Beberapa pekan lalu ada sebuah video viral di aplikasi TikTok yang menunjukkan kejadian pelecehan seksual di ruang publik yang dialami oleh seorang host perempuan di sebuah acara televisi swasta.

Ketika host sedang berada di tempat perbelanjaan yang dipenuhi kerumunan orang, tiba-tiba dari arah belakang seorang laki-laki memeluk dan meraba tubuh bagian depan host perempuan tersebut. Sontak amarahnya meledak.

Sayangnya, meskipun terjadi di ruang publik dan disaksikan banyak orang dan bahkan pada saat syuting acara disertai oleh beberapa aparat polisi, host perempuan itu melawan pelaku pelecehan seksual seorang diri. Aparat polisi yang ada di sekitar lokasi kejadian hanya melerai pelaku dari korban tanpa langsung menegurnya.

Yang lebih mirisnya lagi, video viral di aplikasi TikTok tersebut diunggah oleh akun TikTok stasiun televisi tempat host bekerja dengan judul yang malah tidak memihak atau melindungi korban pelecehan seksual. Judul video TikTok tersebut justru bersifat komersil dan clickbait, membuat orang-orang tertarik untuk mengaksesnya tanpa mempertimbangkan segi kualitas dan akurasi kontennya.

Respons masyarakat terhadap korban pelecehan seksual di kolom komentar video juga justru merendahkannya. Bahkan ada yang menyalahkannya. Ujaran tidak baik kepada korban datang baik dari laki-laki maupun sesama perempuan. Perihal pakaian yang digunakan membentuk tubuh atau kurang menutup tubuh.

Padahal, pakaian yang dikenakan korban pada dasarnya bukan penyebab dari pelecehan seksual. Tetapi pikiran kotor pelaku yang mendorongnya melakukan tindakan tercela.

Semua elemen masyarakat pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual dan melindungi korban. Pemerintah yang memiliki kuasa atas kebijakan dalam hal ini bisa mengambil peran untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diwakili Nyai Badriyah Fayumi telah memberikan pandangan bahwa RUU PKS sangat diperlukan negara untuk melindungi warga negaranya. Juga sebagai instrumen krusial untuk menegakkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah “tasharuf al imam ala ar ra’iyyah manuthun bi al maslahah” (tindakan pemimpin untuk rakyatnya harus berorientasi pada kemaslahatan).

Kemudian, aparat keamanan negara seperti polisi harus menjadi penyelamat korban. Mereka harus memberikan rasa aman kepada korban dan tegas memberi sanksi kepada pelaku. Selain itu, media juga punya andil besar untuk melindungi korban pelecehan seksual. Harusnya media menyuguhkan berita yang memihak kepada korban, bukan malah menyudutkannya.

Dengan menggunakan bahasa yang netral serta mendeskripsikan kejadian dengan jelas dan menyeluruh, setiap kata yang dituangkan dalam bahasa dari sebuah berita akan menciptakan kekuatan yang bisa menggerakkan sikap dan mempengaruhi pikiran masyarakat sehingga kualitas, kredibilitas dan akurasi berita dapat terjaga, tidak bersifat clickbait yang sering kali merugikan korban.

Masyarakat umum dan public figure juga punya peran besar untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual dan melindungi korban. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mempraktikkan apa yang dikampanyekan Cinta Laura. Yakni 5D: Ditegur, Didokumentasikan, Dialihkan, Ditenangkan, dan Dilaporkan.

Ketika kita mengalami atau melihat korban dilecehkan secara seksual ataupun verbal, kita wajib menegur pelaku atas tindakannya. Dengan memperingatkan bahwa tindakannya tersebut adalah tercela dan jangan terulang kembali.

Hal ini juga bertujuan untuk menciptakan rasa malu bagi pelaku. Selain itu, dengan menegur pelaku pelecehan seksual kita bisa menumbuhkan keberanian dalam diri. Sehingga kita mampu melindungi diri sendiri dan orang lain.

Dalam teknik ini digunakan apabila kita membutuhkan barang bukti untuk melaporkan kasus pelecehan seksual. Bukan untuk diunggah di media sosial dan membuat foto atau video tersebut viral demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Perihal dokumentasi pelecehan seksual ini harus bertujuan untuk memihak kepada korban alih-alih merendahkannya.

Teknik ini berlaku bagi saksi yang melihat tindakan pelecehan seksual. Misalnya, ketika kita sedang berada di angkutan umum kemudian melihat pelaku diam-diam mencoba untuk memegang anggota tubuh seseorang, kita bisa mengalihkannya dengan mengajak ngobrol pelaku supaya fokusnya teralihkan, sehingga ia tidak berhasil menjalankan aksinya.

Di samping itu, teknik dialihkan ini juga dapat menjaga perasaan seseorang yang sering kali malu ketika mengetahui atau diketahui sebagai korban pelecehan seksual.

Hal ini yang sering kali luput dilakukan dalam menangani korban pelecehan seksual. Mereka butuh kalimat-kalimat yang menenangkan agar bisa keluar dari trauma, ketakutan, atau perasaan hina dan tak berharga akibat dilecehkan.

Keberpihakan kita kepada korban pelecehan seksual sangat penting untuk pemulihan kondisi mentalnya.

Menurut data Indonesia Judical Research Society (IJRS), banyak sekali korban pelecehan atau kekerasan seksual yang tidak melapor. Adapun alasannya sangat beragam, 33,5% takut, 29% malu, 23,5% tidak tahu melapor ke mana, dan 18,5% merasa bersalah.

Semua elemen masyarakat harus memiliki tanggung jawab memberikan informasi, ruang dan rasa aman terhadap sesamanya.

Keberanian korban, saksi, dan media untuk menegur, mengalihkan, mendokumentasikan, menenangkan, dan melapor pelecehan atau kekerasan seksual, serta langkah pemerintah segera mengesahkan RUU PKS, adalah upaya untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan atau kekerasan seksual, melindungi serta menciptakan ruang dan rasa aman bagi korban.

Leave a Response