Dalam rangka peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama, diperlukan peran tokoh agama atau para pembimbing keagamaan. Penyuluh Agama salah satu unsur Kementerian Agama yang diharapkan melaksanakan tugas pembimbingan keagamaan. Dalam lingkungan Kementerian Agama, dikenal dua jenis PA yaitu PA yang telah berstatus Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN), dan PA yang belum berstatus PNS, yang dikenal dengan istilah PA Non PNS.

Keberadaan Penyuluh Agama Non PNS saat ini dipertanyakan beberapa pihak apakah dianggap efektif dan memberikan dampak bagi peningkatan kehidupan keagamaan, ataukah tidak terlalu tampak kontribusinya. Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan sebagai unit teknis penyedia bahan kebijakan, menganggap perlu sebuah penelitian terkait dengan keberadaan penyuluh agama, dalam hal ini Penyuluh Agama Islam Non PNS.

Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus, teknik pengumpulan data yang digunakan untuk pengumpulan data primer adalah dengan wawancara mendalam, pengamatan, diskusi grup terarah (FGD) serta kajian dokumen (untuk pengumpulan data sekunder).

Penelitian dilakukan di dua kecamatan yang ada di Kabupaten Cianjur yaitu Kecamatan Cianjur dan Kecamatan Cipanas. Kecamatan Cianjur merupakan ibu kota Kabupaten sehingga kehidupan keagamaan lebih dinamis dengan pluralitas yang cukup tinggi. Sementara Kecamatan Cipanas merupakan daerah wisata. Terkait dengan jumlah penduduk, terdapat 146. 054 jiwa (penduduk muslim) di Kecamatan Cianjur. Sementara di Kecamatan Cipanas terdapat 102. 666 jiwa.

Temuan Penelitian

Terdapat sejumlah peran yang mungkin dijalankan penyuluh agama dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pendakwah dimasyarakat, yaitu peran sebagai informan, edukator, konselor, maupun advokator. Terkait peran tersebut, secara umum dilaksanakan oleh para penyuluh agama dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat yang menjadi tanggung-jawabnya.

Berikut ini beberapa inovasi yang telah dilakukan di  Kecamatan Cipanas antara lain ; dakwah ke sekolah (dakwah goes to school), pasar (goes to pasar, dilakukan setiap dua minggu sekali), hotel (dakwah goes to hotel, yaitu dakwah kepada karyawan hotel), serta dakwah kepada beberapa kelompok rentan seperti dakwah kepada kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), yaitu dakwah kepada mereka yang terkena depresi, dan dakwah kepada moonracer (gank motor), meski untuk yang terakhir baru sebatas penjajakan.

Faktor Pendukung dan Penghambat

Faktor pendukung diantaranya yakni Penyuluh Agama secara sosial bahkan secara politik cukup eksis di masyarakat dengan sejumlah keterlibatannya (di MUI, aneka lembaga dakwah yang ada di masyarakat, maupun lembaga-lembaga sosial yang ada), Beberapa penyuluh keberadaan pengetahuannya sudah diakui masyarakat (misal karena lulusan dari Al-Azhar) dan lain sebagainya.

Sementara faktor penghambatnya antara lain Tidak tersedia modul sehingga substansi materi yang disampaikan termasuk media yang digunakan dan teknik penyampaian materi sangat mengandalkan ijtihad individual, belum ada standar untuk evaluasi dan pembinaan terhadap penyuluh dan lain sebagainya.

Jadi, peran penyuluh agama non PNS (PAH) secara umum berlangsung cukup baik untuk berbagai peran yang ada dengan dominasi pelaksanaan peran sebagai pemberi informasi dan edukasi. Terkait dengan kesesuaian penyampaian materi dengan kebutuhan materi relatif baik, meski belum ideal dan masih terkesan dipaksakan.

Upaya inovasi yang sangat menonjol terlihat jelas dengan upaya untuk memperluas segmen atau cakupan dakwah dari kelompok tradisional yang selama ini didakwahi (majelis taklim dan pesantren) kepada kelompok-kelompok minoritas (termasuk penyandang HIV), komunitas (misalnya kepada pemotor moon rocker), maupun dengan memanfaatkan keterlibatannya dengan pihak birokrasi setempat baik melalui kegiatan keagamaan Pemda (Magrib Mengaji) maupun kegiatan umum (Cianjur Ngawangun Lembur).

Inovasi lain yang bahkan menjadi proyek percontohan adalah pengelolaan Pesantren At-Taubah, pesantren untuk NAPI di Lapas Kab. Cianjur, meski kegiatan menggunakan nama institusi lain (MUI). Meski eksistensi Penyuluh Agama cukup baik, namun demikian juga ditemukan faktor penghambat, yang menonjol yaitu terjebak rutinitas mengingat keberadaannya di wilayahnya sendiri sehingga tidak menimbulkan tantangan dan karena itu pula upaya pengembangan kreatifitas dan inovasi dalam pelaksanaan kegiatan dakwah belum berjalan maksimal meski sudah dilakukan. (RMF)

 

Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Kustini dan Wahidah R. Bulan. Diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.

Gambar ilustrasi: Media Indonesia/Benny Bastiandy

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response