial. Filantropi tidak lagi hanya dilakukan individu, tetapi merambah ke institusi yang bisa memberikan bantuan.
Rahmatullah (2008) mengungkap ada setidaknya tiga potensi yang menyuburkan filantropi di negeri ini. Pertama adalah diaspora filantropi. Kedermawanan ini diwujudkan dalam bentuk pemberian sumbangan berupa uang dan barang dan bentuk bantuan lainnya oleh warga yang merantau di kota-kota besar kepada kampung halamannya.
Kedua adalah konglomerasi atau kekayaan personil. Potensi ini belum dioptimalkan. Di negara maju, publikasi konglomerat dilakukan selain nilai kekayaannya juga besarnya derma setiap tahun.
Ketiga adalah derma perusahaan. Bentuk filantropi ini sinergis dengan tuntutan CSR (corporate social responsibility). Banyak perusahaan memiliki divisi sosial yang khusus menampung, mengelola dan menyalurkan dana-dana sosial.
Netizen dapat menggarap aksi filantropi melalui pengumpulan bantuan yang dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dengan memperbesar potensi kemampuan dan konsistensi para filantropis. Layanan prima dapat dikembangkan. Penyumbang mesti dipermudah dengan media IT. Akuntabilitas penting ditunjukkan sebagai wujud profesionalisme. Hal ini dapat menggugah filantropis untuk terus menyumbang hingga puncak optimalnya.
Sedangkan ekstensifikasi dengan memperbesar jumlah filantropis. Sosialisasi dan motivasi spiritual penting dikembangkan. Berkembang dan tersebarnya pejuang dan lembaga filantropi akan turut membantu upaya ini. Pemetaan dan identifikasi calon filantropis penting dilakukan agar tepat sasaran dan tepat pendekatan.
Selanjutnya netizen bertanggungjawab dalam upaya perang melawan hoaks. Upaya bersama perlu dilakukan dalam menangkal total fenomena hoaks ini. Pertama, mengenali ciri-ciri konten hoaks. Kedua, membudayakan saring sebelum sharing. Jika ada yang janggal atau terdeteksi potensi hoaks, maka sebaiknya klarifikasi atau minimal terhenti info tersebut pada diri sendiri.
Ketiga, terbiasa mempercayakan informasi pada sumber yang jelas. Kejelasan bukan masalah besar atau tidaknya institusi, melainkan jaminan kepercayaan atasnya. Keempat, menyebarluaskan pemahaman dan upaya penangkalan hoaks di atas menjadi gerakan. Tidak cukup dimengerti diri sendiri, namun harus diteruskan ke sekitarnya. Gerakan perlawanan dan penanganan mesti masif minimal semasif penyebaran konten hoaks itu sendiri.
Kelima, lawan konten negatif hoaks dengan konten positif. Alih-alih membenci dan melawan hokas jangan sampai justru terjebak membuat konten hoaks tanpa disadari. Budayakan membuat kronologi informasi dengan mencantumkan sumbernya meskipun sumbernya dari mata kepala sendiri.
Bersatu dalam produksi serta penyebaran konten postif dan benar akan membuat bangsa ini teguh dan solid. Peran netizen yang melek informasi diharapkan dapat efektif memerangi banalitas hoaks.