Banyaknya masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji setiap tahunnya, menjadikan penyelenggaraan haji bersifat massal yang memerlukan partisipasi berbagai lembaga terkait selain manajemen yang baik. Maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Pusat memberikan kewenangan kepada Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk mengurusi pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji di wilayahnya.

Dalam hal ini lembaga tersebut menyiapkan sumber daya manusia berupa petugas TPHI (Tim Pemandu Haji Indonesia) dan TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia) pada Kementerian Agama Kabupaten/Kota serta TPHD (Tim Pemandu Haji Daerah) dan TKHD (Tim Kesehatan Haji Daerah) pada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

Pengadaan sumber daya manusia petugas haji dan perekrutannya merupakan pengejawantahan amanat peraturan perundang-undangan sebagaimana disampaikan dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat 3 (tiga) tugas pokok pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji, yaitu: pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah haji.

Meskipun demikian, dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji tidak jarang masyarakat mengkritisi sejumlah aspek pelayanan pemerintah. Kritik tersebut bukan saja mempertanyakan kualitas sarana dan prasarana, tetapi juga mempertanyakan tingkat profesionalisme pengelola (termasuk dalam hal ini adalah petugas haji).

Hal tersebut berangkat dari beragam permasalahan yang ditemui dalam penyelenggaraan ibadah haji (khususnya pembinaan ibadah oleh petugas haji), antara lain: tidak adanya kode etik pelayanan publik, kurangnya jumlah pembimbing bagi jemaah, banyak petugas kloter yang cenderung lebih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan dengan kepentingan kloter.

Tujuan dari penelitian ini adalah: Mendeskripsikan pola perekrutan Tim Petugas Haji Daerah (TPHD), Mendeskripsikan efektivitas kerja petugas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) dalam memberikan pelayanan terhadap jemaah haji, dan Menganalisis faktor yang mendukung dan menghambat dalam menjalankan tugas sebagai petugas Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach). Data digali secara naturalistik dari para informan, dan pemuka agama, bersifat kualitatif dan mendalam. Adapun kerangka konseptual yang digunakan adalah haji, perekrutan TPHD, dan efektivitas kerja. Penelitian ini dilakukan di TPHD Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.

Pola Perekrutan

Pola perekrutan TPHD di Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo mengikuti aturan secara umum, di mana buku petunjuknya (juknis) berasal dari Kementerian Agama Pusat. Peserta tes petugas TPHD3 boleh berasal dari berbagai kalangan, seperti ormas, PNS, KBIH, Pesantren dan seterusnya. Namun yang tidak boleh itu yang berasal dari DPRD dan Bupati.

Namun terdapat beberapa catatan tentang mekanisme rekrutmen TPHD, di antaranya pertama, masih ada daerah yang memilih petugas pilihannya yang berbeda dengan hasil seleksi sebenarny. Kedua, perekrutan TPHD dilakukan pada saat menjelang pemberangkatan sehingga menyulitkan perekatan dengan petugas kloter lainnya. Ketiga, pelamar TPHD bidang kesehatan minim dan terdapat beberapa kejanggalan yang teridentifikasi dalam perekrutan.

Efektivitas Kerja TPHD

Petugas TPHD dalam menjalankan tugasnya telah berusaha menyesuaikan dengan bidangnya. Sebagai gambaran, bahwa TPHD bidang pelayanan bimbingan ibadah fokus memberikan pelayanan tata cara ibadah kepada jemaah haji, sementara itu TPHD bidang pelayanan umum membantu petugas kloter misalnya dengan melayani jemaah yang sakit atau berobat.

Di antara kinerja yang cukup sesuai, petugas TPHD ini belum sepenuhnya mau menunjukkan identitasnya sebagai petugas TPHD, karenanya mereka jarang memakai seragam TPHD. Juga dalam hubungannya dengan petugas kloter yang belum menyatu. Hanya sebagian kecil petugas TPHD yang menjalankan tugasnya sesuai harapan.

Beberapa ketidakefektivan kerja TPHD di lapangan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu; merasa bayar sendiri sehingga tidak merasa sebagai petugas TPHD, ketidakpercayaan diri mereka karena merasa tidak mengikuti proses yang lama sebagaimana jemaah haji reguler juga persepsi petugas TPHD adalah sebagai jemaah bukannya sebagai petugas TPHD yang telah ditunjuk pemerintah daerah, sebagian kecil TPHD merasa harus dilayani karena mereka adalah pejabat elit di daerahnya sebagaimana terlihat dalam permintaan mereka akan tanazul.

Faktor Pendukung dan Penghambat

Faktor pendukung dalam melaksanakan kerjanya sebagai TPHD adalah usia muda petugas TPHD, berlatar belakang organisasi, memiliki komitmen bagus terhadap tugas sebagai TPHD, selain itu seringnya pembinaan dari tokoh di kloter.

Faktor penghambat dalam melaksanakan kerjanya sebagai TPHD adalah ketiadaan SOP dan juga pembina selama di Arab Saudi. Padahal petugas kloter seperti TPHI dan TPIHI memiliki pembina baik di Daker maupun di Sektornya. Selanjutnya faktor penghambat lainnya adalah usia sepuh dari jemaah haji. (AL)

 

Tulisan ini adalah rangkuman dari desiminasi penelitian yang dilakukan oleh Selamet dan M. Taufik Hidayatullah yang diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2020.

Ilustrasi: Liputan6

Leave a Response